Tuesday, December 18, 2007

Budaya Kerja Bangsa Jepang

Malaysia memperkenalkan asas memandang ke Timur pada awal era 1980-an dengan menjadikan Jepang sebagai contoh.

Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa terproduktif di dunia. Mereka juga berhasil membangun negaranya dari sisa-sisa keruntuhan dan kehancuran. Mereka terkenal dengan sikap rajin dan pekerja keras. Jadi, tidak heran jika pekerja Jepang mampu bekerja dalam waktu yang panjang tanpa mengenal lelah, bosan, dan putus asa. Mereka bukan hanya mampu bekerja dalam jangka waktu yang lama, melainkan juga mampu mencurahkan perhatian, jiwa, dan komitmen pada pekerjaan yang dilakukannya. Karakter dan budaya kerja keras merupakan faktor penting keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan.

Bangsa Jepang tidak menganggap tempat kerja hanya sekadar tempat mencari makan, tetapi juga menganggapnya sebagai bagian dari keluarga dan kehidupannya. Kesetiaan mereka pada perusahaan melebihi kesetiaannya pada keluarga sendiri. Mereka selalu berusaha memberikan kinerja terbaik pada perusahaan, pabrik, atau tempat mereka bekerja. Budaya kerja seperti itu tidak lahir dan terwujud dengan begitu saja. Budaya itu dipupuk dan dilatih selama berabad-abad, sehingga akhirnya mengakar dalam pemikiran dan jiwa mereka.

Di Jepang, setiap pekerja mengetahui tugas dan perannya di tempat kerja. Mereka tidak bekerja sebagai individu, tetapi dalam satu pasukan, sehingga tidak ada jurang yang tercipta di antara mereka. Mereka tidak bersaing, tetapi bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tugas. Di Jepang, semua pekerja tidak memandang pangkat dan berada pada kedudukan yang sama.

Jabatan tinggi atau rendah tidak penting dalam etika dan pengelolaan kerja bangsa Jepang. Di tempat kerja, meja pegawai dan atasan diletakkan dalam suatu ruang terbuka tanpa pemisah. Tidak ada dinding pemisah seperti kebanyakan ruang kantor di Indonesia.

Pengelola tidak dipisahkan dari bawahan mereka. Tidak ada ruangan khusus untuk golongan pengelola. Tempat duduk dan meja di susun dan diletakkan berdekatan dengan pengelola bagiannya agar memudahkan bawahannya menghubungi mereka. Dengan demikian, mereka dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan bertukar pendapat kapan saja.

Susunan ruangan kantor seperti itu bukan agar atasan mengawasi bawahannya. Melainkan lebih berfungsi sebagai tempat dan saluran untuk berbincang dan bertukar pandangan. Walau begitu, duduk dalam keadaan rapat tidak digunakan untuk membicarakan hal yang tidak berguna. Mereka hanya berbicara dan bercanda setelah jam kerja.

Cara yang digunakan bangsa Jepang adalah salah satu cara membentuk dan menjalin hubungan erat antar pekerja. Semua pekerja mempunyai tugas dan tanggung jawab penting, sehingga mereka tidak merasa asing.
Selain itu, antar sesama, mereka memiliki ikatan emosi yang kuat. Begitu juga dengan rasa sentimen dan keterikatan mendalam terhadap perusahaan, pabrik, dan tempat kerja mereka.

o Karakter dan budaya kerja keras merupakan faktor penting keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi, industri dan perdagangan.

o Jabatan tinggi atau rendah tidak penting dalam etika serta pengelolaan kerja bangsa Jepang.

o Orang Jepang mau kerja lembur meskipun tidak dibayar.

Sumber: Retno Kintoko dari buku Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng
Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com


Friday, December 14, 2007

Mengapa Tidak Seperti Jepang?

Menjelang tahun 1978, gaji pekerja Jepang lebih tinggi daripada gaji pekerja AS dan berkali-kali lebih tinggi daripada gaji pekerja negara-negara Asia lainnya.

Mengapa Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, Singapura, dan Indonesia tidak dapat menjadi seperti Jepang? Apakah karakter bangsa Jepang tidak dimiliki bangsa lain? Padahal, berdasarkan ciri fisik dan keadaan geografis, setengah negara tersebut yang lebih baik daripada Jepang. Beberapa penelitian dilakukan untuk menjelaskan hal itu. Namun, sebagian besar penjelasan tersebut dianggap ketinggalan zaman dan tidak dapat digunakan dalam konteks sekarang. Sebagai contoh, keberhasilan ekonomi Jepang pernah dikaitkan dengan gaji buruh dan pekerja yang rendah. Namun, menjelang tahun 1978, gaji pekerja Jepang lebih tinggi daripada gaji pekerja AS dan berkali-kali lebih tinggi daripada gaji pekerja negara-negara Asia lainnya.

Walaupun biaya pengeluaran di Jepang meningkat, negara itu masih dapat mempertahankan kedudukannya sebagai salah satu penguasa perekonomian utama di dunia. Pada saat para pekerja di negara-negara industri Eropa Barat dan AS mengalami penurunan produktivitas, para pekerja Jepang menunjukkan prestasi yang cukup mengagumkan. Pada tahun 1975, setiap sembilan hari, seorang pekerja di Jepang menghasilkan sebuah mobil senilai seribu Poundsterling. Padahal, pekerja di perusahaan Leyland Motors, Inggris, memerlukan waktu empat puluh tujuh hari untuk menghasilkan sebuah mobil bernilai sama. Kecekatan, keahlian, dan kecepatan pekerja Jepang jelas melebihi pekerja di negara mana pun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Jepang dapat pulih dan membangun kembali negaranya dengan cepat, walaupun seluruh sendi perekonomiannya lumpuh setelah dikalahkan Sekutu yang dipimpin oleh AS dalam Perang Dunia II.

Seorang pekerja Jepang rata-rata dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan lima sampai enam orang. Di Indonesia, untuk memperbaiki jalan kampung yang rusak, mungkin diperlukan lima belas orang. Mulai dari pihak yang menerima pengaduan, memberi arahan, yang mengangkat peralatan, pemandu, hingga yang bertanggung jawab mengolah ter [aspal], dan yang menutupi jalan yang rusak. Di Jepang, pekerjaan itu dapat di kerjakan oleh tiga orang saja. Oleh karena itu, pekerja Jepang digaji tinggi karena mereka dapat menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan lebih dari satu orang orang. Saat bekerja, orang Jepang tidak banyak bicara dan bertingkah. Hal yang penting bagi mereka adalah mempersiapkan pekerjaan dan tugas yang diberikan.

Jadi, jika ada negara yang ingin seperti Jepang, mereka juga perlu memiliki pekerja yang mampu mengerjakan berbagai pekerjaan dalam waktu yang sama. Pekerja di Jepang tidak hanya mampu bekerja dengan baik, tetapi mau bekerja lembur tanpa bayaran lebih. Bagi mereka, yang terpenting adalah pekerjaan tersebut dapat selesai secepatnya. Mereka tidak terlalu memikirkan imbalan karena imbalan tersebut dapat diperoleh dengan menunjukkan prestasi yang memberi semangat dan ketika perusahaan memperoleh keuntungan.

Berbeda dengan pekerja di Indonesia yang sangat bergairah menuntut berbagai gaji dan bonus tanpa mencoba berusaha untuk meningkatkan kualitas pekerjaan mereka. Konsep untuk membayar terlebih dahulu dari bekerja kemudian haruslah diubah. Pekerja Jepang layak menerima gaji tinggi karena kualitas kerja mereka. Di samping itu, sikap dan cara kerja mereka juga sepantasnya mendapatkan gaji tinggi. Pekerja di Indonesia perlu mencontoh sikap kerja bangsa Jepang jika ingin menjadi negara maju.

Bangsa Jepang berusaha menjadi nomor satu dalam semua bidang. Mereka juga bekerja sungguh-sungguh untuk mencapainya. Sikap positif ini sebaiknya diterapkan dalam hati dan sanubari kita semua. Sikap ini berhasil mengubah pandangan masyarakat dunia pada barang produksi Jepang. Sebelum perang, barang produksi Jepang dianggap tidak berkualitas dengan mutu pembuatan amat rendah. Begitu juga setelah perang, barang berlebel Made in Japan tidak laku di pasaran dan sering dilecehkan jika dibandingkan dengan produksi dan Barat.

Pada awal era 1950-an, radio, perekam pita, dan peralatan hi-fi dari Jepang tidak dapat menyaingi produksi AS dan menembus pasar dunia. Namun, bangsa Jepang tidak putus asa. Para peneliti dan pekerja Jepang terus berusaha memperbaiki produk mereka. Mereka terus melakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan mutu produksinya, sehingga produk mereka diakui sebagai yang terbaik di dunia. Hal serupa juga terlihat dan barang barang produksi seperti jam tangan, motor, barang elektrik, kapal, tekstil, dan sebagainya.

Jika Jepang dapat menjadi nomor satu dan menciptakan keajaiban dalam bidang ekonomi, tidak ada alasan bagi negara lain untuk tidak bisa mendapatkan kedudukan yang sama. Bukankah ada pepatah lama yang mengatakan “di mana ada kemauan, di situ ada jalan” dan “mau seribu daya, tidak mau seribu alasan”. Jepang bisa, negara lain juga pasti bisa. Walaupun tidak bisa sama persis seperti Jepang, tetapi negara lain dapat meniru Jepang. Bangsa Jepang juga meniru dari Barat sebelum mereka dapat menghasilkan produk dan barang yang jauh lebih baik daripada yang ditirunya.

Fakta Menarik
Beberapa produk terbaik Jepang yang diakui dunia :
1. Jam tangan
2. Kendaraan bermotor
3. Perangkat listrik
4. Kapal
5. Tekstil


Sumber: Retno Kintoko dari buku Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng
Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com

Bagaimana Jepang Menjadi Nomor Satu

Hasil pertanian Jepang merupakan yang tertinggi di dunia.

Berbeda dengan Indonesia, Jepang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dan negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju.

Seperti telah disebutkan, persaingan penggunaan tanah di Jepang sangat tinggi dan ketat. Karena permukaan yang bergunung gunung para petani harus memaksimalkan penggunaan tanah untuk menghasilkan makanan secara produktif. Bangsa Jepang tidak suka pemborosan. Karena itu, mereka memanfaatkan waktu dan sumber daya alam sebaik-baiknya. Semuanya digunakan secara maksimal dengan tahapan yang maksimal pula. Coba bayangkan mereka menanam padi di halaman rumah mereka dan tidak menyia-nyiakan sejengkal tanahpun tanpa menghasilkan sesuatu Selain itu, keadaan negara yang sedemikian rupa mendorong bangsa Jepang untuk menggunakan sumber yang sedikit untuk mendapatkan hasil yang banyak.

Sektor lapangan pekerjaan, pendidikan, dan sektor kehidupan lainnya juga ikut mengalami persaingan yang ketat. Hal itu dlsebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah jumlah penduduk yang padat dan perubahan sosial. Para penduduk pun dituntut bekerja keras untuk memenuhi keperluan yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Bangsa Jepang tidak menjadikan keadaan geografis yang kurang baik sebagai alasan mereka tidak bisa maju. Bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus dan angin topan, juga tidak menghalangj mereka menjadi bangsa yang kuat dan dihormati.

Bangsa Jepang berhasil membuktikan mereka dapat menciptakan keajaiban dalam bidang ekonomi dalam keadaan yang serba kekurangan dan dengan sumber daya alam terbatas. Akan tetapi, keajaiban dalam bidang ekonomi itu tidak muncul tiba-tiba dan diperoleh dalam sekejap. Keajaiban itu datang dari hasil kerja keras dan komitmen penduduknya selama beratus-ratus tahun. Tanpa kesungguhan dan keyakinan, bangsa Jepang mustahil dapat membangun kembali negaranya yang hancur akibat Perang Dunia II dan mampu berada dalam posisi seperti saat ini.

Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tahan terhadap cobaan. Mereka tidak mudah tunduk pada kekalahan dan kegagalan. Mereka juga tidak mudah putus asa dan menyerah begitu saja. Bagi bangsa Jepang, kalah dan gagal setelah berjuang lebih mulia daripada mati sebelum berperang atau mencoba. Tidak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa curahan keringat dan pengorbanan. Dengan kesungguhan, disiplin, kerja keras, dan semangat Bushido yang diwarisi secara turun-temurun, akhirnya Jepang menjadi penguasa perekonomian nomor satu di dunia.

Banyak negara di Asia yang menjadikan ke berhasilan Jepang sebagai sumber inspirasi mereka. Akan tetapi, tidak satu pun yang mampu mencontoh dan mengulang secara utuh keberhasilan Jepang. Mencontoh keberhasilan Jepang tanpa menerapkannya melalui tindakan tentu saja tidak memberikan basil apa-apa. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak, Sehingga mereka cepat bangkit dari kehancuran. Mereka tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Sekali mendapatkan peluang, mereka tidak melepaskannya.

Banyak negara yang berusaha mengikuti langkah Jepang. Salah satunya adalah Korea Selatan. Seperti halnya Jepang, Korea Selatan juga mengalami ke hancuran ekonomi yang dahsyat akibat perang saudara dengan Korea Utara. Ketika saudara kandungnya itu masih berhadapan dengan kemiskinan, perekonomian Korea Selatan telah berkembang dengan pesat, sehingga muncul sebagai penguasa baru dalam perekonomian Asia. Namun, kemajuan ekonominya masih belum dapat mengalahkan Jepang. Negara Jepang dianggap sebagai pemimpin utama dan penguasa nomor satu perekonomian di benua kita. Korea Selatan berpotensi menjadi negara seperti Jepang, tetapi perlu waktu lama untuk mengambil alih kedudukan Jepang. Saat ini, Korea Selatan sedang mengikuti Jepang dengan jarak dekat dan Jepang pun berlari tanpa menunjukkan rasa letih. Jepang juga telah jauh meninggalkan negara-negara tetangganya dan terus memperbesar jarak demi mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa ekonomi nomor satu.

Fakta Menarik:

Rahasia Jepang Menjadi Penguasa Nomor Satu Di Dunia:
* Kesungguhan
* Disiplin
* Kerja keras
* Semangat “Bushido”
* “Keajaiban” Jepang bukan karena Sulap.
* Bangsa Jepang tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri
peluang tersebut.

Sumber: Retno Kintoko dari buku Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng
Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com


Nilai Hidup Bangsa Jepang

“Mereka yang pernah mendaki Gunung Fuji, layak disebut orang bijak. Namun, mereka yang mendaki untuk kedua kalinya, layak disebut orang bodoh.” - Rahasia Pepatah Jepang -

Gunung Fuji dengan ketinggian 3.776 meter merupakan gunung tertinggi sekaligus simbol bagi rakyat Jepang. Bentuknya yang megah semakin memantapkan julukannya sebagai gunung keramat. Konon, wanita sempat dilarang keras mendaki gunung tersebut karena dewi Gunung Fuji akan cemburu.

Gunung Fuji yang berarti “keabadian” menjadi pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif tatkala keadaan mulai kian mustahil. Inilah salah satu faktor mengapa Jepang bisa sukses menguasai dunia walau memiliki segunung kekurangan.

Bangsa Jepang tidak pernah memiliki peradaban yang hebat dan sejarah yang bisa dibanggakan seperti Negara-negara lain.
Negaranya cantik dan indah, tetapi tidak memiliki hasil alam yang bisa dimanfaatkan. Orangnya kecil dan pendek. Namun, di balik segala kekurangannya itu, mereka berjiwa besar dan memiliki impian yang melebihi kemampuan geografisnya. Budayanya unik dan nilai tradisinya mempesona. Wanitanya seperti gadis pingitan yang sangat pemalu dan segan. Prianya tegas dan garang seperti samurai yang siap perang. Gunung Fuji selalu menjadi sebutan karena diselimuti salju putih dan mendamaikan siapa pun yang memandangnya.

Kita kenal bangsa Jepang karena mereka pernah menjajah tanah Melayu. Banyak yang membenci bangsa Jepang karena kekejaman dan keganasan yang dilakukannya. Bagaimanapun, bangsa Jepang kini sudah berubah. Kedatangan mereka tidak lagi ingin menjajah dan menguasai hasil kekayaan negara yang mereka datangi. Kedatangan bangsa Jepang untuk berdagang dan mencari peluang ekonomi baru. Mereka membuat perindustrian dan mendirikan perusahaan- perusahaan di semua tempat. Tujuannya hanya mencari keuntungan demi membangun kembali ekonominya seperti sediakala. Tujuannya menjadi negara maju dan penguasa ekonomi dunia sudah tercapai. Meskipun sudah menjadi sebuah negara kaya dan tersohor, tetapi mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka terus berusaha memperbaiki prestasi mereka di bidang ekonomi.

Faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada budaya kerja, sistem etika, pengelolaan yang bagus, kreativitas, dan semangat juang tinggi tanpa mengenal arti kekalahan. Mereka menjadi kebanggaan Asia karena dapat mengatasi pihak Barat dari segi prestasi dan produktivitasnya. Bangsa Jepang terkenal rajin dan optimis. Cara mengendalikan suatu masalah dan pekerjaan berbeda dari gaya Barat. Keberhasilan bangsa Jepang sangat mengagumkan sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan seputar formula yang mereka gunakan. Kesuksesan Jepang tersebut luar biasa, meskipun mereka pernah musnah saat Perang Dunia berakhir. Banyak penelitian yang menyoroti budaya kerja dan rahasia kesuksesan bangsa Jepang. Hal ini terbukti dengan banyak diterbitkannya buku-buku yang berkaitan dengan Jepang. Banyak aspek mengenai bangsa Jepang yang disentuh, termasuk aspek pemikiran dan pengelolaan. Terdapat pula tulisan yang terlalu bersifat teknik dan sukar dipahami karena diterjemahkan dari buku-buku yang diterbitkan di Jepang.

Tulisan ini dapat menjadi rujukan, panduan, dan motivasi agar kita dapat lebih dekat mengenal bangsa Jepang. Hal positifnya, banyak rahasia dan formula yang dapat digali dari mereka. Formula ini sebenarnya bukan rahasia lagi. Kita sudah mengetahuinya, tetapi kita tidak pernah menggunakannya. Formula kesuksesan bangsa Jepang mudah dan lebih gampang daripada formula matematika. Untuk mencapai sukses, formula ini harus digunakan dan dipraktikkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi formula dan rahasia yang nantinya akan hilang oleh perubahan waktu dan zaman. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada di tangan kita dan bukan terletak pada negara.


Sumber: Retno Kintoko dari buku Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng
Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com


Thursday, December 13, 2007

Belajarlah dari Cina

Baru-baru ini saya mendapatkan beasiswa Asian Fellowship Award yang diberikan kepada dosen dan karyawan LSM minimal berjenjang S2 dari negara berkembang di Asia untuk melakukan penelitian di negara Asia lainnya di bidang seni, budaya dan sosial. Kebetulan S1 dan S2 saya di bidang sinologi dan saya meneliti tentang masalah-masalah sosial dalam keluarga Cina. Saya sekarang menjadi peniliti di universitas Xiamen.

Terus terang saya sangat kaget ketika sampai di Xiamen. Xiamen terkenal sebagai kota industri dan juga pendidikan, mungkin sekelas semarang di Indonesia. Setelah 10 tahun tinggal di luar Cina saya harus mengakui Cina bukanlah negeri seperti yang kebanyakan orang Indonesia pikir. Bandara Xiamen sangat modern dan efisien, lebih baik dari bandara Soekarno-Hatta, jalan- jalannya luas, tidak ada kemacetan, di manapun kita pergi kita melihat taman yang tertata dengan rapih dan terpelihara. Satu hal yang paling mencengangkan adalah saya tidak melihat sampah. Orang-orang yang berjualan di pinggir jalan pun sangat teratur, sangat berbeda dengan kesan yang kita tahu bahwa orang Cina sangat jorok.

Transportasi sistem pun sangat baik, mereka sudah menerapkan kartu chip untuk naik bis, jadi kita hanya perlu beli kartu isi ulang yang harus ditempelkan pada mesin elektronik saat naik bis. Meskipun bis tidak terikat waktunya, semua orang menunggu bis di halte, naik di pintu depan, pintu bis selalu tertutup saat di jalan dan tidak pernah bis terlalu penuh seperti di Jakarta.

Kampus Xiamen University pun tidak kalah dengan kampus-kampus di Australia. Seluruh gedung diperlengkapi dengan AC, bahkan di dalam asrama-asrama mahasiswa (disini hampir semua mahasiswa tinggal di asrama). Internet ada di mana-mana, bahkan di asrama untuk orang asing pun akses internet bebas 24 jam hanya dengan membayar Rp 30.000,-. Telepon pun sangat murah. Fasilitas kampus pun sangat luar biasa, mulai dari kelas-kelas berAC yang dilengkapi dengan LCD, danau, stadion olahraga dan kolam renang berukuran standar internasional, pelayanan yang sangat efisien, dsb. Kartu mahasiswa bersifat multifungsi, bisa digunakan sebagai kartu untuk membeli makanan, berbelanja, fotokopi dan akses ke berbagai perpustakaan.

Dalam dua tahun belakangan ini saya berkesempatan beberapa kali berkunjung ke Thailand dan Cina untuk sekolah. Benar-benar saya merasa malu dengan negeri kita, karena kita jauh sekali tertinggal dengan negara-negara yang 10 tahun yang lalu ada di bawah kita. Thailand sudah beberapa tahun yang lalu memiliki monorail dan tahun lalu membuka subway, dan Cina sangat mengejutkan saya dengan kebersihan dan kedisiplinan masyarakatnya memelihara lingkungan dan mempertahankan etos kerja dan kebersihan lingkungan.

Terus terang saya adalah orang yang anti pemerintah karena saya memang banyak kecewa dengan pemerintah, sehingga saya sering berkata bahwa satu-satunya hal yang saya bisa banggakan dari negeri saya adalah budayanya yang tinggi. Sayangnya memang masyarakat kita terus dikungkung dan dibiarkan menjadi bodoh dan kita tidak sadar bahwa sekarang negara- negara Asia yang dulunya tidak kita pandang sebelah matapun sebenarnya sudah jauh berada di depan kita.

Ada tanggapan?


Sumber: Anggiet; www.milisbeasiswa.com/opini/ 2005/10/belajarlah-dari-cina.html - 22k )

Etos Kerja Cina

Sebelum Hongkong kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC), penulis bersama sang istri pertama kali menginjakkan kaki di RRC melalui tour beberapa hari dari Hongkong ke Shen Zen, Guang Zhou, Macao dan kembali lagi ke Hongkong. Di Guang Zhou penulis menginap di Garden Hotel yang terletak di jantung kota, di mana lingkungan sekelilingnya dapat dikatakan masih agak kumuh.

Di pinggir jalan lingkungan tersebut, masih banyak terdapat segala jenis makanan dengan kereta dorongnya. Penulis dan istri berada bersama dengan rombongan yang terdiri dari beberapa teman turis yang berasal dari beberapa negara, yaitu Inggris, Jerman, dan Australia. Tengah malam waktu setempat, penulis dan istri menyempatkan diri ke luar mencari angin sembari melihat trotoar yang dipenuhi berbagai macam jualan makanan. Ular, biawak, kelelawar dan banyak lagi jenis makanan yang dapat dikatakan sangat aneh dan luar biasa, dijajakan di sepanjang trotoar. Setelah kunjungan berikutnya pada tahun 1999 dan tahun 2000, penulis kaget pada saat datang untuk yang ke berapa kalinya ke Guang Zhou pada tahun 2004 yang lalu, lingkungan luarnya sudah tertata rapih. Penulis tidak menyangka lingkungan yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan yang kumuh sudah tertata rapih dan bersih, sehingga dapat disejajarkan dengan daerah Orchard Road di Singapura.

Penulis perhatikan sepanjang jalan di kota, dari satu tempat ke tempat yang lain selalu saja ada crane tinggi yang menandakan aktivitas pembangunan gedung bertingkat tinggi sedang berlangsung. Konon khabarnya, di Kota Guang Zhou sendiri, setiap hari selesai satu gedung bertingkat tinggi. Tentu bisa dibayangkan aktifnya pembangunan di kota itu. Ditambah lagi, penulis sangat menikmati sistem Mass Rapid Transport (MRT) bawah tanah yang tidak kalah sistem dan fasilitasnya dengan yang di Singapura. Belum lagi di seluruh dataran RRC setiap tahun terbangun jalan tol antar kota sepanjang 10.000 km. Bandingkan dengan jalan tol di seluruh Indonesia mungkin belum mencapai 10.000 km saat ini. Memang nyatanya, negeri RRC saat ini sedang membangun secara besar-besaran, sehingga menyedot bahan material bangunan seperti semen dan besi dari se antero dunia. Tidak heran kalau setahun terakhir ini terasa sekali harga material besi beton naik secara drastis disebabkan oleh kebutuhan negeri RRC.

Pemerintahan RRC saat ini sedang terobsesi untuk mensukseskan proyek super raksasa untuk acara Olimpiade 2008 yang akan datang sebagai ajang promosi yang efektif untuk memperkenalkan negaranya ke pada dunia, bahwa betapa sudah maju dan makmurnya negara mereka.

Penulis sempat melihat gudang dan pabrik pembuatan granito yaitu sejenis keramik berkualitas tinggi yang mirip dengan granit alam. Kalau di Indonesia kompetibel dengan Essenza. Di dalam pabrik itu penulis melihat tulisan sangat besar di temboknya, yang terjemahannya, "Hari ini malas bekerja, besok rajin cari kerja!" Sebuah peribahasa yang menjunjung tinggi etos kerja, bahwa barangsiapa yang kerjanya bermalas-malasan, akan diusir ke luar pagar perusahaan, dan silakan untuk rajin cari kerja bila masih ada rasa tanggung jawab untuk meneruskan mata pencahariannya.

Dengan etos kerja yang tinggi, dan bekerja enam hari dalam seminggu dengan penghasilan sekitar Rp1.000.000 sebulan, dapat dibayangkan betapa rendahnya biaya buruh (labor cost) untuk produknya. Dengan jam kerja yang lama dan hasil kerja yang baik otomatis akan menghasilkan volume produksi yang besar. Gaji satu juta dibagi 1.000 produk per bulan, di pabrik X misalnya, akan mengeluarkan biaya buruh sebesar Rp1.000 per produk. Bandingkan bila di pabrik Y, dengan gaji satu juta dibagi dengan hanya 200 produk per bulan, maka akan memberikan biaya buruh tinggi yaitu Rp5.000 per produknya. Bagaimana kalau sebuah produk melalui tiga kali proses nilai tambah yang sama, maka alhasil biaya buruh di pabrik X akan hanya sebesar Rp3.000 per produk, sedangkan biaya buruh di pabrik Y akan sebesar Rp15.000 per produk. Tidak mengherankan, budaya kerja keras dengan kerja enam hari dalam seminggu dan kerja cerdas dengan etos kerja kerja yang tinggi, produk buatan RRC sudah meraup pasar di seluruh dunia, Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa, maupun benua Amerika .

Dengan kompetisi dalam hal labor cost ini, kita bisa melihat gejala yang terjadi di Tanah Abang, yaitu beberapa tahun yang lalu masih terlihat pedagang-pedagang grosir dari negara asing, yang umumnya banyak dari Afrika, sekarang sudah menghilang dan berpindah ke RRC. Bisa dibayangkan betapa naasnya kehidupan perdagangan di Tanah Abang yang sudah kehilangan para pelanggannya, yang sebelumnya sudah memberikan devisa bagi negeri kita. RRC rupanya sudah mengantisipasi kompetisi dalam scope globalisasi ini, sehingga persaingan globalisasi dengan strategi economy's of scale dengan menjadikan dunia sebagai target market-nya, telah memenangkan pertandingannya lawan negara-negara lainnya termasuk Indonesia. Kesempatan devisa yang seharusnya masuk ke negeri kita, sudah disedot RRC!

Saat ini RRC, dengan luas daratan 10 juta km2 (bandingkan Indonesia dua juta km2), berpenduduk 1,3 miliar, sekitar seperempat dari jumlah penduduk dunia. Untuk mencegah pertumbuhan penduduk yang pesat, yang rentan membebani pertumbuhan perekonomiannya, pemerintah membatasi hanya satu anak saja untuk setiap keluarga. Bila lebih, keluarga tersebut harus menanggung biaya sendiri yang akibatnya akan sangat membebani perekonomian keluarga itu sendiri. Dari kebijakan keluarga berencana itu saja, RRC sudah memposisikan dirinya lebih kompetitif dengan negara-negara lainnya. Sejak kemerdekaan di tahun 1949, pemerintahan RRC yang komunis ini membuat program pembangunan per lima tahun.
Mao Tse Dong sebagai pemimpin tertinggi RRC menerapkan sistem perekonomian berlandaskan komunisme yaitu setiap warga negara mempunyai kesetaraan yang sama dalam tingkat kehidupannya, dengan memfokuskan kepada ilmu pengetahuan dan pendidikan.

Dengan sejarah negeri Cina sejak ribuan tahun yang lalu, dan dengan sejarah beberapa puluh tahun terakhir sejak negeri ini menjadi komunis, pada awal 1980-an, Deng Shiao Ping belajar bahwa negeri ini harus tetap kuat dalam pemerintahannya, tetapi strategi ekonominya harus dirubah. Lalu dia buat kebijakan baru untuk sistem perekonomiannya yaitu dengan sistem kapitalisme dan desentralisasi. Kebijakan-kebijakan dibuat untuk meningkatkan produktivitas dalam pertanian dan industri dan dengan membuka pintu untuk investor asing. Setelah 20 tahunan kebijakan baru diterapkan, penulis sudah melihat langsung perkembangan perekonomiannya, khususnya Kota Guang Zhou, Shen Zhen dan sekitarnya. Kelihatannya lumbung-lumbung kota-kota ini cukup banyak uangnya dan malah lebih dari cukup karena dapat dilihat dari pertumbuhan pembangunan kota dan keasrian kota yang tetap terpelihara dengan rapih dan bersih. Fenomena yang terlihat dari kasat mata, misalnya, Kota Guang Zhou mampu mengkonsumsi listrik dengan boros dan berlebihan pada malam harinya, dan tidak mempunyai istilah pasdak (padam secara mendadak). Kalau adapun terjadi hidup mati lampu itu hanya bisa terjadi sekejap saja dan hanya terjadi di segelintir tempat yaitu kalau kita melewati klub malam alias tempat-tempat diskotik. Dengan fenomena ini pertumbuhan ekonomi RRC telah mendapat pengakuan oleh badan dunia yaitu International Monetary Fund (IMF) yang meranking ekonomi RRC sebagai urutan ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Dalam kebijakan-kebijakan barunya, RRC fokus dalam menyusun programnya secara sistematis dan konsisten. Langkah demi langkah, proses demi proses, pertumbuhan ekonomi dicapai sesuai dengan target enam perse setahun, malah kadang-kadang melebihi, bisa mencapai 13 persen seperti pada tahun 1992. Dengan strategi membuka Free Trade Zone seperti di Shen Zhen, yaitu dengan tujuan membuat Shen Zhen sebagai gula dan lokomotif ekonomi bagi daerah- daerah di sekitarnya, maka cepat atau lambat daerah-daerah sekitarnya akan kecipratan berkah dan rejekinya dan lama kelamaan akan terangkat menjadi sama dengan pertumbuhan Kota Shen Zhen itu sendiri dengan cara belajar dari Shen Zhen sebagai bench-mark atau tolok ukurnya.

Pemerintah daerah sangat berkomitmen untuk mengembangkan daerahnya dengan misi menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi warga daerahnya. Sebagai contoh, apabila ada calon investor asing datang ke suatu daerah di sana, kepala daerahnya rela dan tidak segan-segan menemani calon investor itu, walaupun bisa menyita waktunya sampai seminggu. Pemerintah daerah mau berkorban untuk menyediakan lahan secara gratis (kalau di Batam sama dengan UWTO gratis 80 tahun) dan bersedia menginvestasikan sarana dan prasarananya termasuk jalan, drainase, air, listrik dan telepon, asal calon investor itu mau membangun dan membuka industri dengan menyerap tenaga kerja daerahnya.

Dengan terjadinya kebangkitan ekonomi RRC yang fenomenal ini, sudah banyak orang memprediksi bahwa bahasa Mandarin akan mendominasi dunia selain bahasa Inggris. Yang lebih menakjubkan lagi, RRC sudah berani memprediksikan dirinya pada tahun 2020 perekonomiannya akan melampaui perekenomian AS. Fenomena bangkitnya perekonomian RRC bukan seperti membalikkan tangan, tetapi pasti ada tangan-tangan para pemimpin di RRC yang menangkap visi-misi Deng Xiao Ping yang melaksanakannya dengan determinasi yang tinggi dan dengan tangan yang dingin.

Sumber: Ir.Richard Pasaribu, MSc
www.freelist.org/archives/nasional_list/01-2005/msg00472.html

Monday, December 10, 2007

Mengapa Industri Jepang Bisa Maju?

KETIKA pertama kali tinggal di Jepang saya terheran-heran mengetahui bahwa listrik di Jepang tekanannya 110 volt. Saya terheran-heran karena belum lama sebelumnya di Jakarta rumah saya listriknya diubah dari 110 volt menjadi 220 volt dan perubahan itu bukan pula tanggungan PLN yang memaksakan perubahan, melainkan menjadi tanggungan pengguna listrik. Dengan berat hati saya membayar biaya perubahan itu dengan perkiraan bahwa untuk menjadi negara industri listrik haruslah 220 volt. Pada waktu itu pemerintah Orde Baru memang sedang bersemangat membangun negara dari negara pertanian menjadi negara industri.

Tetapi, mengapa Jepang yang sudah menjadi negara industri yang maju dan dikagumi dunia masih tetap memakai listrik dengan 110 volt? Suudon saya timbul, listrik di Indonesia oleh PLN dipaksa berubah menjadi 220 volt bukanlah karena tekanan 220 volt memang menjadi prasarat agar kita menjadi negara industri, melainkan karena para pejabat PLN termakan komisi dari perusahaan yang menjadi pemborong perubahan voltasi itu. Sangkaan saya dibuktikan juga oleh sejarah, meskipun sudah bervoltasi 220 volt, Indonesia belum juga menjadi negara industri, malah ambruk menjadi negara pengutang ratusan miliar dolar Amerika yang kerja pemerintahnya berkeliling meminta-minta kepada negara-negara maju, kalau perlu dengan melakukan apa pun juga yang mereka maui.

Dengan listrik 110 volt, Jepang mencukupi kebutuhan seluruh rumah tangga di seluruh Jepang, dari Okinawa sampai Sapporo, termasuk di daerah-daerah terpencil, baik untuk keperluan penerangan maupun untuk keperluan sehari-hari lainnya seperti mesincuci, kulkas, pemanas udara dan pemanas air dan sebangsanya. Dan tekanan 110 volt itu konstan sepanjang hari, tidak seperti di Jakarta yang biasanya turun jauh pada waktu malam karena banyak pemakaian dan pencurian listrik. (Sekarang pun setelah 220 volt keadaannya masih tetap saja).

Selama tinggal di Jepang 22 tahun hanya sekali saya mengalami listrik mati. Itu pun diberitahukan sebulan sebelumnya. Dengan listrik 110 volt Jepang memenuhi kebutuhan listrik untuk menggerakkan keretaapi baik yang di atas maupun yang di bawah tanah. Dengan listrik 110 volt Jepang menggerakkan mesin industrinya sehingga dikagumi bahkan juga oleh negara-negara maju: industri otomotif, industri perkapalan, industri elektronik dll.

Sesuatu negara menjadi negara industri bukan karena listriknya dirubah dari 110 volt menjadi 220 volt, melainkan karena kerja keras para penduduknya. Modal memang penting juga, tetapi bukan segala-galanya. Jepang sehabis perang adalah negara miskin yang gambarannya sekarang masih tampak misalnya dalam film-film yang dibuat pada tahun-tahun pertama sehabis perang antaranya oleh Kurosawa Akira. Jepang menggeliat menjadi negara industri karena kesempatan yang timbul oleh adanya Perang Korea. Modal Amerika melimpah ruah ke sana. Tetapi, modal itu menjadi berkembang mendorong industri nasional Jepang disebabkan oleh karena orang Jepang sendiri mempunyai etos kerja yang luar biasa.

Begitu hebatnya semangat kerja orang Jepang sehingga disebut sebagai workholic (turunan dari alcoholic) oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika dan Eropa. Pada waktu perkembangan ekonomi Jepang luar biasa, sehingga seorang sarjana Amerika menulis buku Japan as Number One. Berbagai studi dan buku tentang manajemen Jepang, semangat kerja orang Jepang dll diadakan dan diterbitkan. Perbandingan antara manajemen Jepang dan Barat dilaksanakan, dicari keistimewaannya sehingga bisa 'mengalahkan' kemajuan Barat. Orang Amerika dan orang-orang Eropa merasa kuatir dominasi ekonominya terkalahkan. Mereka mendesak orang Jepang agar mengurangi semangat kerjanya. Mereka mendesak agar Jepang mengikuti jejak mereka tidak bekerja pada hari Sabtu. Lima hari dalam seminggu bekerja sudah cukup, kata mereka. Dengan berat hati Jepang mengikuti desakan itu sehingga akhirnya mereka pun secara resmi hari Sabtu diliburkan.

Tetapi, di kalangan orang Jepang sendiri terdengar kecemasan karena melihat generasi muda yang lebih santai dan egoistis dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka cemas akan hari depan bangsa Jepang kalau generasi mudanya tidak lagi memiliki semangat dan etos kerja seperti mereka. Sementara itu, biaya hidup di Jepang kian meningkat. Tenaga kerja kian mahal sehingga industri Jepang tak bisa bersaing dengan negara-negara baru berkembang seperti Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Para pemodal Jepang memindahkan pabriknya ke negara-negara berkembang yang tenaga buruhnya lebih murah. Indonesia mula-mula menjadi salah satu negara pilihan untuk menanam modalnya, namun kemudian karena Indonesia kian korup dan tidak ada jaminan hukum, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Cina, Thailand, Vietnam, dll. menjadi pilihan yang lebih menarik. Krisis perbankan dan korupsi yang terjadi di Jepang sendiri, melemahkan industri Jepang dan menimbulkan krisis perekonomian yang berkepanjangan.

Oleh karena itu, kalau kita hendak menjadikan Jepang sebagai cermin, akan kelihatan bahwa Jepang berkembang menjadi negara industri pada masa sesudah Perang Dunia II (ketika dia dikalahkan oleh Amerika dan sekutunya), adalah berkat kerja keras mereka sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka ingin membangun bangsa dan negaranya dari reruntuhan Perang Dunia, maka mereka bekerja dengan penuh kesungguhan sambil benar-benar mengencangkan ikat pinggang. Setelah mereka mencapai kemajuan yang membuat bangsa-bangsa maju lainnya irihati, mulailah bermunculan penyakit korupsi, egoisme, nepotisme dan berbagai penyakit sosial lainnya yang pada akhirnya menyeret bangsa Jepang ke lembah resesi ekonomi sehingga mereka tak bisa mencapai atau mempertahankan gelar as number one.

Apakah mereka akan keluar dari krisis berkepanjangan yang sekarang mereka alami? Tentu hal itu tergantung kepada usaha dan kerja keras mereka sendiri. Tetapi, konon usaha perbaikan sering menghadapi hambatan karena adanya mentalitas busuk peninggalan masa sedang jaya karena banyak orang yang merasa keenakan dengan kehidupan demikian sehingga enggan untuk mengubahnya-- meskipun demi kemajuan bangsa.

Kalau cermin Jepang kita terapkan pada diri kita sendiri: Kapankah dalam sejarah kita setelah merdeka pada tahun 1945 kita pernah bersungguh-sunguh hendak membangun (ekonomi) bangsa sehingga berkembang menjadi negara industri? Memang rencana dan slogan pernah disusun berkali-kali. Tetapi, apakah dalam pelaksanaannya kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Lima tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan kita sibuk dengan perang kemerdekaan mengusir Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan beberapa negara lain, kita mempunyai dua konsep tentang pembangunan ekonomi bangsa.

Konsep pertama dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang menjadi Menteri Kemakmuran dan kemudian Menteri Keuangan, yang menghendaki Indonesia menjadi negara industri, dengan mendirikan pabrik-pabrik bahan yang kita perlukan untuk membangun. Yang pertama mendirikan pabrik semen Gresik, untuk itu kita meminjam uang beberapa ratus juta dolar dari luar negeri. Dengan adanya pabrik semen dan pabrik-pabrik lain diharapkan industri kita akan berkembang pesat. Untuk itu pemerintah menyediakan kredit kepada para pengusaha nasional. Ternyata dalam praktik harapan itu tidak tercapai karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan 'pengusaha aktentas' yang mendapat rekomendasi dari partai-partainya.

Konsep yang kedua berasal dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjadi Gubernur Bank Indonesia. Konsep beliau berlandaskan kepada pertanian. Menurut beliau, sektor pertanianlah yang harus didahulukan. Untuk itu perlu dibuka jutaan km2 sawah oleh para petani kita. Untuk itu kita tidak usah meminjam uang dari luar karena untuk membuka hutan dan mengerjakan sawah bisa dilakukan dengan alat-alat sederhana seperti cangkul yang bisa kita buat sendiri. Dengan uang beberapa ratus juta dolar yang dipakai untuk memodali pabrik semen Gresik menurut beliau bisa memberi jalan hidup kepada puluhan bahkan ratusan ribu orang petani, sedangkan yang akan terlibat dengan kegiatan pabrik semen, termasuk dengan para penyalur, hanya beberapa ribu orang saja.

Karena Prof. Dr. Soemitro ketika itu menduduki jabatan eksekutif, konsep beliaulah yang dilaksanakan. Ternyata dalam praktik harapan agar industri kita berkembang pesat tidak tercapai, karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan para pengusaha lisensi, yaitu mereka yang karena mendapat rekomendasi dari partainya mendapat berbagai kemudahan kredit yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukan memajukan perindustrian. Oleh karena itu, bukan industri yang berkembang, melainkan korupsi. Apalagi setelah Sukarno merebut kekuasaan dengan dukungan Angkatan Darat (Jenderal Nasution) melalui Dekrit Presiden tahun 1959 yang memberlakukan lagi Undang-undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante yang hampir rampung menyelesaikan pekerjaannya dan kedua konseptor pembangunan ekonomi itu lari dari Jakarta. Dr. Soemitro kabur ke luar negeri karena konon menggabungkan diri dengan kaum pemberontak. Mr. Sjafruddin sendiri setelah habis cutinya di Palembang tidak mau kembali ke Jakarta dan mengikuti rapat di Sungai Dareh yang memberi ultimatum kepada Presiden Sukarno agar membentuk kabinet secara demokratis. Dan, karena ultimatum itu dijawab oleh pemerintah pusat dengan menjatuhkan bom di Painan, mereka membentuk kabinet tandingan (PRRI) dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri, kemudian menjadi Presiden RPI (Republik Persatuan Indonesia).

Pada masa Demokrasi Terpimpin, walaupun Soekarno mengumumkan konsep Ekonomi Terpimpin, ekonomi Indonesia kian hancur karena Soekarno sendiri tidak mengerti ekonomi dan para pembantunya hanya melayani apa yang dimaui oleh Pemimpin Besar Revolusi saja --yaitu keinginan Soekarno sendiri. Soekarno berlaku seperti raja yang mementingkan ambisi-ambisinya dijalankan dengan patuh dan agar para pembantunya dapat menyediakan uang yang dia perlukan setiap waktu dia perlukan untuk memuaskan ambisinya, maka ia memberi keleluasaan kepada orang-orang itu untuk mempergunakan fasilitas menggunakan uang negara. Pada masa Orde Baru, konsep ekonominya seperti mau menggabungkan konsep Sjafruddin dan Soemitro, namun ilmu korupsi para pejabat kian lihai karena pemerintah Orde Baru menguras habis-habisan minyak bumi, hutan dan kekayaan laut untuk memperkaya diri sehingga berakhir dengan ambruknya Indonesia sebagai bangsa dan negara.***

Sumber: Ajip Rosidi www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/18/0804.htm - 24k