tag:blogger.com,1999:blog-35450914173224465632024-03-20T18:09:53.295+07:00THE POWER OF ETHOSEthos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.comBlogger26125tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-89331173503574260222007-12-18T14:48:00.000+07:002007-12-18T15:08:05.036+07:00Budaya Kerja Bangsa Jepang<p class="MsoNormal" style=""><st1:country-region><st1:place>Malaysia</st1:place></st1:country-region> memperkenalkan asas memandang ke Timur pada awal era 1980-an dengan menjadikan Jepang sebagai contoh.<br /><br />Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa terproduktif di dunia. Mereka juga berhasil membangun negaranya dari sisa-sisa keruntuhan dan kehancuran. Mereka terkenal dengan sikap rajin dan pekerja keras. Jadi, tidak heran jika pekerja Jepang mampu bekerja dalam waktu yang panjang tanpa mengenal lelah, bosan, dan putus asa. Mereka bukan hanya mampu bekerja dalam jangka waktu yang lama, melainkan juga mampu mencurahkan perhatian, jiwa, dan komitmen pada pekerjaan yang dilakukannya. Karakter dan budaya kerja keras merupakan faktor penting keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan.<br /><br />Bangsa Jepang tidak menganggap tempat kerja hanya sekadar tempat mencari makan, tetapi juga menganggapnya sebagai bagian dari keluarga dan kehidupannya. Kesetiaan mereka pada perusahaan melebihi kesetiaannya pada keluarga sendiri. Mereka selalu berusaha memberikan kinerja terbaik pada perusahaan, pabrik, atau tempat mereka bekerja. Budaya kerja seperti itu tidak lahir dan terwujud dengan begitu saja. Budaya itu dipupuk dan dilatih selama berabad-abad, sehingga akhirnya mengakar dalam pemikiran dan jiwa mereka.<br /><br />Di Jepang, setiap pekerja mengetahui tugas dan perannya di tempat kerja. Mereka tidak bekerja sebagai individu, tetapi dalam satu pasukan, sehingga tidak ada jurang yang tercipta di antara mereka. Mereka tidak bersaing, tetapi bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tugas. Di Jepang, semua pekerja tidak memandang pangkat dan berada pada kedudukan yang sama.<br /><br />Jabatan tinggi atau rendah tidak penting dalam etika dan pengelolaan kerja bangsa Jepang. Di tempat kerja, meja pegawai dan atasan diletakkan dalam suatu ruang terbuka tanpa pemisah. Tidak ada dinding pemisah seperti kebanyakan ruang kantor di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>.<br /><br />Pengelola tidak dipisahkan dari bawahan mereka. Tidak ada ruangan khusus untuk golongan pengelola. Tempat duduk dan meja di susun dan diletakkan berdekatan dengan pengelola bagiannya agar memudahkan bawahannya menghubungi mereka. <span style="" lang="SV">Dengan demikian, mereka dapat berinteraksi, berkomunikasi, dan bertukar pendapat kapan saja.<br /><br />Susunan ruangan kantor seperti itu bukan agar atasan mengawasi bawahannya. Melainkan lebih berfungsi sebagai tempat dan saluran untuk berbincang dan bertukar pandangan. Walau begitu, duduk dalam keadaan rapat tidak digunakan untuk membicarakan hal yang tidak berguna. Mereka hanya berbicara dan bercanda setelah jam kerja.<br /><br />Cara yang digunakan bangsa Jepang adalah salah satu cara membentuk dan menjalin hubungan erat antar pekerja. Semua pekerja mempunyai tugas dan tanggung jawab penting, sehingga mereka tidak merasa asing. </span><span style="" lang="FI">Selain itu, antar sesama, mereka memiliki ikatan emosi yang kuat. Begitu juga dengan rasa sentimen dan keterikatan mendalam terhadap perusahaan, pabrik, dan tempat kerja mereka.</span><br /></p><p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI">o Karakter dan budaya kerja keras merupakan faktor penting keberhasilan bangsa Jepang dalam bidang ekonomi, industri dan perdagangan.<o:p></o:p></span><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--><span style="" lang="FI"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI">o Jabatan tinggi atau rendah tidak penting dalam etika serta pengelolaan kerja bangsa Jepang.<o:p></o:p></span><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--><br /></p><p class="MsoNormal" style="">o Orang Jepang mau kerja lembur meskipun tidak dibayar.</p><span style="" lang="FI"></span> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: Retno Kintoko dari buku <i>Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng</i><br />Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com</span></span><br /><br /><o:p></o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-59843565193567510252007-12-14T11:32:00.000+07:002007-12-14T11:38:38.134+07:00Mengapa Tidak Seperti Jepang?Menjelang tahun 1978, gaji pekerja Jepang lebih tinggi daripada gaji pekerja AS dan berkali-kali lebih tinggi daripada gaji pekerja negara-negara <st1:place>Asia</st1:place> lainnya.<br /><p class="MsoNormal"> Mengapa Korea Selatan, <st1:place><st1:city>Hong Kong</st1:city>, <st1:country-region>Taiwan</st1:country-region></st1:place>, Singapura, dan <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> tidak dapat menjadi seperti Jepang? Apakah karakter bangsa Jepang tidak dimiliki bangsa lain? Padahal, berdasarkan ciri fisik dan keadaan geografis, setengah negara tersebut yang lebih baik daripada Jepang. Beberapa penelitian dilakukan untuk menjelaskan hal itu. Namun, sebagian besar penjelasan tersebut dianggap ketinggalan zaman dan tidak dapat digunakan dalam konteks sekarang. Sebagai contoh, keberhasilan ekonomi Jepang pernah dikaitkan dengan gaji buruh dan pekerja yang rendah. Namun, menjelang tahun 1978, gaji pekerja Jepang lebih tinggi daripada gaji pekerja AS dan berkali-kali lebih tinggi daripada gaji pekerja negara-negara <st1:place>Asia</st1:place> lainnya.<br /><br />Walaupun biaya pengeluaran di Jepang meningkat, negara itu masih dapat mempertahankan kedudukannya sebagai salah satu penguasa perekonomian utama di dunia. Pada saat para pekerja di negara-negara industri Eropa Barat dan AS mengalami penurunan produktivitas, para pekerja Jepang menunjukkan prestasi yang cukup mengagumkan. Pada tahun 1975, setiap sembilan hari, seorang pekerja di Jepang menghasilkan sebuah mobil senilai seribu Poundsterling. Padahal, pekerja di perusahaan Leyland Motors, Inggris, memerlukan waktu empat puluh tujuh hari untuk menghasilkan sebuah mobil bernilai sama. Kecekatan, keahlian, dan kecepatan pekerja Jepang jelas melebihi pekerja di negara mana pun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Jepang dapat pulih dan membangun kembali negaranya dengan cepat, walaupun seluruh sendi perekonomiannya lumpuh setelah dikalahkan Sekutu yang dipimpin oleh AS dalam Perang Dunia II.<br /><br />Seorang pekerja Jepang rata-rata dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:city> sampai enam orang. Di Indonesia, untuk memperbaiki jalan kampung yang rusak, mungkin diperlukan <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:city> belas orang. Mulai dari pihak yang menerima pengaduan, memberi arahan, yang mengangkat peralatan, pemandu, hingga yang bertanggung jawab mengolah ter [aspal], dan yang menutupi jalan yang rusak. Di Jepang, pekerjaan itu dapat di kerjakan oleh tiga orang saja. Oleh karena itu, pekerja Jepang digaji tinggi karena mereka dapat menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan lebih dari satu orang orang. Saat bekerja, orang Jepang tidak banyak bicara dan bertingkah. Hal yang penting bagi mereka adalah mempersiapkan pekerjaan dan tugas yang diberikan.<br /><br />Jadi, jika ada negara yang ingin seperti Jepang, mereka juga perlu memiliki pekerja yang mampu mengerjakan berbagai pekerjaan dalam waktu yang sama. Pekerja di Jepang tidak hanya mampu bekerja dengan baik, tetapi mau bekerja lembur tanpa bayaran lebih. Bagi mereka, yang terpenting adalah pekerjaan tersebut dapat selesai secepatnya. Mereka tidak terlalu memikirkan imbalan karena imbalan tersebut dapat diperoleh dengan menunjukkan prestasi yang memberi semangat dan ketika perusahaan memperoleh keuntungan.<br /><br />Berbeda dengan pekerja di <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> yang sangat bergairah menuntut berbagai gaji dan bonus tanpa mencoba berusaha untuk meningkatkan kualitas pekerjaan mereka. Konsep untuk membayar terlebih dahulu dari bekerja kemudian haruslah diubah. Pekerja Jepang layak menerima gaji tinggi karena kualitas kerja mereka. Di samping itu, sikap dan cara kerja mereka juga sepantasnya mendapatkan gaji tinggi. Pekerja di Indonesia perlu mencontoh sikap kerja bangsa Jepang jika ingin menjadi negara maju.<br /><br />Bangsa Jepang berusaha menjadi nomor satu dalam semua bidang. Mereka juga bekerja sungguh-sungguh untuk mencapainya. <span style="" lang="SV">Sikap positif ini sebaiknya diterapkan dalam hati dan sanubari kita semua. Sikap ini berhasil mengubah pandangan masyarakat dunia pada barang produksi Jepang. Sebelum perang, barang produksi Jepang dianggap tidak berkualitas dengan mutu pembuatan amat rendah. Begitu juga setelah perang, barang berlebel Made in Japan tidak laku di pasaran dan sering dilecehkan jika dibandingkan dengan produksi dan Barat.<br /><br />Pada awal era 1950-an, radio, perekam pita, dan peralatan hi-fi dari Jepang tidak dapat menyaingi produksi AS dan menembus pasar dunia. Namun, bangsa Jepang tidak putus asa. Para peneliti dan pekerja Jepang terus berusaha memperbaiki produk mereka. Mereka terus melakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan mutu produksinya, sehingga produk mereka diakui sebagai yang terbaik di dunia. Hal serupa juga terlihat dan barang barang produksi seperti jam tangan, motor, barang elektrik, kapal, tekstil, dan sebagainya.<br /><br />Jika Jepang dapat menjadi nomor satu dan menciptakan keajaiban dalam bidang ekonomi, tidak ada alasan bagi negara lain untuk tidak bisa mendapatkan kedudukan yang sama. Bukankah ada pepatah lama yang mengatakan “di mana ada kemauan, di situ ada jalan” dan “mau seribu daya, tidak mau seribu alasan”. Jepang bisa, negara lain juga pasti bisa. Walaupun tidak bisa sama persis seperti Jepang, tetapi negara lain dapat meniru Jepang. Bangsa Jepang juga meniru dari Barat sebelum mereka dapat menghasilkan produk dan barang yang jauh lebih baik daripada yang ditirunya.<br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Fakta Menarik<br />Beberapa produk terbaik Jepang yang diakui dunia :<br />1. Jam tangan<br />2. Kendaraan bermotor<br />3. Perangkat listrik<br />4. Kapal<br />5. Tekstil</span><br /><br /><span style="" lang="SV"></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: Retno Kintoko dari buku <i>Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng</i><br />Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com</span></span><o:p></o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-67103005734882082582007-12-14T11:25:00.000+07:002007-12-14T11:28:56.841+07:00Bagaimana Jepang Menjadi Nomor Satu<p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Hasil pertanian Jepang merupakan yang tertinggi di dunia.<br /><br />Berbeda dengan Indonesia, Jepang tidak memiliki hasil dan sumber daya alamnya sendiri. Oleh karena itu, Jepang bergantung pada sumber-sumber dari negara lain. Negara tersebut tidak hanya mengimpor minyak bumi, biji besi, batu arang, kayu, dan sebagainya. Bahkan, hampir delapan puluh lima persen sumber tenaganya berasal dari negara lain. Hasil pertanian Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Selain itu, Jepang juga mengimpor tiga puluh persen bahan makanan dan negara lain untuk memenuhi konsumsi makanan penduduknya. Namun, di Jepang pertanian masih menjadi sektor utama meskipun telah dikenal sebagai negara industri yang maju.<br /><br />Seperti telah disebutkan, persaingan penggunaan tanah di Jepang sangat tinggi dan ketat. Karena permukaan yang bergunung gunung para petani harus memaksimalkan penggunaan tanah untuk menghasilkan makanan secara produktif. Bangsa Jepang tidak suka pemborosan. Karena itu, mereka memanfaatkan waktu dan sumber daya alam sebaik-baiknya. Semuanya digunakan secara maksimal dengan tahapan yang maksimal pula. Coba bayangkan mereka menanam padi di halaman rumah mereka dan tidak menyia-nyiakan sejengkal tanahpun tanpa menghasilkan sesuatu Selain itu, keadaan negara yang sedemikian rupa mendorong bangsa Jepang untuk menggunakan sumber yang sedikit untuk mendapatkan hasil yang banyak.<br /><br />Sektor lapangan pekerjaan, pendidikan, dan sektor kehidupan lainnya juga ikut mengalami persaingan yang ketat. Hal itu dlsebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah jumlah penduduk yang padat dan perubahan sosial. Para penduduk pun dituntut bekerja keras untuk memenuhi keperluan yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Bangsa Jepang tidak menjadikan keadaan geografis yang kurang baik sebagai alasan mereka tidak bisa maju. Bencana alam, seperti gempa bumi, gunung meletus dan angin topan, juga tidak menghalangj mereka menjadi bangsa yang kuat dan dihormati.<br /><br />Bangsa Jepang berhasil membuktikan mereka dapat menciptakan keajaiban dalam bidang ekonomi dalam keadaan yang serba kekurangan dan dengan sumber daya alam terbatas. Akan tetapi, keajaiban dalam bidang ekonomi itu tidak muncul tiba-tiba dan diperoleh dalam sekejap. Keajaiban itu datang dari hasil kerja keras dan komitmen penduduknya selama beratus-ratus tahun. Tanpa kesungguhan dan keyakinan, bangsa Jepang mustahil dapat membangun kembali negaranya yang hancur akibat Perang Dunia II dan mampu berada dalam posisi seperti saat ini.<br /><br />Bangsa Jepang merupakan bangsa yang tahan terhadap cobaan. Mereka tidak mudah tunduk pada kekalahan dan kegagalan. Mereka juga tidak mudah putus asa dan menyerah begitu saja. Bagi bangsa Jepang, kalah dan gagal setelah berjuang lebih mulia daripada mati sebelum berperang atau mencoba. Tidak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa curahan keringat dan pengorbanan. Dengan kesungguhan, disiplin, kerja keras, dan semangat Bushido yang diwarisi secara turun-temurun, akhirnya Jepang menjadi penguasa perekonomian nomor satu di dunia.<br /><br />Banyak negara di Asia yang menjadikan ke berhasilan Jepang sebagai sumber inspirasi mereka. Akan tetapi, tidak satu pun yang mampu mencontoh dan mengulang secara utuh keberhasilan Jepang. Mencontoh keberhasilan Jepang tanpa menerapkannya melalui tindakan tentu saja tidak memberikan basil apa-apa. Bangsa Jepang cepat dan tanggap bertindak, Sehingga mereka cepat bangkit dari kehancuran. Mereka tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. Sekali mendapatkan peluang, mereka tidak melepaskannya.<br /><br />Banyak negara yang berusaha mengikuti langkah Jepang. Salah satunya adalah Korea Selatan. Seperti halnya Jepang, Korea Selatan juga mengalami ke hancuran ekonomi yang dahsyat akibat perang saudara dengan Korea Utara. Ketika saudara kandungnya itu masih berhadapan dengan kemiskinan, perekonomian Korea Selatan telah berkembang dengan pesat, sehingga muncul sebagai penguasa baru dalam perekonomian Asia. Namun, kemajuan ekonominya masih belum dapat mengalahkan Jepang. Negara Jepang dianggap sebagai pemimpin utama dan penguasa nomor satu perekonomian di benua kita. Korea Selatan berpotensi menjadi negara seperti Jepang, tetapi perlu waktu lama untuk mengambil alih kedudukan Jepang. Saat ini, Korea Selatan sedang mengikuti Jepang dengan jarak dekat dan Jepang pun berlari tanpa menunjukkan rasa letih. Jepang juga telah jauh meninggalkan negara-negara tetangganya dan terus memperbesar jarak demi mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa ekonomi nomor satu.<br /><br />Fakta Menarik:<br /><br />Rahasia Jepang Menjadi Penguasa Nomor Satu Di Dunia:<br />* Kesungguhan<br />* Disiplin<br />* Kerja keras<br />* Semangat “Bushido”<br />* “Keajaiban” Jepang bukan karena Sulap.<br />* Bangsa Jepang tidak menunggu peluang datang, tetapi mencari dan menciptakan sendiri<br />peluang tersebut.<br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: Retno Kintoko dari buku <i>Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng</i><br />Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com</span></span><br /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /> <!--[endif]--><o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-12701241693468989012007-12-14T11:12:00.000+07:002007-12-14T11:20:07.856+07:00Nilai Hidup Bangsa Jepang<p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">“Mereka yang pernah mendaki Gunung Fuji, layak disebut orang bijak. Namun, mereka yang mendaki untuk kedua kalinya, layak disebut orang bodoh.” - Rahasia Pepatah Jepang -<br /><br />Gunung Fuji dengan ketinggian 3.776 meter merupakan gunung tertinggi sekaligus simbol bagi rakyat Jepang. Bentuknya yang megah semakin memantapkan julukannya sebagai gunung keramat. Konon, wanita sempat dilarang keras mendaki gunung tersebut karena dewi Gunung Fuji akan cemburu.<br /><br />Gunung Fuji yang berarti “keabadian” menjadi pembangkit semangat bagi masyarakat Jepang untuk terus berpikir kreatif tatkala keadaan mulai kian mustahil. Inilah salah satu faktor mengapa Jepang bisa sukses menguasai dunia walau memiliki segunung kekurangan.<br /><br />Bangsa Jepang tidak pernah memiliki peradaban yang hebat dan sejarah yang bisa dibanggakan seperti Negara-negara lain. </span>Negaranya cantik dan indah, tetapi tidak memiliki hasil alam yang bisa dimanfaatkan. Orangnya kecil dan pendek. Namun, di balik segala kekurangannya itu, mereka berjiwa besar dan memiliki impian yang melebihi kemampuan geografisnya. Budayanya unik dan nilai tradisinya mempesona. Wanitanya seperti gadis pingitan yang sangat pemalu dan segan. Prianya tegas dan garang seperti samurai yang siap perang. Gunung Fuji selalu menjadi sebutan karena diselimuti salju putih dan mendamaikan siapa pun yang memandangnya.<br /><br />Kita kenal bangsa Jepang karena mereka pernah menjajah tanah Melayu. Banyak yang membenci bangsa Jepang karena kekejaman dan keganasan yang dilakukannya. Bagaimanapun, bangsa Jepang kini sudah berubah. Kedatangan mereka tidak lagi ingin menjajah dan menguasai hasil kekayaan negara yang mereka datangi. Kedatangan bangsa Jepang untuk berdagang dan mencari peluang ekonomi baru. <span style="" lang="FI">Mereka membuat perindustrian dan mendirikan perusahaan- perusahaan di semua tempat. </span>Tujuannya hanya mencari keuntungan demi membangun kembali ekonominya seperti sediakala. Tujuannya menjadi negara maju dan penguasa ekonomi dunia sudah tercapai. Meskipun sudah menjadi sebuah negara kaya dan tersohor, tetapi mereka tidak pernah berhenti bekerja. Mereka terus berusaha memperbaiki prestasi mereka di bidang ekonomi.<br /><br />Faktor utama kesuksesan bangsa Jepang terletak pada budaya kerja, sistem etika, pengelolaan yang bagus, kreativitas, dan semangat juang tinggi tanpa mengenal arti kekalahan. Mereka menjadi kebanggaan <st1:place>Asia</st1:place> karena dapat mengatasi pihak Barat dari segi prestasi dan produktivitasnya. Bangsa Jepang terkenal rajin dan optimis. Cara mengendalikan suatu masalah dan pekerjaan berbeda dari <st1:city><st1:place>gaya</st1:place></st1:city> Barat. Keberhasilan bangsa Jepang sangat mengagumkan sehingga menimbulkan berbagai pertanyaan seputar formula yang mereka gunakan. Kesuksesan Jepang tersebut luar biasa, meskipun mereka pernah musnah saat Perang Dunia berakhir. Banyak penelitian yang menyoroti budaya kerja dan rahasia kesuksesan bangsa Jepang. Hal ini terbukti dengan banyak diterbitkannya buku-buku yang berkaitan dengan Jepang. Banyak aspek mengenai bangsa Jepang yang disentuh, termasuk aspek pemikiran dan pengelolaan. Terdapat pula tulisan yang terlalu bersifat teknik dan sukar dipahami karena diterjemahkan dari buku-buku yang diterbitkan di Jepang.<br /></p><p class="MsoNormal"> </p><p class="MsoNormal">Tulisan ini dapat menjadi rujukan, panduan, dan motivasi agar kita dapat lebih dekat mengenal bangsa Jepang. Hal positifnya, banyak rahasia dan formula yang dapat digali dari mereka. Formula ini sebenarnya bukan rahasia lagi. Kita sudah mengetahuinya, tetapi kita tidak pernah menggunakannya. Formula kesuksesan bangsa Jepang mudah dan lebih gampang daripada formula matematika. Untuk mencapai sukses, formula ini harus digunakan dan dipraktikkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi formula dan rahasia yang nantinya akan hilang oleh perubahan waktu dan zaman. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya, maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada di tangan kita dan bukan terletak pada negara.<o:p></o:p></p><br /><span style=";font-family:Georgia;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: Retno Kintoko dari buku <span style="font-style: italic;">Rahasia Bisnis Orang Jepang - Ann Wan Seng</span><br />Milis : InspirasiIndonesia@yahoogroups.com </span></span><span style="font-size:85%;"><br /></span><br /><span style=";font-family:";font-size:12;" ><!--[endif]--></span>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-84321554927927813772007-12-13T15:33:00.000+07:002007-12-13T15:39:28.168+07:00Belajarlah dari CinaBaru-baru ini saya mendapatkan beasiswa Asian Fellowship Award yang diberikan kepada dosen dan karyawan LSM minimal berjenjang S2 dari negara berkembang di Asia untuk melakukan penelitian di negara Asia lainnya di bidang seni, budaya dan sosial. Kebetulan S1 dan S2 saya di bidang sinologi dan saya meneliti tentang masalah-masalah sosial dalam keluarga Cina. Saya sekarang menjadi peniliti di universitas Xiamen.<br /><p><span style="" lang="SV"> <span class="fullpost">Terus terang saya sangat kaget ketika sampai di Xiamen. Xiamen terkenal sebagai kota industri dan juga pendidikan, mungkin sekelas semarang di Indonesia. Setelah 10 tahun tinggal di luar Cina saya harus mengakui Cina bukanlah negeri seperti yang kebanyakan orang Indonesia pikir. Bandara Xiamen sangat modern dan efisien, lebih baik dari bandara Soekarno-Hatta, jalan- jalannya luas, tidak ada kemacetan, di manapun kita pergi kita melihat taman yang tertata dengan rapih dan terpelihara. Satu hal yang paling mencengangkan adalah saya tidak melihat sampah. Orang-orang yang berjualan di pinggir jalan pun sangat teratur, sangat berbeda dengan kesan yang kita tahu bahwa orang Cina sangat jorok.</span><br /><br /><span class="fullpost">Transportasi sistem pun sangat baik, mereka sudah menerapkan kartu chip untuk naik bis, jadi kita hanya perlu beli kartu isi ulang yang harus ditempelkan pada mesin elektronik saat naik bis. Meskipun bis tidak terikat waktunya, semua orang menunggu bis di halte, naik di pintu depan, pintu bis selalu tertutup saat di jalan dan tidak pernah bis terlalu penuh seperti di Jakarta.</span><br /><br /><span class="fullpost">Kampus Xiamen University pun tidak kalah dengan kampus-kampus di Australia. Seluruh gedung diperlengkapi dengan AC, bahkan di dalam asrama-asrama mahasiswa (disini hampir semua mahasiswa tinggal di asrama). Internet ada di mana-mana, bahkan di asrama untuk orang asing pun akses internet bebas 24 jam hanya dengan membayar Rp 30.000,-. Telepon pun sangat murah. Fasilitas kampus pun sangat luar biasa, mulai dari kelas-kelas berAC yang dilengkapi dengan LCD, danau, stadion olahraga dan kolam renang berukuran standar internasional, pelayanan yang sangat efisien, dsb. Kartu mahasiswa bersifat multifungsi, bisa digunakan sebagai kartu untuk membeli makanan, berbelanja, fotokopi dan akses ke berbagai perpustakaan.</span><br /><br /><span class="fullpost">Dalam dua tahun belakangan ini saya berkesempatan beberapa kali berkunjung ke Thailand dan Cina untuk sekolah. Benar-benar saya merasa malu dengan negeri kita, karena kita jauh sekali tertinggal dengan negara-negara yang 10 tahun yang lalu ada di bawah kita. Thailand sudah beberapa tahun yang lalu memiliki monorail dan tahun lalu membuka subway, dan <span style="color:red;">Cina sangat mengejutkan saya dengan kebersihan dan kedisiplinan masyarakatnya memelihara lingkungan dan mempertahankan etos kerja dan kebersihan lingkungan.</span></span><span style="color:red;"><br /></span><br /><span class="fullpost">Terus terang saya adalah orang yang anti pemerintah karena saya memang banyak kecewa dengan pemerintah, sehingga saya sering berkata bahwa satu-satunya hal yang saya bisa banggakan dari negeri saya adalah budayanya yang tinggi. Sayangnya memang masyarakat kita terus dikungkung dan dibiarkan menjadi bodoh dan kita tidak sadar bahwa sekarang negara- negara Asia yang dulunya tidak kita pandang sebelah matapun sebenarnya sudah jauh berada di depan kita.</span><br /><br /></span><span class="fullpost"><span style="" lang="IT">Ada tanggapan?</span></span></p> <p class="MsoNormal"><span class="fullpost"><span style="" lang="IT"></span></span><span style="" lang="IT"><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" ><span class="fullpost">Sumber: Anggiet; www.milisbeasiswa.com/opini/ 2005/10/belajarlah-dari-<b>cina</b>.html - 22k )</span></span><br /><o:p> </o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-82981894445031589502007-12-13T15:19:00.000+07:002007-12-13T15:31:37.595+07:00Etos Kerja Cina<p class="MsoNormal">Sebelum Hongkong kembali ke pangkuan Republik Rakyat Cina (RRC), penulis bersama sang istri pertama kali menginjakkan kaki di RRC melalui tour beberapa hari dari Hongkong ke Shen Zen, <st1:place><st1:city>Guang Zhou</st1:city>, <st1:state>Macao</st1:state></st1:place> dan kembali lagi ke Hongkong. Di Guang Zhou penulis menginap di Garden Hotel yang terletak di jantung <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city>, di mana lingkungan sekelilingnya dapat dikatakan masih agak kumuh.<br /><br />Di pinggir jalan lingkungan tersebut, masih banyak terdapat segala jenis makanan dengan kereta dorongnya. Penulis dan istri berada bersama dengan rombongan yang terdiri dari beberapa teman turis yang berasal dari beberapa negara, yaitu Inggris, Jerman, dan <st1:country-region><st1:place>Australia</st1:place></st1:country-region>. Tengah malam waktu setempat, penulis dan istri menyempatkan diri ke luar mencari angin sembari melihat trotoar yang dipenuhi berbagai macam jualan makanan. Ular, biawak, kelelawar dan banyak lagi jenis makanan yang dapat dikatakan sangat aneh dan luar biasa, dijajakan di sepanjang trotoar. Setelah kunjungan berikutnya pada tahun 1999 dan tahun 2000, penulis kaget pada saat datang untuk yang ke berapa kalinya ke Guang Zhou pada tahun 2004 yang lalu, lingkungan luarnya sudah tertata rapih. Penulis tidak menyangka lingkungan yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan yang kumuh sudah tertata rapih dan bersih, sehingga dapat disejajarkan dengan daerah Orchard Road di Singapura.<br /><br />Penulis perhatikan sepanjang jalan di <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city>, dari satu tempat ke tempat yang lain selalu saja ada crane tinggi yang menandakan aktivitas pembangunan gedung bertingkat tinggi sedang berlangsung. Konon khabarnya, di Kota Guang Zhou sendiri, setiap hari selesai satu gedung bertingkat tinggi. Tentu bisa dibayangkan aktifnya pembangunan di <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city> itu. Ditambah lagi, penulis sangat menikmati sistem Mass Rapid Transport (MRT) bawah tanah yang tidak kalah sistem dan fasilitasnya dengan yang di Singapura. Belum lagi di seluruh dataran RRC setiap tahun terbangun jalan tol antar <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city> sepanjang 10.000 km. Bandingkan dengan jalan tol di seluruh <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> mungkin belum mencapai 10.000 km saat ini. Memang nyatanya, negeri RRC saat ini sedang membangun secara besar-besaran, sehingga menyedot bahan material bangunan seperti semen dan besi dari se antero dunia. <span style="" lang="SV">Tidak heran kalau setahun terakhir ini terasa sekali harga material besi beton naik secara drastis disebabkan oleh kebutuhan negeri RRC.<br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Pemerintahan RRC saat ini sedang terobsesi untuk mensukseskan proyek super raksasa untuk acara Olimpiade 2008 yang akan datang sebagai ajang promosi yang efektif untuk memperkenalkan negaranya ke pada dunia, bahwa betapa sudah maju dan makmurnya negara mereka.<br /><br />Penulis sempat melihat gudang dan pabrik pembuatan granito yaitu sejenis keramik berkualitas tinggi yang mirip dengan granit alam. Kalau di Indonesia kompetibel dengan Essenza. <span style="color:blue;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Di dalam pabrik itu penulis melihat tulisan sangat besar di temboknya, yang terjemahannya,</span> </span><strong><span style="color:red;">"Hari ini malas bekerja, besok rajin cari kerja!"</span></strong><span style="color:blue;"> <span style="color: rgb(0, 0, 0);">Sebuah peribahasa yang menjunjung tinggi etos kerja, bahwa barangsiapa yang kerjanya bermalas-malasan, akan diusir ke luar pagar perusahaan, dan silakan untuk rajin cari kerja bila masih ada rasa tanggung jawab untuk meneruskan mata pencahariannya.</span></span><br /><br />Dengan etos kerja yang tinggi, dan bekerja enam hari dalam seminggu dengan penghasilan sekitar Rp1.000.000 sebulan, dapat dibayangkan betapa rendahnya biaya buruh (labor cost) untuk produknya. Dengan jam kerja yang lama dan hasil kerja yang baik otomatis akan menghasilkan volume produksi yang besar. Gaji satu juta dibagi 1.000 produk per bulan, di pabrik X misalnya, akan mengeluarkan biaya buruh sebesar Rp1.000 per produk. Bandingkan bila di pabrik Y, dengan gaji satu juta dibagi dengan hanya 200 produk per bulan, maka akan memberikan biaya buruh tinggi yaitu Rp5.000 per produknya. Bagaimana kalau sebuah produk melalui tiga kali proses nilai tambah yang sama, maka alhasil biaya buruh di pabrik X akan hanya sebesar Rp3.000 per produk, sedangkan biaya buruh di pabrik Y akan sebesar Rp15.000 per produk. Tidak mengherankan, budaya kerja keras dengan kerja enam hari dalam seminggu dan kerja cerdas dengan etos kerja kerja yang tinggi, produk buatan RRC sudah meraup pasar di seluruh dunia, Afrika, Timur Tengah, Asia, Eropa, maupun benua Amerika .<br /><br />Dengan kompetisi dalam hal labor cost ini, kita bisa melihat gejala yang terjadi di Tanah Abang, yaitu beberapa tahun yang lalu masih terlihat pedagang-pedagang grosir dari negara asing, yang umumnya banyak dari Afrika, sekarang sudah menghilang dan berpindah ke RRC. Bisa dibayangkan betapa naasnya kehidupan perdagangan di Tanah Abang yang sudah kehilangan para pelanggannya, yang sebelumnya sudah memberikan devisa bagi negeri kita. RRC rupanya sudah mengantisipasi kompetisi dalam scope globalisasi ini, sehingga persaingan globalisasi dengan strategi economy's of scale dengan menjadikan dunia sebagai target market-nya, telah memenangkan pertandingannya lawan negara-negara lainnya termasuk Indonesia. Kesempatan devisa yang seharusnya masuk ke negeri kita, sudah disedot RRC!<br /><br />Saat ini RRC, dengan luas daratan 10 juta km2 (bandingkan Indonesia dua juta km2), berpenduduk 1,3 miliar, sekitar seperempat dari jumlah penduduk dunia. Untuk mencegah pertumbuhan penduduk yang pesat, yang rentan membebani pertumbuhan perekonomiannya, pemerintah membatasi hanya satu anak saja untuk setiap keluarga. Bila lebih, keluarga tersebut harus menanggung biaya sendiri yang akibatnya akan sangat membebani perekonomian keluarga itu sendiri. Dari kebijakan keluarga berencana itu saja, RRC sudah memposisikan dirinya lebih kompetitif dengan negara-negara lainnya. Sejak kemerdekaan di tahun 1949, pemerintahan RRC yang komunis ini membuat program pembangunan per lima tahun.<br />Mao Tse Dong sebagai pemimpin tertinggi RRC menerapkan sistem perekonomian berlandaskan komunisme yaitu setiap warga negara mempunyai kesetaraan yang sama dalam tingkat kehidupannya, dengan memfokuskan kepada ilmu pengetahuan dan pendidikan.<br /><br />Dengan sejarah negeri Cina sejak ribuan tahun yang lalu, dan dengan sejarah beberapa puluh tahun terakhir sejak negeri ini menjadi komunis, pada awal 1980-an, Deng Shiao Ping belajar bahwa negeri ini harus tetap kuat dalam pemerintahannya, tetapi strategi ekonominya harus dirubah. Lalu dia buat kebijakan baru untuk sistem perekonomiannya yaitu dengan sistem kapitalisme dan desentralisasi. Kebijakan-kebijakan dibuat untuk meningkatkan produktivitas dalam pertanian dan industri dan dengan membuka pintu untuk investor asing. Setelah 20 tahunan kebijakan baru diterapkan, penulis sudah melihat langsung perkembangan perekonomiannya, khususnya Kota Guang Zhou, Shen Zhen dan sekitarnya. Kelihatannya lumbung-lumbung kota-kota ini cukup banyak uangnya dan malah lebih dari cukup karena dapat dilihat dari pertumbuhan pembangunan kota dan keasrian kota yang tetap terpelihara dengan rapih dan bersih. Fenomena yang terlihat dari kasat mata, misalnya, Kota Guang Zhou mampu mengkonsumsi listrik dengan boros dan berlebihan pada malam harinya, dan tidak mempunyai istilah pasdak (padam secara mendadak). Kalau adapun terjadi hidup mati lampu itu hanya bisa terjadi sekejap saja dan hanya terjadi di segelintir tempat yaitu kalau kita melewati klub malam alias tempat-tempat diskotik. Dengan fenomena ini pertumbuhan ekonomi RRC telah mendapat pengakuan oleh badan dunia yaitu International Monetary Fund (IMF) yang meranking ekonomi RRC sebagai urutan ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang.<br /><br />Dalam kebijakan-kebijakan barunya, RRC fokus dalam menyusun programnya secara sistematis dan konsisten. Langkah demi langkah, proses demi proses, pertumbuhan ekonomi dicapai sesuai dengan target enam perse setahun, malah kadang-kadang melebihi, bisa mencapai 13 persen seperti pada tahun 1992. Dengan strategi membuka Free Trade Zone seperti di Shen Zhen, yaitu dengan tujuan membuat Shen Zhen sebagai gula dan lokomotif ekonomi bagi daerah- daerah di sekitarnya, maka cepat atau lambat daerah-daerah sekitarnya akan kecipratan berkah dan rejekinya dan lama kelamaan akan terangkat menjadi sama dengan pertumbuhan Kota Shen Zhen itu sendiri dengan cara belajar dari Shen Zhen sebagai bench-mark atau tolok ukurnya.<br /><br />Pemerintah daerah sangat berkomitmen untuk mengembangkan daerahnya dengan misi menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi warga daerahnya. Sebagai contoh, apabila ada calon investor asing datang ke suatu daerah di sana, kepala daerahnya rela dan tidak segan-segan menemani calon investor itu, walaupun bisa menyita waktunya sampai seminggu. Pemerintah daerah mau berkorban untuk menyediakan lahan secara gratis (kalau di Batam sama dengan UWTO gratis 80 tahun) dan bersedia menginvestasikan sarana dan prasarananya termasuk jalan, drainase, air, listrik dan telepon, asal calon investor itu mau membangun dan membuka industri dengan menyerap tenaga kerja daerahnya.<br /><br />Dengan terjadinya kebangkitan ekonomi RRC yang fenomenal ini, sudah banyak orang memprediksi bahwa bahasa Mandarin akan mendominasi dunia selain bahasa Inggris. Yang lebih menakjubkan lagi, RRC sudah berani memprediksikan dirinya pada tahun 2020 perekonomiannya akan melampaui perekenomian AS. Fenomena bangkitnya perekonomian RRC bukan seperti membalikkan tangan, tetapi pasti ada tangan-tangan para pemimpin di RRC yang menangkap visi-misi Deng Xiao Ping yang melaksanakannya dengan determinasi yang tinggi dan dengan tangan yang dingin.</span></p><p style="color: rgb(102, 0, 204);" class="MsoNormal"><span style="font-size:85%;">Sumber: Ir.Richard Pasaribu, MSc</span><span style=";font-size:85%;" lang="SV" ><br />www.freelist.org/archives/nasional_list/01-2005/msg00472.html</span> </p> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" lang="SV" > </span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-55585090328378246282007-12-10T16:50:00.000+07:002007-12-10T16:56:06.316+07:00Mengapa Industri Jepang Bisa Maju?<p><span style="" lang="IN">KETIKA pertama kali tinggal di Jepang saya terheran-heran mengetahui bahwa listrik di Jepang tekanannya 110 volt. Saya terheran-heran karena belum lama sebelumnya di Jakarta rumah saya listriknya diubah dari 110 volt menjadi 220 volt dan perubahan itu bukan pula tanggungan PLN yang memaksakan perubahan, melainkan menjadi tanggungan pengguna listrik. Dengan berat hati saya membayar biaya perubahan itu dengan perkiraan bahwa untuk menjadi negara industri listrik haruslah 220 volt. Pada waktu itu pemerintah Orde Baru memang sedang bersemangat membangun negara dari negara pertanian menjadi negara industri.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IN">Tetapi, mengapa Jepang yang sudah menjadi negara industri yang maju dan dikagumi dunia masih tetap memakai listrik dengan 110 volt? Suudon saya timbul, listrik di Indonesia oleh PLN dipaksa berubah menjadi 220 volt bukanlah karena tekanan 220 volt memang menjadi prasarat agar kita menjadi negara industri, melainkan karena para pejabat PLN termakan komisi dari perusahaan yang menjadi pemborong perubahan voltasi itu. Sangkaan saya dibuktikan juga oleh sejarah, meskipun sudah bervoltasi 220 volt, Indonesia belum juga menjadi negara industri, malah ambruk menjadi negara pengutang ratusan miliar dolar Amerika yang kerja pemerintahnya berkeliling meminta-minta kepada negara-negara maju, kalau perlu dengan melakukan apa pun juga yang mereka maui. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IN">Dengan listrik 110 volt, Jepang mencukupi kebutuhan seluruh rumah tangga di seluruh Jepang, dari Okinawa sampai Sapporo, termasuk di daerah-daerah terpencil, baik untuk keperluan penerangan maupun untuk keperluan sehari-hari lainnya seperti mesincuci, kulkas, pemanas udara dan pemanas air dan sebangsanya. </span><span style="" lang="SV">Dan tekanan 110 volt itu konstan sepanjang hari, tidak seperti di Jakarta yang biasanya turun jauh pada waktu malam karena banyak pemakaian dan pencurian listrik. (Sekarang pun setelah 220 volt keadaannya masih tetap saja). <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Selama tinggal di Jepang 22 tahun hanya sekali saya mengalami listrik mati. Itu pun diberitahukan sebulan sebelumnya. Dengan listrik 110 volt Jepang memenuhi kebutuhan listrik untuk menggerakkan keretaapi baik yang di atas maupun yang di bawah tanah. Dengan listrik 110 volt Jepang menggerakkan mesin industrinya sehingga dikagumi bahkan juga oleh negara-negara maju: industri otomotif, industri perkapalan, industri elektronik dll.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Sesuatu negara menjadi negara industri bukan karena listriknya dirubah dari 110 volt menjadi 220 volt, melainkan karena kerja keras para penduduknya. Modal memang penting juga, tetapi bukan segala-galanya. Jepang sehabis perang adalah negara miskin yang gambarannya sekarang masih tampak misalnya dalam film-film yang dibuat pada tahun-tahun pertama sehabis perang antaranya oleh Kurosawa Akira. Jepang menggeliat menjadi negara industri karena kesempatan yang timbul oleh adanya Perang Korea. Modal Amerika melimpah ruah ke sana. Tetapi, modal itu menjadi berkembang mendorong industri nasional Jepang disebabkan oleh karena orang Jepang sendiri mempunyai etos kerja yang luar biasa.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Begitu hebatnya semangat kerja orang Jepang sehingga disebut sebagai <i>workholic</i> (turunan dari <i>alcoholic</i>) oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika dan Eropa. Pada waktu perkembangan ekonomi Jepang luar biasa, sehingga seorang sarjana Amerika menulis buku <i>Japan as Number One</i>. Berbagai studi dan buku tentang manajemen Jepang, semangat kerja orang Jepang dll diadakan dan diterbitkan. Perbandingan antara manajemen Jepang dan Barat dilaksanakan, dicari keistimewaannya sehingga bisa 'mengalahkan' kemajuan Barat. Orang Amerika dan orang-orang Eropa merasa kuatir dominasi ekonominya terkalahkan. Mereka mendesak orang Jepang agar mengurangi semangat kerjanya. Mereka mendesak agar Jepang mengikuti jejak mereka tidak bekerja pada hari Sabtu. Lima hari dalam seminggu bekerja sudah cukup, kata mereka. Dengan berat hati Jepang mengikuti desakan itu sehingga akhirnya mereka pun secara resmi hari Sabtu diliburkan. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Tetapi, di kalangan orang Jepang sendiri terdengar kecemasan karena melihat generasi muda yang lebih santai dan egoistis dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka cemas akan hari depan bangsa Jepang kalau generasi mudanya tidak lagi memiliki semangat dan etos kerja seperti mereka. Sementara itu, biaya hidup di Jepang kian meningkat. Tenaga kerja kian mahal sehingga industri Jepang tak bisa bersaing dengan negara-negara baru berkembang seperti Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Para pemodal Jepang memindahkan pabriknya ke negara-negara berkembang yang tenaga buruhnya lebih murah. Indonesia mula-mula menjadi salah satu negara pilihan untuk menanam modalnya, namun kemudian karena Indonesia kian korup dan tidak ada jaminan hukum, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Cina, Thailand, Vietnam, dll. menjadi pilihan yang lebih menarik. Krisis perbankan dan korupsi yang terjadi di Jepang sendiri, melemahkan industri Jepang dan menimbulkan krisis perekonomian yang berkepanjangan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Oleh karena itu, kalau kita hendak menjadikan Jepang sebagai cermin, akan kelihatan bahwa Jepang berkembang menjadi negara industri pada masa sesudah Perang Dunia II (ketika dia dikalahkan oleh Amerika dan sekutunya), adalah berkat kerja keras mereka sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka ingin membangun bangsa dan negaranya dari reruntuhan Perang Dunia, maka mereka bekerja dengan penuh kesungguhan sambil benar-benar mengencangkan ikat pinggang. Setelah mereka mencapai kemajuan yang membuat bangsa-bangsa maju lainnya irihati, mulailah bermunculan penyakit korupsi, egoisme, nepotisme dan berbagai penyakit sosial lainnya yang pada akhirnya menyeret bangsa Jepang ke lembah resesi ekonomi sehingga mereka tak bisa mencapai atau mempertahankan gelar <i>as number one</i>. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Apakah mereka akan keluar dari krisis berkepanjangan yang sekarang mereka alami? </span><span style="" lang="FI">Tentu hal itu tergantung kepada usaha dan kerja keras mereka sendiri. Tetapi, konon usaha perbaikan sering menghadapi hambatan karena adanya mentalitas busuk peninggalan masa sedang jaya karena banyak orang yang merasa keenakan dengan kehidupan demikian sehingga enggan untuk mengubahnya-- meskipun demi kemajuan bangsa. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Kalau cermin Jepang kita terapkan pada diri kita sendiri: Kapankah dalam sejarah kita setelah merdeka pada tahun 1945 kita pernah bersungguh-sunguh hendak membangun (ekonomi) bangsa sehingga berkembang menjadi negara industri? Memang rencana dan slogan pernah disusun berkali-kali. Tetapi, apakah dalam pelaksanaannya kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Lima tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan kita sibuk dengan perang kemerdekaan mengusir Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan beberapa negara lain, kita mempunyai dua konsep tentang pembangunan ekonomi bangsa.<br /></span></p><p><span style="" lang="FI"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 153, 0);">Konsep pertama</span> dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang menjadi Menteri Kemakmuran dan kemudian Menteri Keuangan, yang menghendaki Indonesia menjadi negara industri, dengan mendirikan pabrik-pabrik bahan yang kita perlukan untuk membangun. Yang pertama mendirikan pabrik semen Gresik, untuk itu kita meminjam uang beberapa ratus juta dolar dari luar negeri. Dengan adanya pabrik semen dan pabrik-pabrik lain diharapkan industri kita akan berkembang pesat. Untuk itu pemerintah menyediakan kredit kepada para pengusaha nasional. Ternyata dalam praktik harapan itu tidak tercapai karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan 'pengusaha aktentas' yang mendapat rekomendasi dari partai-partainya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 153, 0);">Konsep yang kedua</span> berasal dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjadi Gubernur Bank <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>. Konsep beliau berlandaskan kepada pertanian. Menurut beliau, sektor pertanianlah yang harus didahulukan. <span style="" lang="FI">Untuk itu perlu dibuka jutaan km2 sawah oleh para petani kita. Untuk itu kita tidak usah meminjam uang dari luar karena untuk membuka hutan dan mengerjakan sawah bisa dilakukan dengan alat-alat sederhana seperti cangkul yang bisa kita buat sendiri. Dengan uang beberapa ratus juta dolar yang dipakai untuk memodali pabrik semen Gresik menurut beliau bisa memberi jalan hidup kepada puluhan bahkan ratusan ribu orang petani, sedangkan yang akan terlibat dengan kegiatan pabrik semen, termasuk dengan para penyalur, hanya beberapa ribu orang saja.<o:p></o:p></span></p> <p>Karena Prof. Dr. Soemitro ketika itu menduduki jabatan eksekutif, konsep beliaulah yang dilaksanakan. Ternyata dalam praktik harapan agar industri kita berkembang pesat tidak tercapai, karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan para pengusaha lisensi, yaitu mereka yang karena mendapat rekomendasi dari partainya mendapat berbagai kemudahan kredit yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukan memajukan perindustrian. Oleh karena itu, bukan industri yang berkembang, melainkan korupsi. Apalagi setelah Sukarno merebut kekuasaan dengan dukungan Angkatan Darat (Jenderal Nasution) melalui Dekrit Presiden tahun 1959 yang memberlakukan lagi Undang-undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante yang hampir rampung menyelesaikan pekerjaannya dan kedua konseptor pembangunan ekonomi itu lari dari Jakarta. Dr. Soemitro kabur ke luar negeri karena konon menggabungkan diri dengan kaum pemberontak. Mr. Sjafruddin sendiri setelah habis cutinya di <st1:city><st1:place>Palembang</st1:place></st1:City> tidak mau kembali ke <st1:city><st1:place>Jakarta</st1:place></st1:City> dan mengikuti rapat di Sungai Dareh yang memberi ultimatum kepada Presiden Sukarno agar membentuk kabinet secara demokratis. Dan, karena ultimatum itu dijawab oleh pemerintah pusat dengan menjatuhkan bom di Painan, mereka membentuk kabinet tandingan (PRRI) dengan Mr. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Perdana Menteri, kemudian menjadi Presiden RPI (Republik Persatuan <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>). <o:p></o:p></p> <p>Pada masa Demokrasi Terpimpin, walaupun Soekarno mengumumkan konsep Ekonomi Terpimpin, ekonomi Indonesia kian hancur karena Soekarno sendiri tidak mengerti ekonomi dan para pembantunya hanya melayani apa yang dimaui oleh Pemimpin Besar Revolusi saja --yaitu keinginan Soekarno sendiri. Soekarno berlaku seperti raja yang mementingkan ambisi-ambisinya dijalankan dengan patuh dan agar para pembantunya dapat menyediakan uang yang dia perlukan setiap waktu dia perlukan untuk memuaskan ambisinya, maka ia memberi keleluasaan kepada orang-orang itu untuk mempergunakan fasilitas menggunakan uang negara. Pada masa Orde Baru, konsep ekonominya seperti mau menggabungkan konsep Sjafruddin dan Soemitro, namun ilmu korupsi para pejabat kian lihai karena pemerintah Orde Baru menguras habis-habisan minyak bumi, hutan dan kekayaan laut untuk memperkaya diri sehingga berakhir dengan ambruknya Indonesia sebagai bangsa dan negara.***<o:p></o:p></p> <p><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: </span><span style="color: green;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Ajip Rosidi www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/18/0804.htm - 24k</span> </span></span><o:p></o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-59620134171138723512007-12-10T16:11:00.000+07:002007-12-10T16:49:42.319+07:00Sistem Pendidikan di Jepang<span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">Jepang merupakan salah satu negara termaju dalam berbagai bidang kehidupan: ekonomi, teknologi, ilmu pengetahuan, sosial, politik, dll. Kemajuan-kemajuan ini tentu berkaitan erat dengan kemajuan pendidikan. </span><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">Bagaimana sistem pendidikan</span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK"> di Jepang? </span><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">Sistem pendidikan di Jepang dibangun atas prinsip-prinsip:<o:p></o:p></span></p> <ul><li><!--[if !supportLists]--><strong><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-weight: normal;" lang="NO-BOK">Legalisme</span></strong><b style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK"> <o:p></o:p></span></b></li><li><!--[if !supportLists]--><strong></strong><!--[endif]--><b style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK"> </span></b><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">A</span><strong><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-weight: normal;" lang="NO-BOK">dministrasi yang demokratis</span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong></strong><strong><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-weight: normal;" lang="NO-BOK"> Netralitas<o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong></strong><!--[endif]--><strong><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-weight: normal;" lang="NO-BOK"> Penyesuaian dan penetapan kondisi pendidikan</span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><span lang="NO-BOK" style="font-family:Symbol;"><span style=""> </span></span><!--[endif]--><strong><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-weight: normal;" lang="NO-BOK">Desentralisasi</span></strong><b style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">. </span></b><b style=""><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></b></li></ul> <p class="MsoNormal" style="font-weight: bold; color: rgb(255, 153, 0);"><span lang="NO-BOK">Pendidikan bertujuan:</span></p> <ol><li><!--[if !supportLists]--><span lang="NO-BOK" style="color:black;"><span style=""></span></span><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">Mengembangkan kepribadian secara penuh</span></strong><b style=""><span style="" lang="NO-BOK"> </span></b><span style="" lang="NO-BOK">dengan <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><strong style="font-weight: normal;">B</strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">erupaya keras membangun manusia ya</span></strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">ng sehat pikiran dan badan, </span></strong><strong><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong><span style="font-weight: normal;color:black;" lang="NO-BOK"><span style=""></span></span></strong><span style="" lang="NO-BOK">Yang <strong><span style="font-weight: normal;">mencintai kebenaran dan keadilan, </span></strong></span><strong><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong style="font-weight: normal;">M</strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">enghormati perseorangan,</span></strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK"> </span></strong><strong><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong style="font-weight: normal;">M</strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">enghargai kerja, </span></strong><strong><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><strong></strong><!--[endif]--><strong><span style="font-weight: normal;" lang="SV">Mempunyai rasa tanggungjawab yang da</span></strong><strong><span style="font-weight: normal;" lang="SV">lam, dan </span></strong><strong><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></strong></li><li><!--[if !supportLists]--><span lang="NO-BOK" style="color:black;"><span style="">M</span></span><!--[endif]--><strong><span style="font-weight: normal;" lang="NO-BOK">emiliki semangat independen sebagai pembangun negara dan masyarakat yang damai. </span></strong><b style=""><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></b></li></ol> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">Sistem administrasi pendidikan dibangun dala</span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="NO-BOK">m <b style="">empat </b>tingkat<b style="">: <span style="color: rgb(255, 153, 0);">pusat</span></b>, <b style=""><span style="color: rgb(255, 153, 0);">prefectural</span> </b>(antara propinsi dan kabupaten), <b style="color: rgb(255, 153, 0);">municipal</b><span style="color: rgb(255, 153, 0);"> </span>(antara kabupaten dan kecamatan), dan <b style="color: rgb(255, 153, 0);">sekolah</b><span style="color: rgb(255, 153, 0);">.</span> Masing-masing tingkat administrasi pendidikan tersebut mempunyai peran dan kewenangan yang saling mengisi dan bersifat kerjasama. Disamping itu, terdapat asosiasi-asosiasi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua yang mendukung pengembangan sekolah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="NO-BOK"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><em><b><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-style: normal;" lang="IN"></span></b></em><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Contoh tujuan pendidikan untuk tingkat sekolah lanj</span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">utan tingkat pertama (SLTP) yang dirinci sampai tingkat kelas dapat dilihat dalam Gambar 1.</span><span style="" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="color: rgb(51, 51, 51);"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" alt="" style="'width:5in;"><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1dl_gzDhRm5UnSqe0Srzi-f-Rb_gieVygGI1vPZ-CME-2BLpT8rqnbCAdbldQWscoDr58w7T1FGQTHEZmUv0jPMSabfiTGg4FfJFYizqBsGIC3_v2_x3uIJcUrnJZYaAdGSauawVA8GM/s1600-h/Jepang.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 388px; height: 272px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1dl_gzDhRm5UnSqe0Srzi-f-Rb_gieVygGI1vPZ-CME-2BLpT8rqnbCAdbldQWscoDr58w7T1FGQTHEZmUv0jPMSabfiTGg4FfJFYizqBsGIC3_v2_x3uIJcUrnJZYaAdGSauawVA8GM/s320/Jepang.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5142273925996405266" border="0" /></a><br /><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"><br /></span><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 0, 160);" lang="IN">Gambar 1 Tujuan Pendidikan di <em>Kawanigashi Junior Secondary School</em></span></span><span style="color: rgb(0, 0, 160); font-weight: bold;font-size:85%;" lang="IN" >.</span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Tujuan pendidikan tersebut adalah untuk membesarkan anak yang sehat pikiran dan badan serta penuh estetika, sehingga <strong><span style="font-weight: normal;">dihasilkan </span>murid yang ideal, </strong><strong><span style="font-weight: normal;">yaitu murid yang</span> <span style="color: rgb(51, 51, 255);">selalu melatih diri sendiri, mengikuti aturan, bersedia bekerja secara sukarela,</span> dan <span style="color: rgb(51, 51, 255);">mempunyai dasar untuk berpikir secara internasional</span>.</strong> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Selanjutnya, tujuan pendidikan di tingkat sekolah tersebut dijabarkan lagi ke dalam tujuan di masing-masing kelas seperti yang dapat dilihat dalam Gambar 1. (<em>Kawanigashi Junior Secondary School</em>, 2000).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Tujuan pendidikan ini lebih lanjut dijabarkan untuk setiap mata pelajaran dan bahkan untuk setiap pertemuan kelas. Untuk mencapai tujuan tersebut diuraikan materi apa yang akan dibahas, apa yang harus dilakukan murid, dan apa yang harus dilakukan guru, serta bagaimana cara melakukannya yang semuanya dinyatakan dalam rencana kerja (<em>working plan</em>) yang disiapkan guru untuk setiap pertemuan kelas. Dengan demikian, baik murid maupun guru memiliki pedoman arahan yang jelas dalam proses belajar-mengajar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><!--[if !supportLists]--></p><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-indent: -18pt;"><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> <o:p></o:p>Pada umumnya metode pengajaran yang digunakan di sekolah-sekolah di Jepang adalah kombinasi dari:</span></p><ul><li><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"><o:p></o:p></span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Penjelasan dari dan tanya jawab dengan guru, <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> Diskusi antar murid, dan <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><!--[endif]--><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"> Eksplorasi oleh murid sendiri dengan menggunakan alat pembelajaran. <o:p></o:p></span></li></ul> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN">Di awal biasanya murid memberikan penjelasan sebagai pengantar, kemudian murid melakukan diskusi sesama mereka dan atau mengeksplorasi menggunakan alat pembelajaran seperti multimedia, laboratorium, dll. sesuai dengan mata pelajaran dan kebutuhan. Hasil diskusi dan atau eksplorasi tersebut lalu dipresentasikan di depan kelas dengan bimbingan guru.</span></p><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: Abas Ghozali<br /></span><em><span style="font-style: normal;color:red;" lang="IN">*</span></em><em><span style="color: rgb(51, 51, 51); font-style: normal;" lang="IN"> <span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Penelitian ini didanai oleh the Japan Intenational Cooperation Agency (JICA).</span></span></em><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" ><br /></span><span style="color: rgb(51, 51, 51);" lang="IN"><o:p></o:p></span>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-22071857250324061922007-12-05T12:15:00.000+07:002007-12-10T16:10:40.025+07:00Etos Kerja Indonesia terburuk di Asia?<p><span style="" lang="FI">MENGAPA investasi asing di Indonesia terus menurun, justru pada saat negara-negara lain mengalami pemulihan, bahkan lonjakan tajam arus masuk investasi? Juga, kenapa investor hengkang, padahal dalam berbagai kesempatan para pejabat pemerintah masih begitu 'pede'-nya menyatakan, Indonesia sangat kompetitif, terutama dengan sumber daya melimpah dan upah buruhnya yang murah? <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Memang benar, dari sisi biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan usaha (<i>cost of doing business</i>), Indonesia sebenarnya tergolong sangat kompetitif di Asia, seperti ditunjukkan dalam survei Political and Economic Risk (PERC). Sayangnya, sangat kompetitifnya Indonesia dilihat dari biaya untuk menjalankan usaha ini tidak cukup kuat dipakai untuk membujuk investor datang atau bertahan, karena pada saat yang sama risiko politik dinilai masih cukup tinggi. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Upah buruh ternyata juga bukan satu-satunya faktor penentu masuk atau tidaknya investasi, bertahan atau tidaknya investor dan ada atau tidaknya minat investor untuk melakukan ekspansi bisnis di suatu negara. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Dari survei PERC, setidaknya ada tujuh faktor lain yang dianggap penting oleh investor. Faktor-faktor tersebut adalah:<o:p></o:p></span></p> <ol><li><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="NO-BOK"><span style=""></span></span><span style="" lang="NO-BOK">Kemudahan mendirikan usaha,</span></li><li><!--[endif]--><span style="" lang="NO-BOK">Ada atau tidaknya diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk, <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="NO-BOK"><span style=""><span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="NO-BOK">Ada atau tidaknya perlakuan sama untuk investor asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal, <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="NO-BOK"><span style=""><span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="NO-BOK">Transparansi dalam persetujuan dan izin investasi. </span></li><li><!--[endif]--><span style="" lang="NO-BOK">Ramah-tidaknya kebijakan imigrasi, <o:p></o:p></span></li><li><!--[if !supportLists]--><span style="" lang="NO-BOK">Ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah, serta </span></li><li><span style="" lang="NO-BOK"><span style=""><span style=""> </span></span></span><span style="" lang="NO-BOK">Tingkat responsivitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor. <o:p></o:p></span></li></ol> <p><span style="" lang="NO-BOK">Hampir dalam semua aspek tersebut, <span style="color: rgb(0, 0, 153);">Indonesia merupakan yang terburuk kedua, setelah Vietnam.</span><b> </b><o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: center;" align="center"><b><span style="" lang="NO-BOK">***<o:p></o:p></span></b></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">KENYATAAN bahwa perusahaan-perusahaan asing selama ini lebih banyak memfokuskan diri pada investasi di sektor padat modal ketimbang padat karya, menunjukkan begitu ruwetnya persoalan yang dihadapi investor di negara ini, sehingga upah buruh murah pun sudah tidak mampu lagi menjadi daya tarik investor. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK"><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja berketerampilan rendah, sehingga produktivitasnya juga rendah.</span> Banyak investor yang mengeluhkan sulitnya mencari, menyewa, atau mempertahankan staf yang berketerampilan tinggi. Sebenarnya investor ingin melibatkan sebanyak mungkin komponen lokal, agar biaya produksi bisa ditekan. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Namun, di Indonesia ternyata ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akibatnya, banyak perusahaan asing akhirnya terpaksa harus menggunakan staf ekspatriat. Selain itu, para investor asing juga resah dengan semakin meningkatnya kecenderungan radikalisme dan aktivisme buruh. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Ini salah satu alasan, mengapa investasi yang masuk lebih banyak di industri-industri ekstraktif, seperti minyak dan gas (migas), yang biasanya berlokasi di wilayah-wilayah yang agak terpencil. Dengan demikian, lebih mudah menghindar dari potensi-potensi kerusuhan sosial, yang biasanya lebih mudah terpicu di daerah perkotaan. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Dilihat dari upah buruh, daya saing Indonesia setara dengan Cina, yakni yang termurah dari 12 negara Asia yang disurvei PERC (yakni Cina, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Korsel). <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Namun, <span style="color: rgb(255, 153, 0);">dari etos kerja, Indonesia ternyata yang terburuk di Asia.</span> Ini tercermin dari skor indeks persepsi Indonesia di mata para ekspatriat yang disurvei yang angkanya 7,50 (dari angka terbaik nol dan terburuk 10 yang dimungkinkan). Sebagai perbandingan, Cina (3,75), Hongkong (2,81), India (6,75), Jepang (1,50), Malaysia (6,00), Filipina (6,20), Singapura (3,00), Korsel (1,50), Taiwan (3,71), Thailand (6,00) dan Vietnam (5,75). <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Perbedaan nyata tenaga kerja di Indonesia dengan Cina, menurut seorang guru besar sebuah universitas terkemuka di Jepang, adalah <span style="color:black;">di</span><span style="color:green;"> <strong style="color: rgb(255, 153, 0);">Cina</strong><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><span style="color: rgb(255, 153, 0);"> </span>tenaga kerja dari semua level keterampilan tersedia dalam jumlah melimpah dan juga murah.</span></span> Persepsi investor terhadap buruh Cina pun cukup baik. Para buruh Cina dikenal sangat rajin, tidak banyak <i>cing-cong</i> dan memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan dirinya. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Meskipun tingkat upah tenaga kerja untuk level keterampilan tinggi belakangan ini mulai meningkat dengan cepat di Cina, tetap saja besarnya masih relatif rendah untuk standar internasional. <span style="color: rgb(0, 0, 0);">Di <span style="color: rgb(0, 0, 153);">Malaysia, Filipina, dan India</span>, tenaga kerja berketerampilan tinggi juga tidak sulit dicari. </span><strong><span style="color:green;"><span style="color: rgb(255, 153, 0);">Malaysia</span> </span></strong>memiliki tenaga terampil yang kualitasnya lebih baik dibandingkan kebanyakan negara berkembang Asia lainnya. Hanya sayangnya, jumlahnya terbatas sehingga terjadi kelangkaan suplai tenaga kerja yang menyebabkan upah dengan cepat juga membubung tinggi. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="NO-BOK">Di <strong><span style="color:green;"><span style="color: rgb(255, 153, 0);">Filipina</span>,</span></strong> tenaga kerja merupakan salah satu aset terbaik dan potensi besar perekonomian, karena mereka umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan fasih berbahasa Inggris. Dengan begitu, perusahaan asing yang beroperasi di sana hampir tidak menghadapi kendala dalam hal tenaga kerja. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Di <strong style="color: rgb(255, 153, 0);">Thailand</strong>, kondisinya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Langkanya tenaga kerja berketerampilan tinggi ikut menghambat investasi dan ekspansi produksi, meskipun dalam hal tingkat upah buruh dan risiko radikalisme buruh, Thailand sebenarnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Untuk <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 153, 0);">Vietnam</span>, upah buruh sangat rendah, namun kualitas umumnya juga rendah. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Jika dalam hal buruh atau tenaga kerja Indonesia masih lumayan kompetitif di mata investor, tidak demikian halnya jika dilihat dari faktor kepastian hukum. Survei PERC menunjukkan Indonesia yang paling payah dalam hal penegakan hukum, dan kondisi ini tidak berubah sejak krisis. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Payahnya posisi Indonesia ini tercermin dari skor sebesar 9,83 menurut survei yang dipublikasikan akhir Mei 2002. Sebagai perbandingan, Australia (1,08), Cina (8,33), Hongkong (2,81), India (7,00), Jepang (3,67), Malaysia (5,86), Filipina (7,75), Singapura (1,70), Korsel (5,00), Taiwan (6,33), dan Thailand (7,78).<o:p></o:p></span></p> <div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;">***</span><br /><span style="font-weight: bold;"></span></div> <p><span style="" lang="IT">Dari angket yang dilakukan Gallup bulan April lalu, hampir dua pertiga (persisnya 73 persen) pengusaha AS di Asia Tenggara merencanakan melakukan bisnis di Asia dalam dua tahun ke depan. Namun, dari jumlah tersebut, dua pertiganya memilih Cina sebagai tempat untuk ekspansi. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Survei yang dilakukan terhadap para anggota Kamar Dagang Amerika <span style="font-style: italic;">(American Chamber of Commerce/Amcham)</span> ini juga menunjukkan hanya 16 persen yang merencanakan untuk merelokasi industrinya atau mengurangi tenaga kerja lokal mereka. Bahkan, 32 persen merencanakan akan menambah staf lokal. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Dari sini terlihat betapa masih tingginya optimisme pengusaha AS terhadap prospek ekonomi kawasan. Lebih dari 50 persen juga yakin bisnis mereka di kawasan masih akan menjadi sumber profit, dan 80 persen yakin laba mereka akan meningkat pada tahun 2003. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Masih tingginya minat ekspansi mengindikasikan secara umum prospek investasi dan ekspansi ekonomi di kawasan masih akan cerah, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Para pengusaha yang disurvei itu sendiri merepresentasikan nilai investasi sekitar 60 milyar dollar di Asia Tenggara. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="IT">Hanya sayangnya, momentum bagi Indonesia untuk merebut pangsa yang cukup besar dari investasi asing yang masuk ke Asia itu tampaknya terbentur oleh kendala klasik seperti diungkapkan Kepala BKPM Theo F Toemion. Kendala tersebut yakni faktor keamanan, ketidakpastian hukum, dan risiko politik. Jadi, tidak heran jika tak ada sesuatu lagi yang menarik di mata pengusaha penanaman modal asing (PMA), karena semuanya serba sulit bagi mereka. Kondisi inilah yang membuat mereka memposisikan Indonesia sebagai pilihan yang terakhir untuk mereka masuki. Walaupun dari banyak sisi Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa, tetapi tetap saja Cina menjadi prioritas mereka. </span><span style="font-style: italic;">(Sri Hartati Samhadi)</span><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p><b><span style="" lang="SV"></span></b><span style="" lang="NO-BOK"><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" > Sumber: Kompas, Juli 2002<br />URL Artikel : http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=301&coid=2&caid=30</span></span></p><p class="MsoNormal"><br /><span style="" lang="NO-BOK"><o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-54851651691179407542007-12-05T11:56:00.000+07:002007-12-05T12:11:53.059+07:00Character Building Bangsa Jepang<p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh mencolok adalah ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya pendidikan ditanggung peserta didik. Bahkan, fakta lapangan memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bpk Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Konsekuensi dari program Wajar adalah bebas biaya. </span><span style="" lang="SV">Bila tidak, Wajar menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila sekadar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.<br /><br /><strong><span style="color: rgb(255, 153, 0);">Pendidikan ala pasar</span></strong><span style="color: rgb(255, 153, 0);"> </span><br /><br />Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah, maka <i>make-up</i> wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung periasnya yakni Mendiknas. Periode sekarang merek <i>make-up</i> tersebut adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana <i>make-up</i> yang sebenarnya, <i>make-up</i> pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik. Wajah pendidikan kita adalah pasar.<br /><br />Di antara sekian praktik yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi pegangan tahun itu dan seyogianya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus membeli buku pegangan baru.<br /><br />Praktik yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.<br /><br /><strong><span style="color: rgb(255, 153, 0);">Kesenjangan dini </span></strong><b><br /></b><br />Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma Barat dari pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal<i> (Intelligence Quotient, IQ)</i>. Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari Jepang dan China dalam keterpaduan aspek <i>IQ</i> dan <i>EQ (Emotional Quotient)</i>. Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan, untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.<br /><br /><b><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Jepang</span></b><span style="color: rgb(0, 0, 153);"> </span>tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal menarik tentang pendidikan di sana, yakni muatan <i>character building</i> pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU (kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.<br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD,</span> tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orangtua tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orangtua termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia sekolah.<br /><br />Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. <strong><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Semangat juang, kebersamaan, dan tanggung jawab</span></strong><span style="color: rgb(0, 0, 153);"> </span>yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung. </span><span style="" lang="ES">Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.<br /><br />Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus menerus ditempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan temannya yang anak orang kaya. </span>Negara diam-diam mendukung perbedaan kelas.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><strong><span style="color: rgb(255, 153, 0);">Keuletan</span></strong><span style="color: rgb(255, 153, 0);"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Pendidikan sikap dan karakter ini dijalankan di sekolah Jepang dalam berbagai bentuk. Dalam olahraga, setahun sekali yakni di musim panas siswa kelas satu sampai dengan kelas enam dibagi dalam dua kelompok besar yakni merah dan putih. Mereka berkompetisi dan semua jenis olahraga yang dipertandingkan adalah olah raga tim. Lagi-lagi <b><span style="color: rgb(0, 0, 153);">kebersamaan </span></b><span style="color:black;">dan</span><b><span style="color: rgb(0, 0, 153);"> <i>teamwork</i></span></b> mereka tekankan.<br /><br />Setahun sekali pula diadakan pentas seni yang melibatkan seluruh siswa. Setiap siswa mendapat, berlatih dan memainkan satu atau dua peran. Uniknya pentas seni maupun lomba olah raga ini disaksikan oleh para undangan yang terdiri dari orangtua siswa, tokoh masyarakat, kepala sekolah TK, dan SLTP serta pemerintah lokal setempat.<br /><br /><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan. </span><span style="color:green;"><br /></span><br /><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalaupun terlalu jauh siswa boleh pergi dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor. </span><span style="color:blue;"><br /></span><br />Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita. Fenomena ini juga mengisyaratkan betapa kacaunya lalu lintas dan sistem untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM). Anak seusia SLTP yang belum genap 17 tahun sudah punya SIM, atau belum memiliki SIM tetapi sudah dapat leluasa mengemudi di jalan umum.<br /><br />Fenomena sosial dalam lingkup lebih luas dapat dipahami dari fenomena lembaga pendidikannya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat <i>workaholic</i>, gila kerja. <b><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Mereka sangat menghargai waktu dan pekerjaan</span></b>. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. <span style="color:black;">Menjadi juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita mereka.</span><span style="color: rgb(0, 0, 153);"> Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya.</span> Negeri yang sempat porak poranda oleh bom atom ini pun berhasil mewujudkan impian kolektif mereka, mengalahkan dan melampaui Amerika, setidaknya dalam ekonomi.<br /><br />Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya <i>character building</i> dalam pendidikan menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas.<br /><br />Kerapuhan mental ditambah dengan ketiadaan impian kolektif bangsa, menyebabkan masyarakat tidak mempunyai energi dan semangat hidup yang besar. Kini, rendahnya semangat hidup ini telah sampai pada kondisi yang menyedihkan. Perhatikan saja fenomena persimpangan jalan, perkantoran dan para petinggi yang keluar negeri mencari pinjaman; fenomena mentalitas pengemis.<br /><br />Keruwetan sistem pendidikan dan kondisi sosial negeri ini sudah seperti benang kusut. Pembenahan harus dibenahi di semua lini. Untuk lini pendidikan perlu dilakukan bedah plastik wajah pendidikan, dan <span style="color:black;">pola <i>character building</i></span><span style="color:green;"> </span><span style="color:black;">pendidikan Jepang layak untukdipertimbangkan</span><span style="color:green;">. </span><b><span style="color: rgb(0, 0, 153);">Semangat dan etos kerja, kebersamaan, tanggung jawab dan menghargai pekerjaan diajarkan secara konkret dan keteladanan bukan dengan kata-kata. </span></b><span style="color:green;"><br /><br /></span>Sistem rayon (tingkat SD dan SLTP) sebagai kebijakan terkait akan membantu pemerataan kualitas sekolah. Sistem ini juga memungkinkan keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam pendidikan. Pada gilirannya tidak relevan membicarakan sekolah unggulan, sekolah plus atau pun sekolah borjuis yang diskriminatif.<br /><br />Untuk mengadopsi sistem asing manapun tidaklah bisa serta merta dan seketika, sebab pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Namun meniru pola Jepang relatif tidak memerlukan dana sehingga kemiskinan bangsa ini bukanlah kendala utama. Penulis sengaja tidak menampilkan aspek-aspek intelektualnya sebab dari sisi ini kita tidak kalah dari negeri lain manapun. Tetapi kemampuan itu tidaklah terlalu berarti tanpa dibarengi pendidikan karakter yang membangun sikap dan komitmen.<br /><br />Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya republik ini mendesak diangkat kembali. Bahkan lebih dari itu, mendesak dijadikan kandungan utama pendidikan kita. Semua itu diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berjalan tegak dengan harga diri. Selain itu, negara harus menanggung biaya Wajar. Tuntutan ini pun bukan mustahil dipenuhi oleh negara pascaamandemen UUD yang menetapkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Kita tidak ingin Wajar sekadar jadi bentuk cuci tangan pemerintah atas kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negaranya.</span></p><br /> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" lang="SV" >Sumber: Agus Purwanto, Pekerja pendidikan di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS yang juga alumnus Universitas Hiroshima Jepang. </span><span style=";font-size:85%;color:green;" lang="SV" ><br /></span><span style="font-size:85%;"><strong><span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: normal;">http://www.surya.co.id/18062003/12a.phtml</span></strong></span><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" > -www.its.ac.id/berita.php?nomer=838 - 20k</span><span style="font-size:85%;"><o:p><br /></o:p></span></p> <div><span style="color: rgb(0, 128, 0);font-size:85%;" ><div><div><span style="color: rgb(0, 128, 0);font-size:85%;" ><span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;"></span><br /></span><span><span style="color: rgb(0, 128, 0);font-size:85%;" ></span></span><span style="color: rgb(0, 128, 0);font-size:85%;" > </span> </div></div> </span></div>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-36743944291509313882007-11-28T13:43:00.000+07:002007-11-28T13:52:18.683+07:00Rahmat : Unsur Yang Hilang Dari Dunia Kerja<o:p></o:p><span style="font-family:georgia;">Tersebutlah kisah seorang manajer yang gagal memimpin sebuah projek sehingga perusahaannya rugi lebih sejuta dolar. Tom Watson, pendiri IBM yang legendaris itu, kemudian memanggilnya. Merasa bahwa dirinya akan dipecat, si manajer mendahului vonis sang bos dengan berkata, "Tuan, silakan memecat saya, <span style="font-style: italic;">I deserve it</span>, saya memang gagal." Tanpa diduga Tom Watson membentak, "Gila lu! Kamu satu-satunya karyawan yang telah disekolahkan dengan biaya sebesar itu, kamu pikir saya tolol mau memecatmu?"</span><br /><p class="MsoNormal"> <span style="font-family:georgia;">Konon, manajer yang mendapat pengampunan ini, kelak menjadi salah satu manajer terbaik di IBM, antara lain dengan menyumbang jauh lebih besar daripada uang sekolahnya. Inilah kisah yang telah diulang-ulang orang dengan berbagai versi sampai kita tidak tahu lagi versi mana yang benar. Tentu dengan berbagai pesan pula. Tetapi kali ini saya mau pakai sebagai ilustrasi rahmat atau anugerah.</span><br /><br /><span style="font-family:georgia;">Rahmat, anugerah, pengampunan, pertobatan, kasih sayang, memang seolah-olah bukan bahasa orang kantor. Itu bahasa para begawan yang tiap hari menggumuli kitab suci. Di kantor orang diharapkan berbicara tentang <span style="font-style: italic;">reward and punishment</span>, perampingan dan restrukturisasi, sukses atau mundur, hak dan tanggung jawab. Ya, semuanya bahasa macho, sangat maskulin, sangat patriarkhal. Dunia kerja yang didominasi laki-laki, memang terasa keras, tegas, dingin, disiplin dan menakutkan.</span><br /><br /><span lang="IT" style="font-family:georgia;">Akan tetapi, hidup termasuk kerja tidak mungkin berwatak maskulin saja. Maskulin memang baik, tetapi terlalu maskulin, alangkah gersangnya, dan ujung-ujungnya membawa kematian. Maka ketika dewasa ini bau sangit kematian ada di mana-mana, patutlah kita curiga, jangan-jangan dosis maskulinitas di republik ini sudah kelewatan. Dan saya memang meyakini hal itu. Dunia politik kita, dari Ken Arok sampai Panembahan Senopati, dari Prabu Kartanegara sampai Presiden Soeharto, memang selalu keras, bahkan terlalu keras. Dengan mudah kita lihat pula bahwa dominasi kejantanan yang keras itu amat nyata di dunia bisnis, hukum, pendidikan, bahkan dalam agama.<br /><br />Akibat dosis kebapakan yang berkelebihan itu, terjadilah ketidakseimbangan. Jika Anda masih ingat film <span style="font-style: italic;">The Sound of Music</span>, disiplin militer yang diterapkan sang bapak yang telah menduda itu, justru mematikan jiwa ketujuh anak-anaknya di tengah niat baiknya mencintai mereka. Tetapi<span style="font-style: italic;"> life back to normal </span>ketika si cantik hangat, suster Maria, representasi femininitas universal, memasuki kehidupan rumah sang kapten. Maka kembalilah tawa, ceria, canda, sukacita, kehangatan, musik, pengampunan, rahmat dan cinta ke dalam kehidupan. Indah dan mengharukan. Tidak herankan mendiang Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara sampai menonton film itu belasan kali.<br /><br />Rumah tangga republik ini, saya kira, juga rusak berat justru karena dominasi jiwa kelaki-lakian telah terlalu kuat. Bahkan <span style="font-weight: bold;">Fritjof Capra</span>, sarjana fisika yang juga mistikus itu, dalam <span style="font-style: italic; color: rgb(51, 51, 255);">The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture</span>, berpendapat bahwa krisis global dewasa ini, akar terdalamnya terletak pada ketidakseimbangan unsur kebapakan dan keibuan ini dalam tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, sains-teknologikal, dan bio-ekologikal kita. Semuanya terlalu macho, jantan, patriarkal, kelaki-lakian, kaku, keras dan mekanistik.<br /><br />Atas dasar tesis inilah saya mempromosikan doktrin kerja yang berwatak feminin untuk mengimbangi watak maskulin yang sudah dominan selama ini. Etos pertama yang menjadi sajian saya kali ini berbunyi: <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 102, 0);">Kerja itu Rahmat; Kerja adalah Terimakasihku; sehingga Aku Mampu Bekerja Tulus Penuh Ucapan Syukur.</span> Mudah-mudahan Anda segera merasakan nuansa femininitasnya.<br /><br />Menurut kamus <span style="font-weight: bold;">Webster</span>, rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa kita, tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterima kasih. Hal inilah yang dirasakan manajer IBM dalam kisah di atas. Rasa syukurnya menjadi motivasi superior untuk berprestasi karena hatinya tersentuh dan karena itu ia diubahkan secara fundamental. Hukuman pecat sebagai konsekuensi keadilan dalam dunia manajemen yang macho, berubah menjadi pengampunan dan rahmat yang membuka peluang baru untuk memperbarui diri. Inilah watak seorang ibu yang penuh kasih sayang. Dan elemen keibuan inilah yang hilang di Aceh, Ambon, Dili, dan kota-kota lain di negeri kita yang kini sedang gering.<br /><br />Saya berkata, bahwa kerja pun adalah rahmat, jadi seyogianya disyukuri setidaknya karena tiga alasan. Pertama, dari segi spiritual, kerja itu secara hakiki adalah rahmat Tuhan. Artinya, lewat pekerjaan, Tuhan memelihara kita. Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan kita, misalnya fasilitas belajar, kesempatan mengunjungi negeri asing, dan wahana hubungan silaturahmi. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga. Ketiga, potensi kerja diri kita <span style="font-style: italic;">(skills, knowledge)</span> adalah <span style="font-style: italic;">God's endowment</span> kepada kita secara personal yang kemudian kita aktualisasikan dalam bekerja mengolah bumi dan segenap isinya menjadi produk jadi yang bernilai tambah positif. Yang terakhir ini pun rahmat juga adanya. Jadi dari mana pun Anda lihat, selalu dapat kita akui bahwa <span style="font-style: italic; color: rgb(255, 102, 0); font-weight: bold;">work is really a grace</span>. Kerja adalah rahmat.<br /><br />Karena itu sepantasnyalah kita bekerja dengan hati yang tulus dan bersih. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, mengeluh, atau setengah hati karena kita sadari sekarang bahwa bekerja adalah bentuk terima kasih kita kepada Tuhan, kepada negara, kepada rakyat, kepada pemilik modal, atau kepada manajemen.<br /><br />Bayangkan seorang fakir mampir di rumah Anda. Karena Anda berbelas kasihan, fakir itu Anda undang masuk dan menghidanginya makanan dari meja keluarga Anda. Tetapi ketika ia mulai makan, ia mengeluh betapa gosongnya tempe goreng masakan nyonya rumah. Ia juga meradang betapa kurang pedasnya sambel ulekan dari dapur Anda.<br /><br />Apakah reaksi Anda sebagai tuan rumah? Menurut saya, jika Anda menendang pantatnya dan mengusirnya keluar, hal itu sangat pantas. Itu adil baginya karena ia tidak tahu diri. Akan tetapi, saya berkata sesungguhnya saya dan Anda adalah juga fakir di bumi ini. Dalam hal inilah saya tidak sependapat dengan Pramudya Ananta Toer yang berkata bahwa planet ini adalah bumi manusia. Bagaimana hal itu mungkin? Mengerti bumi ini saja kita tidak mampu, mengaku diri pula pemiliknya. Atau jika benar manusia adalah pemilik bumi, mengapakah bumi kita kotori dan perkosa dengan amarah meradang.<br /><br />Al Qur'an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi Allah. Artinya, manusia adalah pengelola yang harus ber-tanggung jawab. Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah <span style="font-style: italic;">steward</span> (penatalayan) di bumi Tuhan. Bagaikan <span style="font-style: italic;">stewardess</span> di pesawat, tugas kita adalah menata sumberdaya alam milik-Nya dan melayankannya untuk kesejahteraan semua penumpang kapal besar ruang angkasa bernama planet bumi. I Ching mengajarkan bahwa kita harus hidup harmonis dengan alam. Sedangkan Iliad mengajarkan bahwa bumi adalah <span style="font-style: italic;">Gaia, the living mother earth</span>, yang harus disayangi sebagai balas cinta kasihnya.<br /><br />Secara hakiki bekerja adalah mengolah sumberdaya bumi untuk kesejahteraan kita bersama. Apa pun yang kita kerjakan, yang <span style="font-style: italic;">high tech</span> sekalipun, yang konseptual sekalipun, tetaplah tidak terlepas dari unsur-unsur bumi. Meskipun menurut Mahatma Gandhi bumi tidak mampu memuaskan keserakan satu orang saja, tetapi bumi dengan segenap kekayaannya, dengan segenap kasih sayangnya sebagai ibu pertiwi, pasti lebih dari cukup mensejahterakan semua anak-anak bumi melalui kerja.<br /><br />Maka kita harus mengembangkan sebuah kesadaran baru, <span style="font-style: italic;">a new awareness</span>, <span style="font-style: italic;">a deeper consciousness</span> bahwa kita sesungguhnya sudah terlebih dahulu menerima dengan limpah, dari bumi, dari Tuhan, dari organisasi, dari negara dan rakyat, maka kita pun sepatutnya membalasnya dengan limpah pula. <span style="font-style: italic;">Abundantly.</span><br /><br />Menyadari bahwa rahmat selalu melimpah, maka kita pun akan terimbas untuk bermental limpah terhadap sekeliling sehingga membentuk <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 102, 0);">karakter limpah <span style="font-style: italic;">(abundance character)</span></span> dalam diri kita. Penampakannya bermacam-macam, antara lain: senang menolong; tidak pelit; tidak takut kekurangan; selalu merasa ada alternatif di samping pilihan yang obvious; mampu memberi dulu, kemudian menerima; sanggup menabur dulu, kemudian menuai; selalu bersikap menawarkan; selalu berpikir kontributif.<br /><br />Manusia berkarakter limpah memang berjiwa besar karena ia selalu sadar bahwa Sang Maha Pemberi selalu merahmati dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati penuh syukur, maka dia akan selalu diliputi sukacita sejati dan rasa bahagia. Sukacita kerja ini <span style="font-style: italic;">(the joy of working) </span>akan membuatnya produktif dan mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang gembira dan menyenangkan. Di mana pun berada, ia selalu menjadi protagonist, bukan antagonist. Jadi jelaslah bekerja dengan modus ini akan mentransformasikan kita menjadi pribadi yang kaya, dewasa dan lembut. Maka Etos Kerja pertama ini memampukan kita menjadi pribadi sukses yang mampu menikmati keberhasilan kerja sampai ke hati yang dalam. Semogalah demikian!</span></p><p class="MsoNormal"><span lang="IT" style="font-family:georgia;"></span><span style="" lang="IT"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: Jansen H. Sinamo, Guru Etos Indonesia</span></span><br /><br /><!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /><!--[endif]--></span><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-27367376264635712902007-11-28T11:33:00.000+07:002007-11-28T11:43:01.594+07:00Praktik Kerja Industri di Jepang Yang Dicari Ternyata Etos Kerja<p><span style="" lang="FI">Anak-anak lulusan sekolah menengah dari Indonesia dengan sigap bekerja di sebuah Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang. Mereka bekerja dengan cekatan, layaknya seperti robot-robot industri dan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Meskipun ada mesin-mesin canggih, mesin itu tidak bisa bekerja sendiri. Mesin itu masih membutuhkan tenaga kerja manusia. Artinya, ada nilai "kemanusiaan" yang diambil dalam sebuah hasil produksi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Keahlian untuk bekerja di industri pembuatan interior mobil ini pun sebenarnya bukan sesuatu yang sangat canggih dan rumit. Bahkan, keahlian itu sudah bisa dikuasai dengan baik hanya dalam waktu satu bulan. Selanjutnya, hanyalah pekerjaan pengulangan saja. Bagian tersulit ternyata pada <span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 51, 0);"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">disiplin waktu</span>.</span> Mesin dijalankan dalam waktu-waktu tertentu untuk mencapai hasil yang optimal. Karena itulah, tenaga kerja yang turut membantunya harus bekerja cepat dan tepat seiring berputarnya roda mesin.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Disiplin "mesin", inilah yang sering kali membuat anak-anak lulusan sekolah menengah itu keteteran. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup untuk sekadar berdiri selama tujuh jam sehari untuk melayani mesin industri menghasilkan suatu produk. Pasalnya, mereka memang tidak pernah dididik dalam disiplin mesin, atau sekadar berlatih berdiri dalam waktu lama di sekolah. Tidak heran jika anak-anak Indonesia yang melakukan magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini, pada awalnya merasa tersiksa untuk bisa berdiri lama.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Industri yang antara lain memproduksi panel interior pintu mobil dan dashboard ini sudah tiga belas tahun menerima lulusan sekolah menengah dari negara Asia lainnya untuk magang kerja. Setiap tahunnya, Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini biasanya menerima 15-20 orang peserta magang. Jumlah peserta magang tahun ini keseluruhannya ada 52 orang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Sampai saat ini, sudah 212 peserta magang dari Indonesia. Semua dinyatakan berhasil mengikuti pelatihan dengan baik, tanpa gagal. Tidak heran kalau peserta magang dari Indonesia menjadi lebih disukai.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Agar bisa mengikuti magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota ini tidak banyak persyaratan yang harus diikuti. Mereka harus lulus seleksi di Indonesia yang diadakan oleh Yayasan Asian Youth Center. Persyaratan umumnya harus lulusan sekolah menengah.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Persyaratan lain yang harus dilewati adalah lulus tes IQ (intelligence quotient) dan wawancara. Tes wawancara ini untuk mengetahui sejauh mana minat dan ketertarikan seorang anak untuk magang di industri. Mereka yang dinyatakan lulus seleksi akan mengikuti pelatihan persiapan selama dua bulan di Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi (PPPGT) Malang. </span><span style="" lang="FI">Pelatihan persiapan di PPPGT ini pun merupakan bagian dari rangkaian proses seleksi. Jika bisa melewati tahapan ini, barulah mereka akan diberangkatkan ke Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Selama 10 bulan pertama peserta magang akan mengikuti pelatihan kerja di Jepang. Selama mengikuti pelatihan itu, peserta magang diwajibkan mempelajari bahasa Jepang. Pelajaran bahasa ini diberikan selama tiga kali seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Jumat dilakukan seusai pelatihan, yaitu pada pukul 16.00- 18.00, dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00-16.00.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Bagi anak yang dinyatakan lulus pelatihan ini, maka mereka diizinkan untuk mengikuti magang kerja selama dua tahun lagi di industri pembuatan interior mobil tersebut. Penilaian keberhasilan sebagai trainee praktik kerja ini dilakukan oleh Japan International Training Cooperation. Selain itu, evaluasi <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 102, 0);">sikap hidup</span> para peserta magang selama di Jepang juga turut menentukan. Jadi, secara keseluruhan anak-anak ini akan mengikuti magang kerja selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu, siswa yang melakukan magang kerja di Jepang akan mengantongi uang sekitar tiga juta yen atau sekitar Rp 240 juta (kurs 1 yen = Rp 80).<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Selama magang, mereka ditempatkan di sebuah asrama yang disediakan oleh perusahaan. Di asrama ini, setiap anak dididik untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatu kebutuhannya sendiri. Mereka diwajibkan merapikan tempat tidur serta menjaga kebersihan dan kerapian asrama. Tidak heran jika tempat tidur dan kamar mandi yang disediakan di asrama ini juga bersih dan rapi.<o:p></o:p></span></p> <p><strong style="color: rgb(255, 102, 0);"><span style="" lang="FI">Ingin jadi petani</span></strong><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Meskipun praktik kerja industri di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang, ini memberikan pengalaman kerja industri, tidak bisa menutup keinginan mereka yang mengikuti praktik untuk menjadi petani. Paling tidak, itulah pengakuan Mustakin yang sudah dua setengah tahun di Jepang. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Nasional Malang ini mempunyai rencana untuk mendirikan pertanian yang dikelola seperti di Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">"Setiap ada kesempatan libur, saya pergunakan untuk jalan-jalan ke daerah pertanian di sekitar asrama. Saya melihat sistem pertanian di Jepang dikelola secara efisien sekali meskipun peralatan pertaniannya tidak semuanya modern dan canggih," ujar Mustakin.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Menurut Mustakin, keinginan untuk mengembangkan pertanian di Malang itu justru muncul setelah berkenalan dengan petani di Jepang. Tidak seperti di Malang, petani di Jepang lebih makmur dibandingkan dengan pekerja di industri. Petani di Jepang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, didukung dengan pengetahuan pertanian dan penguasaan bisnis pertanian yang baik.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">"Itu sebabnya, uang yang saya peroleh di sini nantinya akan saya belikan tanah di Malang agar saya dan orangtua bisa mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian yang maju," ujarnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Selain bisa mengembangkan pertanian, menurut Mustakin, siapa tahu justru bisa membuka kesempatan kerja bagi orang-orang yang menganggur di Malang. </span><span style="" lang="SV">Sebenarnya, pekerjaan di bidang pertanian itu sangat beragam jumlah dan jenis pekerjannya. "Jika dilakukan dengan serius dan tekun, maka lahan pertanian yang miskin sekalipun pasti akan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit," ujarnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Berbeda dengan Mustakin, Lyona, lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Blitar, tetap berharap bisa bekerja di industri otomotif. Namun, Lyona ragu apakah ada industri otomotif yang memiliki prosedur kerja yang sama dengan di Jepang. </span><span style="" lang="FI">Selain itu, proses dan jenis pekerjaannya tentu saja akan sangat berbeda.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">"Itu sebabnya, saya sendiri berharap bisa memasuki dan bersaing di dunia kerja di Jepang. Saya yakin bisa, tinggal lagi mengikuti tes bahasa Jepang. Karena memang ada persyaratan khusus terkait dengan penguasaan bahasa Jepang," ujarnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Rekan magang Lyona, Yana, yang berasal dari SMU di Ciamis, juga sama-sama memiliki cita-cita ingin bekerja di Jepang. Menurut Yana, bekerja di Jepang bukan sekadar karena imbalan jasa yang lumayan besar, melainkan juga memberikan pengalaman kerja dan bersentuhan dengan industri yang memiliki disiplin tinggi. "Kalaupun nantinya saya kembali ke Indonesia, saya berharap bisa diterima bekerja di industri yang memiliki disiplin kerja yang sama," ujarnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Seperti halnya Mustakin, Lyona dan Yana juga memiliki cita-cita untuk mempunyai usaha sendiri. Baik Lyona maupun Yana menyadari tidak mudah untuk bisa bekerja di Jepang. </span><span style="" lang="FI">Apalagi kemampuan yang mereka miliki masih terbatas seperti pekerjaan kuli.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Mereka juga menyadari bahwa dalam pekerjaan magangnya lebih banyak menggunakan kekuatan tenaga fisik saja. Meskipun terbuka kesempatan dan bebas mengemukakan ide-ide yang bermanfaat untuk kemajuan industri, proporsinya masih sangat sedikit sekali.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Tidak heran jika Lyona dan Yana serta rekan-rekan mereka yang magang di Jepang pun banyak yang berkeinginan untuk membuka usaha sendiri. Tidak mudah memang untuk memulai usaha sendiri, namun bekal ketekunan dan kedisiplinan, yang pernah dirasakan selama mengikuti magang di Jepang, mereka rasakan cukup.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Adakah pembinaan dari pemerintah terhadap mereka yang bercita-cita turut mengurangi angka pengangguran ini? Haruskah optimisme calon wiraswastawan muda ini pupus karena kondisi sistem perekonomian nasional tidak bisa mendukung rintisan usaha kecil? Padahal, usaha kecil banyak yang terbukti mampu bertahan selama krisis yang melanda di Indonesia. </span>(MAM).<o:p></o:p></p><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" ><span>Sumber: www.kompas.com, Desember 2003</span></span><br /><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; line-height: 110%; text-align: left; color: rgb(102, 0, 204);"><span style="line-height: 110%;font-family:Verdana;font-size:9;" lang="SV" ><o:p> </o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-66389384053827479242007-11-28T11:25:00.000+07:002007-11-28T11:50:35.660+07:00MANUSIA LEGOWO<p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Salah satu bentuk keikhlasan yang amat penting ialah <i style="color: rgb(255, 102, 0); font-weight: bold;">legowo</i>, yakni kerelaan yang tulus <i>to let something go</i>; membiarkan sesuatu pergi dan hilang, apakah jabatan, fasilitas, atau harta benda. Ketika orang <i>lengser </i>dari jabatannya— atau kehilangan apa pun <i>for that matter</i> — umumnya orang akan merasa sangat kehilangan. Tanpa konsep rahmat, rasa kehilangan itu terasa sangat pedih dan menyakitkan.<u1:p></u1:p> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><u1:p></u1:p>Namun, orang yang mengenal rahmat tahu bahwa semua yang pernah diterimanya — apakah nyawa, rupa, kegagahan, kecantikan, kepandaian, harta, jabatan, anak, istri atau suami — pada suatu saat, cepat atau lambat, pasti akan dilepaskannya. <span style="font-weight: bold;"><br /></span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold;">Soeharto</span> misalnya, salah satu presiden terkaya dan terkuat di bumi pada zamannya, akhirnya juga harus kehilangan hampir semuanya: istrinya, menantunya, sahabat-sahabatnya, kesehatannya, kemuliaannya, dan kekuasaannya. Dan hal ini tidak khas mantan presiden. Tidak pula khas orang jahat. </span><span style="" lang="FI">Anda dan saya juga, pada suatu saat, harus kehilangan semuanya. Ketika kita memasuki liang lahat, maka secara mutlak kita meninggalkan semuanya. </span><span style="" lang="SV">Inilah makna kefanaan dalam arti sesungguhnya. Tanpa rasa <i>legowo </i>orang akan sengsara dan patah hati saat kehilangan. Dan emosi ini sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa kita dan tubuh kita. <o:p></o:p></span></p> <u1:p></u1:p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><u1:p></u1:p>Kemampuan <i>legowo </i>inilah yang ditunjukkan <span style="font-weight: bold;">William Soeryadjaja</span>, mantan pemilik Grup Astra yang kehilangan kerajaan bisnisnya secara tragis. Namun karena keyakinannya pada rahmat Tuhan, ia masih tetap mampu tertawa terbahak-bahak sambil mengisap cerutu kesayangannya. Ketika usianya mulai berkepala tujuh, ia masih sanggup memulai bisnis baru. Saat itu dilaporkan ia pun masih sanggup makan sate 40 tusuk.<o:p></o:p></span></p> <u1:p></u1:p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><u1:p></u1:p>Kemampuan serupa juga ditunjukkan <span style="font-weight: bold;">Kuntoro Mangkusubroto</span>. Di puncak keberhasilannya, ia dipecat dari jabatan Dirjen Pertambangan Umum oleh atasannya Menteri Pertambangan dan Energi pada zaman Kabinet Pembangunan VI antara lain gara-gara kasus Busang. Tetapi dengan <i>legowo</i>, jiwa besar dan pikiran positif, ia tidak menjadi patah semangat. Mantan Dosen ITB ini setahun kemudian terpilih menjadi menteri menggantikan sang pemecatnya. Ikut lengser dari kedudukan menteri bersama usainya Kabinet Habibie yang pendek, ia kemudian sanggup <i>legowo </i>berbesar hati menerima jabatan “cuma” sebagai Dirut PLN di zaman Kabinet Gus Dur. Namun pada awal tahun 2001 ia juga harus turun jabatan sebagai Dirut PLN, dan kembali ke kampus almamaternya, Institut Teknologi Bandung.<o:p></o:p></span></p> <u1:p></u1:p> <p class="MsoNormal"><u1:p></u1:p>Orang yang mengenal rahmat, orang yang sudah dilawat oleh rahmat, akan mampu bekerja dengan pengabdian yang tulus. Ini misalnya ditunjukkan oleh <span style="font-weight: bold;">Romo Mangun</span> [1920-2000], seorang pastur dari <st1:place>Yogyakarta</st1:place>. Secara kristal, hidupnya adalah pengabdian yang tulus, khususnya kepada orang miskin dan terpinggirkan oleh roda kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan. Pembelaannya yang paling terkenal ialah kepada penduduk pinggir Kali Code di Yogyakarta. Ia mengancam mogok makan apabila pemerintah berkeras menggusur mereka. Ini sebuah keberanian yang taruhannya nyawa saat rezim Orde Baru yang militeristik sedang jaya-jayanya. Ia juga nekat membela masyarakat gusuran waduk Kedung Ombo di daerah Boyolali. Ia pernah diinterogasi aparat keamanan tetapi kemudian bertaruh nyawa sembunyi dalam bagasi mobil agar bisa masuk ke daerah terlarang itu. Ini pun sebuah taruhan leher pada saat tak kurang dari Presiden Soeharto saat itu mencap warga Kedung Ombo sebagai orang-orang <i>mbalelo</i>.</p> <u1:p></u1:p> <p class="MsoNormal"><u1:p></u1:p>Di tempat kerja, orang yang percaya pada rahmat akan mengenal rahmat itu dan mengalaminya secara riil. Dia akan berubah karena lawatan rahmat itu dan menjadi distributor rahmat. Dia akan menjadi tokoh protagonis dalam menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Dia menjadi pribadi yang selalu bersukacita bagaikan air mancur yang bersumber dari dalam hatinya. Tidak heran semua menyukainya, vertikal maupun horizontal. Dan menurut pendapat saya inilah tujuan rahmat terpenting: yaitu agar oleh jamahan rahmat kita semua menjadi manusia yang <i>rahmatan</i>, menjadi manusia yang sungguh-sungguh baik. Jelas, bahwa tanpa rahmat, Anda dan saya tidak mungkin menjadi manusia, apalagi menjadi manusia yang baik. </p> <br /> <p class="MsoNormal"><span style="font-size:85%;"><span style="color: purple;" lang="SV">Sumber:<strong> Jansen H. Sinamo</strong> dalam bukunya <strong>"8 Etos Kerja Profesional - Navigator Anda Menuju Sukses"</strong></span><o:p></o:p></span></p> <span style=";font-size:85%;" lang="SV" ></span> <p class="MsoNormal" style="line-height: 110%;"><span style=";font-family:Georgia;font-size:85%;color:blue;" lang="SV" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; line-height: 125%; text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="" lang="SV"></span></span> </p><span style=";font-size:85%;" lang="SV" ></span>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-19965746494081147342007-11-06T15:31:00.000+07:002007-11-07T14:46:42.001+07:00Info Training "8 ETHOS", November 2007Mengapa Tenaga Kerja Indonesia dihargai sangat rendah di dunia? Mengapa Indonesia banyak tertinggal dibanding bangsa-bangsa Asia lainnya? Mengapa bangsa kita seolah tak berdaya di bawah tekanan bangsa lain? Bukan hanya di tingkat bangsa dan negara, di tingkat organisasional dan manajerial pun banyak keluhan dan kritikan ditujukan kepada SDM Indonesia yang secara nyata belum mampu menunjukkan keunggulan kualitasnya di era digital global ini. Apa yang harus dibenahi? Bentuk semangat (spirit) macam apa yang perlu segera dibangun dan dihayati oleh semua insan negeri ini?<br /><br />Berbagai studi sosiologi dan manajemen menunjukkan bahwa keberhasilan suatu bangsa terletak pada etos kerja warganya. Sumber Daya Manusia memegang peranan kunci bagi kemajuan dan keunggulan suatu bangsa.<br /><br />Bagaimana SDM Indonesia mampu melepaskan diri dari stigma negatif tersebut dan berjuang merebut keunggulan dan kejayaan kita sebagai bangsa?<br /><br />Setiap perubahan tak lepas dari cara berpikir (paradigma), apa yang diyakini (keyakinan) dan semangat untuk berubah dari manusianya.<br /><br />Pelatihan <span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">"8 ETHOS"</span> yang dirancang dan dikemas khusus oleh Jansen H. Sinamo mencoba memberikan navigasi berupa cara pandang (paradigma) dan nilai-nilai keyakinan yang baru untuk membangun etos kerja bangsa Indonesia yang unggul dan terpercaya untuk menjawab tantangan global di atas tadi.<br /><br />Disajikan dalam durasi 2 hari, <span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">Materi Pelatihan</span> meliputi:<br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">1. Apakah 8 Etos Kerja Profesional itu?</span><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">2. 8 Pa</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">radig</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">ma Kerja Profesio</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">nal :</span><br /><ul><li>Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur</li><li>Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab</li><li>Etos 3: Kerja adalah Panggilan; Aku Tuntas Penuh Integritas</li><li>Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku Keras Penuh Semangat</li><li>Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan</li><li>Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas</li><li>Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan</li><li>Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahanhati</li></ul> <span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">3. B</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">a</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">gaim</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">an</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">a menciptakan Budaya Kerja Unggul dengan 8 Ethos?<br /></span><br /><p class="MsoNormal"><b><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Pelaksanaan:</span></b></p><p class="MsoNormal">Pelatihan <span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">8 Ethos</span> angkatan terakhir di tahun 2007 ini akan diselenggarakan pada:<br /><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Hari/tgl : </span><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">Rabu-Kamis,</span><b style="color: rgb(204, 102, 0);"> </b></span><b style="color: rgb(204, 102, 0);">28-29 November 2007, </b><span style="color: rgb(102, 51, 0);"><br /><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Jam :</span><b> <span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">07.00-</span></b></span><span style="color: rgb(102, 51, 0);"><b><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">16.00 </span></b><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">WIB</span><b><br /></b><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Tempat :</span></span><b style="color: rgb(102, 51, 0);"> <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Hotel Menara Peninsula, </span></b><span style="color: rgb(102, 51, 0);"><br />Jl. S.Parman, Slipi - J</span><span style="color: rgb(102, 51, 0);">akarta Barat</span><br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">I</span></span><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">nves</span></span><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">tasi:</span> </span><b style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(102, 0, 0);">Rp 2.500.000,-</span></b><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">/peserta</span><br /><i>(termasuk modul, buku teks, sertifikat, coffee break & lunch).</i></span><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Early bird </span>sebelum tanggal </span><b><span style="color: rgb(102, 51, 0);">21 November 2007 </span></b><span style="color: rgb(204, 102, 0);">cukup membayar </span><b><span style="color: rgb(102, 51, 0);">Rp 2.250.000,-</span></b><span style="color: rgb(204, 102, 0);">/peserta.</span><br /><br /><b><span style="color:red;">GRATIS</span></b> hadiah langsung 4 buku & 1 CD Audio dari Jansen H. Sinamo untuk setiap peserta.<br /><br />Bagi pendaftar 3 orang/lebih akan mendapatkan diskon langsung sebesar <b><span style="color: rgb(204, 102, 0);">20%</span></b>.</p><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);"><br />F</span><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">asilitator:<br /><br /></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhanbW07oYEXr75BWCkx1CdFQ5t_hBAEnyzsU_v299ZLZ8JM1KtnuE9JgoVjNaInGbFjGqAfhf8znTJff0Oc62ATTK-UukrA3SBqy0m9oGWjdx8CvbuwjuMGOt5c8YZQ6xTB4Fy9-TrTtQ/s1600-h/JHS.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 205px; height: 80px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhanbW07oYEXr75BWCkx1CdFQ5t_hBAEnyzsU_v299ZLZ8JM1KtnuE9JgoVjNaInGbFjGqAfhf8znTJff0Oc62ATTK-UukrA3SBqy0m9oGWjdx8CvbuwjuMGOt5c8YZQ6xTB4Fy9-TrTtQ/s320/JHS.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129977964175658658" border="0" /></a> <p class="MsoNormal"><span style="color:black;">Seorang maestro pelatihan. Pengalamannya sangat luas dalam membawakan seminar dan training di berbagai lembaga dan korporasi milik negara seperti Bank Indonesia, BPPT, ITB, DPRD, Aneka Tambang, Telkom, Indosat, Jiwasraya, Bank Mandiri, BNI, BRI, Jasa Marga, dan sejumlah PTPN; perusahaan swasta nasional seperti Astra Group, Kompas-Gramedia Group, Indomobil, Bank NISP, Bentoel, Bumiputra, BCA, Konimex Group, United Tractors; termasuk korporasi multinasional seperti SOGO, Caltex, Charoen Pokphand, Mandom, VICO, Bank Amro, TNT, dan American Express; termasuk berbagai LSM seperti World Vision, Bina Swadaya, dll.</span><br /></p><o:p style="color: rgb(0, 0, 0);"></o:p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><o:p style="color: rgb(0, 0, 0);"></o:p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"> <o:p></o:p></p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"> <o:p></o:p></p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1028" type="#_x0000_t75" style="'width:56.25pt;height:85.5pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image003.jpg" title="ethos1"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style=""> </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1029" type="#_x0000_t75" style="'width:59.25pt;height:84.75pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image005.jpg" title="KafeEtos"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style=""> </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1030" type="#_x0000_t75" style="'width:59.25pt;height:84.75pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image007.jpg" title="saa2"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style=""> </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1031" type="#_x0000_t75" style="'width:60pt;height:84.75pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image009.jpg" title="dpmm"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style=""> </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1032" type="#_x0000_t75" style="'width:51.75pt;height:84.75pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image011.jpg" title="pasir"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style=""> </span><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1033" type="#_x0000_t75" style="'width:57.75pt;height:85.5pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image013.jpg" title="pkpv"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><o:p></o:p></p> <p style="color: rgb(0, 0, 0);" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0);"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0hZvRgN3y8dE1MSperwAHkIj7tWGpMkTwQRQM0ujs9hACvqmkwe3LIo0ntw7xb34PLHiIuMHoyppWq9NHOB55pmv1kvKfwWoBSEHLPPv2Oj-ooCPgyjDQtEEerSwTDSIvNzTk0-S5Bss/s1600-h/buku+etos.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 96px; height: 143px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0hZvRgN3y8dE1MSperwAHkIj7tWGpMkTwQRQM0ujs9hACvqmkwe3LIo0ntw7xb34PLHiIuMHoyppWq9NHOB55pmv1kvKfwWoBSEHLPPv2Oj-ooCPgyjDQtEEerSwTDSIvNzTk0-S5Bss/s320/buku+etos.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129986854757961522" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDZaLOQIULUs0sSdmZ0r5EVhdrJedyFCDMlTE8aprile2plE0Sq6lO7iOk6DDIyS3fPZpJEHuTvlXDB0seZ9229TeVSAH9QFdPF5apLG8fBYF5fu0-doZu0XJLWB1l3Hul45uIUZopGKw/s1600-h/Kafe+Etos.jpg"><img style="cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDZaLOQIULUs0sSdmZ0r5EVhdrJedyFCDMlTE8aprile2plE0Sq6lO7iOk6DDIyS3fPZpJEHuTvlXDB0seZ9229TeVSAH9QFdPF5apLG8fBYF5fu0-doZu0XJLWB1l3Hul45uIUZopGKw/s320/Kafe+Etos.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129986773153582882" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj8QWHZKCi2wCMpFv4vluRkXQCvv0lREKwfYBVt-c5jNyrayymDljXZA5JfGOIv3qt2_8NCpOMStouUe39nroRNPeTd1ps3eqhb1DPUQ4qqNi8ni2UapojvRSIdPPIfcl7szvtC6epnlw/s1600-h/DPMM.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 98px; height: 143px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjj8QWHZKCi2wCMpFv4vluRkXQCvv0lREKwfYBVt-c5jNyrayymDljXZA5JfGOIv3qt2_8NCpOMStouUe39nroRNPeTd1ps3eqhb1DPUQ4qqNi8ni2UapojvRSIdPPIfcl7szvtC6epnlw/s320/DPMM.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129986665779400466" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKLQ7Gk8wjJCZdm_kE0YodalaKjly88CdclD5qBpYrLliL1HCQA3kuSEMjI9PyryhGw3IUoh55KHG96ddAR5qXTD2-4ABoqsP5wCeQ4JGKT4iH54eON51_YCqm5tgh6bsCPoX6A_cpXOs/s1600-h/MPMM.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 98px; height: 143px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKLQ7Gk8wjJCZdm_kE0YodalaKjly88CdclD5qBpYrLliL1HCQA3kuSEMjI9PyryhGw3IUoh55KHG96ddAR5qXTD2-4ABoqsP5wCeQ4JGKT4iH54eON51_YCqm5tgh6bsCPoX6A_cpXOs/s320/MPMM.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129986425261231874" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQjtuQRxgsSAl7uLQ12Nk-s92oBl8GypvhEqqgll9nLeTNNPZinvgxG_KtTP8AX7e24688KTKSFoeSkYNGdTWSUF2tqnxNq4tvcUtdTigitJ_Aw_ZwQH9_KoRR9mDJNazZV78noE5Qgrk/s1600-h/PKPV.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 96px; height: 144px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhQjtuQRxgsSAl7uLQ12Nk-s92oBl8GypvhEqqgll9nLeTNNPZinvgxG_KtTP8AX7e24688KTKSFoeSkYNGdTWSUF2tqnxNq4tvcUtdTigitJ_Aw_ZwQH9_KoRR9mDJNazZV78noE5Qgrk/s320/PKPV.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129979772356890338" border="0" /></a><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheNMt7I45wcssA_P6Lqkui3xCDYF5ZOqgUkQzHguTrWjGOiTegc0bvv40gsQoaq-lPm1mHetMYIMzgxCur6OdCNcWYOAwyb4AzxAYJldSPKKveKlAVNuGiYPyc-rdErkNe4SWqxfizbI0/s1600-h/Strategi+Adaptif.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 98px; height: 142px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheNMt7I45wcssA_P6Lqkui3xCDYF5ZOqgUkQzHguTrWjGOiTegc0bvv40gsQoaq-lPm1mHetMYIMzgxCur6OdCNcWYOAwyb4AzxAYJldSPKKveKlAVNuGiYPyc-rdErkNe4SWqxfizbI0/s320/Strategi+Adaptif.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129986292117245682" border="0" /></a></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0);"><strong>Jans</strong><strong>en H. Sin</strong><strong>amo</strong> telah menulis 6 buah buku dan audiobook yang lahir dari pengalaman, renungan, perbandingan, dan bacaannya atas ribuan buku dan literatur lain. Dalam sekitar 20 tahun karirnya sebagai public speaker, fasilitator, dan instruktur, dia telah melatih ratusan ribu orang mulai dari tingkat pelaksana, clerk, wiraniaga, teller bank, tingkat manajer, direktur, CEO, bupati, direktur jenderal, hingga level menteri. </p><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255); font-weight: bold;">Pendaftaran:<br /></span> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(0, 0, 0);" lang="IT">Hubungi</span><b><span style="color: rgb(204, 102, 0);" lang="IT"> Ester S.Devi</span></b><span lang="IT" style="color:black;"> di </span><b><span style="color: rgb(102, 51, 0);" lang="IT">0816-547-3500</span></b><span lang="IT" style="color:black;"> atau e-mail: </span><b><span style="color: rgb(102, 51, 0);" lang="IT">estershd@gmail.com</span></b><span style="" lang="IT"><o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-3648079195570626842007-11-06T15:30:00.001+07:002008-09-28T21:28:12.160+07:00Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?<p>Ketertinggalan <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> saat ini membuat kita bertanya, apakah orang <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita "bernasib" seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya. </p><p>Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.<o:p></o:p></p> <p>Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni: </p><p class="MsoNormal"><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Gi</span></b> - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.<br /><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);"><br />Yu </span></b>- berani dan bersikap kesatria<br /><br /><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Jin </span></b>- murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama<br /><br /><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Re</span></b> - bersikap santun, bertindak benar<b><span style="color: rgb(204, 0, 0);"><br /><br />Makoto</span></b> - bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih<br /><br /><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Melyo</span></b> - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta<br /><br /><b><span style="color: rgb(204, 0, 0);">Chugo</span></b> - mengabdi dan loyal.<o:p></o:p></p><o:p></o:p><!--[endif]--><br />Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip : <ol start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="">bertindak rasional,</li><li class="MsoNormal" style="">berdisiplin tinggi,</li><li class="MsoNormal" style="">bekerja keras,</li><li class="MsoNormal" style="">berorientasi pada kekayaan material,</li><li class="MsoNormal" style="">menabung dan berinvestasi, serta</li><li class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="SV">hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.<o:p></o:p></span></li></ol> <p><span style="" lang="SV">Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 102, 0);">Ethos Kerja Indonesia</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku <span style="font-weight: bold;"><span style="color: rgb(255, 0, 0);">"Manusia Indonesia"</span> </span>karya<span style="font-weight: bold;"> Mochtar Lubis </span>yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV"><span style="font-weight: bold; color: rgb(255, 102, 0);">Nalar</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.<br /></span></p><p><span style="" lang="SV">Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.</span></p><p><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-size:85%;" ><span style="" lang="SV">“. </span>. . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world."<br /></span></p><p style="text-align: right;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-size:85%;" >Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.</span><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> </span><br /></p><p>Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.</p> <p>Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. <span style="color: rgb(255, 0, 0); font-weight: bold;">Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.</span><br /></p><p>Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian <span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">Calne</span> dalam bukunya <span style="font-style: italic; color: rgb(51, 51, 255);">Within Reason</span> sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.</p> <p>Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:<br /></p><p style="color: rgb(51, 51, 255);"><span style="font-size:85%;">“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . "<br /></span></p><p style="text-align: right; color: rgb(51, 51, 255);"><span style="font-size:85%;">Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals.</span></p><p>Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:<br /></p><p>Immature love says: ''I love you because I need you'',<br />Mature love says:"I need you because I love you". </p> <span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: Kusmayanto Kadiman, Menristek RI<br />http://www.netsains.com/index.php/page_info/pid_173</span>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-47673707536522662492007-11-05T16:14:00.000+07:002007-11-06T09:19:55.401+07:00Rahasia Bisnis Orang Jepang<span style="" lang="SV"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">A</span></span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEis2VRN1BDWAdKeUPFdFKg8k1Mvb6EWFJc5pfEcc_5oHc-s7y6rvFcae5ihmchR7BlzeR-E-L41Onc2Zxj-iT7Y4IM0sl8QFpqcVpQBohQ-YsN9sVA3gYeEAiEVebvifEgH1SJhgTqqg_M/s1600-h/4688.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEis2VRN1BDWAdKeUPFdFKg8k1Mvb6EWFJc5pfEcc_5oHc-s7y6rvFcae5ihmchR7BlzeR-E-L41Onc2Zxj-iT7Y4IM0sl8QFpqcVpQBohQ-YsN9sVA3gYeEAiEVebvifEgH1SJhgTqqg_M/s320/4688.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5129546186818424306" border="0" /></a><span style="" lang="SV"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">pa kun</span></span><span style="" lang="SV"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">ci sukses bangsa Jepang, Cina dan Korea?<br /></span></span><p><span style="" lang="SV">A</span><span style="" lang="SV">nn W</span><span style="" lang="SV">ang</span><span style="" lang="SV"> Seng, PhD <span style=""> </span>seorang antropolog dan sosiolog asal Malaysia dan penulis buku seri bisnis Asia: <i style="color: rgb(51, 51, 255);">Raha</i></span><span style="" lang="SV"><i style="color: rgb(51, 51, 255);">sia Bisnis Orang Jepang, Formula Bisnis Negara Cina</i><span style="color: rgb(51, 51, 255);">,</span> dan <i style="color: rgb(51, 51, 255);">Rahasia Bisnis Orang Korea</i>, menuturkan bahwa ketiga bangsa tersebut memiliki persamaan dalam hal <b style=""><span style="color: rgb(204, 0, 0);">etos kerja</span>-</b>nya</span><span style="" lang="SV">. Bedanya, ”... orang Cina lebih mementingkan kekeluargaan, orang Jepang pada organisasi, orang Korea pada komunitas,'' ucapnya saat berada di Jakarta, beberapa waktu lalu. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Namun mengapa bangsa Jepang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan </span><span style="" lang="SV">2 bangsa lainnya meskipun ketiganya sama-sama pekerja keras? Diketahui dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang mampu bangkit dari keterpurukannya akibat serangan bom atom Amerika tahun 1945, dan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya tersebut. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat Jepang <span style=""> </span>pada pertengahan era 1990-an, yang diwakili oleh Produk Nasional Bruto (PNB)-nya telah mencapai US$ 37,5 miliar. Ini berarti menempati posisi kedua dari puncak yang diduduki oleh Swiss dengan PNB-nya yang tertinggi di dunia (US$ 113,7 miliar). </span><span style="" lang="FI">Selain itu Jepang juga tidak memiliki utang luar negeri.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Padahal jika dilihat pada kondisi yang ada, <span class="postbody">Jepang tidak memiliki sumber alam yang memadai.<b style=""><span style="color:red;"> </span></b></span>Alamnya sangat sulit untuk dikembangkan dan sering ditimpa bencana seperti gempa, letusan gunung berapi dan badai topan. Bahkan 85% kebutuhan energi Jepang juga masih diimpor dari negara lain seperti Indonesia. </span><span style="" lang="IT">Belum lagi kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua, yang menyebabkan kerusakan fisik dan kehancuran perekonomian yang<span style=""> </span>dahsyat yang semestinya membuat mereka lebih tertinggal dibanding bangsa-bangsa lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Menurut Ann Wang Seng dalam bukunya <strong style="color: rgb(255, 0, 0);">Rahasia Bisnis Orang Jepang</strong><span style="color: rgb(255, 0, 0);"> </span><em style="color: rgb(255, 0, 0);">: Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia</em><em><span style="font-style: normal;">,</span></em><span style=""> </span>kunci kebangkitan Jepang terletak pada spirit Bushido atau Samurai yang telah dibudayakan secara turun temurun dalam masyarakat Jepang dan diwujudkan dalam sikap: <o:p></o:p></span></p> <p><span class="postbody"><b style=""><span lang="IT" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Tepat Waktu/Disiplin tinggi</span> <o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span style="" lang="IT">Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. </span><span style="" lang="SV">Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja. <o:p></o:p></span></p> <p><span class="postbody"><span style="" lang="SV">Orang Jepang akan menghabiskan seluruh jam kerjanya untuk fokus bekerja dan bukan untuk mengobrol dengan rekan kerja atau bersantai-santai. Mereka menghabiskan banyak waktu di tempat kerja. </span></span><span style="" lang="SV">Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun).. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. </span><span style="" lang="FI">Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.<span class="postbody"><b style=""><span style="color:red;"> <o:p></o:p></span></b></span></span></p> <p><span class="postbody"><b style=""><span lang="IT" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Semangat Mengabdi</span><o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span style="" lang="IT">Hal unik lainnya dari sistem kerja masyarakat Jepang adalah totalitas pengabdian mereka pada organisasi/perusahaan tempat mereka bekerja. Bagi mereka kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien hingga cepat diselesaikan adalah lebih penting daripada menuntut tambahan uang lelah. Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.Mereka bahkan r<span class="postbody">ela bekerja tanpa digaji karena menganggap bahwa pekerjaan adalah sebuah kewajiban.<span style="color:red;"> </span></span>Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.<span class="postbody"></span><o:p></o:p></span></p> <p><span class="postbody"><b style=""><span lang="FI" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Semangat Kebersamaan</span><o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span class="postbody"><span style="" lang="FI">B</span></span><span style="" lang="FI">angsa Jepang sangat mementingkan semangat kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Itu sebabnya m</span><span style="" lang="SV">ereka lebih senang <span class="postbody">bekerja sebagai sebuah tim. </span>D<span class="postbody">alam tim kerja, tidak ada atasan dan bawahan. Kedudukan atasan dan bawahan adalah sama dan sama-sama berhak mengajukan pendapatnya masing-masing. </span>Setiap organisasi/ perusahaan di Jepang menempatkan para pengelola dan pekerja dalam tingkatan yang sama dalam pengambilan keputusan. Meski masing-masing <span class="postbody">bukan seorang yang pandai mempertahankan pendapat pribadi, namun mereka sangat menjunjung harga diri dan tidak suka diremehkan. Perusahaan Jepang atau perusahaan yang manajemennya dikelola oleh orang Jepang, biasanya mempunyai ciri-ciri: Semua karyawannya mendapat penghasilan diatas rata-rata; Direktur maju, karyawan juga maju; respek terhadap nasib karyawannya. </span>Sehingga sangat wajar jika disana hampir tidak pernah terjadi demonstrasi dan aksi mogok para pekerja karena setiap aspirasi mereka selalu ditampung serta dihargai oleh pihak pengelola maupun pemilik perusahaan.<o:p></o:p></span></p> <p><b style=""><span lang="SV" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Kecepatan dan fleksibilitas</span><o:p></o:p></span></b></p> <p><span style="" lang="SV">Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, agar senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh, karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis. <span class="postbody">Itu sebabnya masyarakat Jepang dikenal suka berjalan cepat, lekas</span> tanggap dalam bertindak, serta tidak menunggu peluang datang, melainkan mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p><span class="postbody"><b style=""><span lang="FI" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Inovatif</span><o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span class="postbody"><span style="" lang="FI">Perkembangan teknologi di Jepang terjadi sangat cepat. Ini didasari oleh kehausan masyarakatnya akan akan Ilmu Pengetahuan.</span></span><span style="" lang="FI">Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. </span><span style="" lang="IT">Di Jepang, <span class="postbody">buku-buku terbitan luar negeri akan segera ada terjemahannya dalam waktu 1-2 hari. </span></span><span class="postbody"><span style="" lang="FI">Kebiasaan membaca dilakukan di mana-mana bahkan saat dalam kendaraan. </span></span><span style="" lang="FI">Kegemaran bangsa Jepang akan ilmu pengetahuan juga menyebabkan mereka m<span class="postbody">enghabiskan banyak waktu dan uang untuk penelitian. P</span>erusahaan-perusahaan di Jepang rela menghabiskan sekitar 45% dari anggaran belanjanya untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Mereka sadar bahwa mereka harus inovatif agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional. <span class="postbody">Pekerja Jepang dibayar dari hasil prestasi dan inovasi mereka saat bekerja dan bukan dari kedudukan. <b style=""><span style="color:red;"><o:p></o:p></span></b></span></span></p> <p><span style="" lang="SV">Jepang dikenal s<span class="postbody">uka meniru produk buatan bangsa Barat. </span></span><span class="postbody"><span style="" lang="FI">Namun, m</span></span><span style="" lang="FI">eskipun pintar meniru, mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Jika pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi, maka bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.<br /></span></p><p><span style="" lang="FI">Bangsa Jepang menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat<span class="postbody">, membuat produk dengan dasar sama tetapi dengan penyesuaian pada segi kegunaan dan budaya sendiri</span> demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. <span class="postbody">Produk Jepang terkenal lebih ringan, mudah digunakan, hemat, dan lebih murah dibandingkan produk bangsa Barat yang ditirunya</span>. Tak heran beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi, contohnya produk dari Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan audio visual. <o:p></o:p></span></p> <p><span class="postbody"><b style=""><span lang="IT" style="color:red;"><span style="color: rgb(255, 102, 0);">Menghargai Budaya dan Tradisi Bangsa Sendiri.</span><o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span class="postbody"><span style="" lang="IT">Meski sudah menjadi negara industri dan mempunyai teknologi tinggi, bangsa Jepang </span></span><span style="" lang="IT">t<span class="postbody">etap mempertahankan budaya tradisionalnya. Semua ini dilandaskan pada s</span>ikap patriotik masyarakat Jepang yang adalah salah satu faktor yang membantu keberhasilan perekonomian negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Di mana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka, termasuk keengganan mereka dalam menggunakan bahasa Inggris. <b style=""><span style="color:red;"><o:p></o:p></span></b></span></p> <p><span style="color: rgb(255, 102, 0);" class="postbody"><b style="">Suka berhemat dan menabung</b></span></p><p><span style="color: rgb(255, 102, 0);" class="postbody"><b style=""> </b></span><b style=""><span lang="IT" style="color:red;"></span></b><span style="" lang="IT">Meskipun <span class="postbody">Pendapatan perkapita Jepang lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perkapita bangsa Barat, tetapi gaji pokok mereka adalah yang paling minimum dibandingkan gaji pokok bangsa Barat. Dalam hidup keseharian, mereka lebih suka memakai kendaraan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Mereka memiliki kebiasaan memanfaatkan dan mengolah kembali barang-barang bekas yang sudah tak terpakai menjadi barang yang berguna dan memiliki nilai seni yang tinggi. Sebagaimana mereka mengimpor bahan mentah dari negara lain kemudian mengolahnya untuk kebutuhan mereka sendiri dan untuk di ekspor kembali.</span></span></p><p><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: Dari Berbagai Sumber</span><br /><span style="" lang="IT"><span class="postbody"><o:p></o:p></span></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-86625693944490705592007-11-02T14:40:00.000+07:002007-11-02T14:52:06.467+07:00Etos Jepang versi Mariono<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEje8tkrxB3FV78L2T6L9X0YygT246qXE298DNzg5xaKIsmWx0k5un2AH3xHi-bsfC9J9Rok_3VMwpGH-saa-qLtvqmGNfuv-GChQmc5SlivoHt0WuDfO_Hkwh-moZgtQsD5Z-xlTstYnzQ/s1600-h/309_02_2.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 254px; height: 185px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEje8tkrxB3FV78L2T6L9X0YygT246qXE298DNzg5xaKIsmWx0k5un2AH3xHi-bsfC9J9Rok_3VMwpGH-saa-qLtvqmGNfuv-GChQmc5SlivoHt0WuDfO_Hkwh-moZgtQsD5Z-xlTstYnzQ/s320/309_02_2.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128145129831763394" border="0" /></a>Pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi bantuan hibah Grass-Root (yang berskala kecil dan lebih memasyarakat) untuk pembangunan gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Pare, Jawa Timur. Pada tanggal 27 September 2004, berlangsung upacara penandatanganan nota perjanjiannya oleh Konsul-Jenderal Jepang di Surabaya, Bapak Minoru Shirota, dengan Bapak Mariono Mertodhihardjo sebagai wakil dari pihak yang menangani renovasi SMP tersebut. <o:p></o:p> <p><span style="" lang="SV">SMP di Desa Pare ini memiliki sejarah yang amat panjang sejak zaman penjaja</span><span style="" lang="SV">han Belanda. Kondisi bangunan sekolah tersebut sangat menyedihkan bagi para siswa untuk belajar: ada ruang kelas yang tidak ada langit-langitnya lagi sehingga genting langsung terlihat, dan juga ada ruang yang tiang penyangganya patah.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Gedung sekolah yang direnovasi dan menjadi baru itu selesai pembangunannya pada awal tahun 2005. Berkat adanya bantuan, gedung ini dapat dibangun bertingkat dan mempunyai 6 ruangan, dengan keadaan demikian para siswa dapat belajar dalam kondisi yang nyaman dan tenang.</span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5BSFyEgUvyUGPwX0GKhJd5e78NOL4hIUHvnzjPKylFGjtZAsV0ZWtLWxcKkYz9zGPdbR3jhpXFOKtvH-AYblqWgOfVRwsK-gLxvogjKNeBIcP9-LzjyiK9R4jxB8z5x3ZxlSXOhQFD4o/s1600-h/309_02.jpg"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 238px; height: 212px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg5BSFyEgUvyUGPwX0GKhJd5e78NOL4hIUHvnzjPKylFGjtZAsV0ZWtLWxcKkYz9zGPdbR3jhpXFOKtvH-AYblqWgOfVRwsK-gLxvogjKNeBIcP9-LzjyiK9R4jxB8z5x3ZxlSXOhQFD4o/s320/309_02.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128145318810324434" border="0" /></a><span style="" lang="SV"> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="SV">Bapak Mariono, yang mewakili SMP selaku penerima bantuan hibah ini, tern</span><span style="" lang="SV">yata telah membina hubungan yang sangat panjang dan mendalam dengan Jepang</span><span style="" lang="SV">. B</span><span style="" lang="SV">apak Mariono, kini berusia 84 tahun, pertama-tama berangkat ke Jepang pada tahun 1936 saat belum mulai Perang Dunia II, dan menetap di </span><span style="" lang="SV">Jepang selama masa Perang Dunia II. Seusai PD II pula, beliau berkecimpung dalam berbagai kegiatan untuk menjembatani Jepang dengan Indonesia. Sampai saat ini, Bapak Mariono, sebagai anggota Dewan Penyantun Universitas Darma Persada dan melalui kegiatan-kegiatan lainnya, masih tetap aktif memberikan kontribusi yang amat besar bagi persahabatan Jepang dan Indonsia. Dapat dikatakan bahwa Bapak Mariono adalah generasi pertama yang membangun persahabatan antara Jepang dan Indonesia yang kita nikmati sekarang. Nah, Redaksi AJ menanyakan kesan-kesan beliau tentang Jepang masa lalu. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Mengapa Bapak memilih untuk berangkat ke Jepang?</span><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Bpk. Mariono (M) : Jawaban Pada suatu hari, ayah saya bertanya pada saya, <i>Celenganmu ana pira?</i> (Ada berapa di celenganmu?). Memang pada saat itu saya punya kira-kira 100 Guilder. Demikian saya jawab, lantas ayah saya bertanya lagi, Bagaimana kalau saya kirim kamu ke Jepang?. Saya bingung dan tidak memahami maksud beliau. Ternyata, salah seorang sahabat ayah saya adalah Bapak Soekardjo yang menjadi salah seorang dari beberapa orang Indonesia asli yang duduk di Parlemen Hindia-Belanda.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Bapak Soekardjo itu atas perintah pemerintahan Hindia-Belanda telah melakukan penelitian di Jepang dan punya sebuah rumah di Jepang. Akhirnya, saya diberangkatkan atas kesepakatan ayah saya dengan Bapak Soekardjo Wiryopranoto.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Bagaimana keadaan di Jepang pada saat itu?</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">M : Ketika saya mulai tinggal di Jepang pada tahun 1936, Jepang telah terarah pada militerisasi dari suasana liberal. Semua orang termasuk saya sendiri dituntut untuk menjadi berdisiplin. Di asrama saya, para siswa dibagi dalam kelompok, lalu diberi <i>toban</i> (giliran tugas),seperti: Bagian Pemeras Susu, Bagian Pengedar Koran, Bagian Ternak Babi, Ayam, Kelinci, Bagian Pemeliharaan Kuda dan lain-lain. Toban termasuk bagian sekretariat kepala sekolah. Tidak ada seorang pun yang diistimewakan. Semua siswa mengerjakan apa yang diperintahkan. Ini yang namanya <i>Rosaku-kyoiku</i> (pendidikan bekerja), dan dari situ kita belajar disiplin dan rasa tanggung jawab. Untuk masak pun, kami yang mencari bahan bakarnya dengan menebang pohon-pohon pinus dan membantu juru masak di asrama. Di samping itu, ada juga bimbingan militer setiap hari 2 jam, lalu baru belajar. Beginilah kehidupan saya ketika itu. Dalam lingkungan begitu, saya belajar berbagai aspek sosial-budaya Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Apa yang paling mengejutkan di Jepang?</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">M : Saya terkejut terutama ketika masuk <i>ofuro</i> (tempat pemandian umum; red.) di Jepang, di mana pada saat mandi, orang banyak telanjang mandi bersama-sama. Pertama, saya agak kaku, tetapi lama-lama terbiasa dengan mandi bersama itu. Saya dapat menikmati air panas di <i>onsen</i> (pemandian air panas; red) yang dikelola dengan baik dan tertib, menarik bagi para pengunjung karena unsur-unsur medis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Khususnya pelajaran apa yang didapati di Jepang?</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">M : Ketika saya masih di Indonesia, saya selalu diingatkan sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, yaitu "<i>met den hoed in de hand, komt men door het ganse land</i>" yang artinya, selalu dengan memegang topi dan menempatkannya di dada sendiri menandakan sikap yang baik dan sopan. Di Jepang pun begini (Bapak Mariono duduk tegak; Red.), selalu ditegur "Harus taati tata krama". Kedua istilah dalam bahasa yang berbeda ini sama artinya, dan mempunyai makna universal, yaitu jika kita bersikap sopan santun, kita akan diterima oleh siapa pun dan di mana pun. Sampai saat ini, saya masih tetap memegang pelajaran tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Ada lagi yang paling berkesan dalam ingatan Bapak ?</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">M : Latihan <i>Kendo</i> pada musim dingin, yang dikenal dengan istilah <i>kangeiko</i>. Latihan mulai pukul 4 pagi. Ternyata air yang ditampung di baskom itu beku menjadi es. Kami memecah es dan menggosok-gosokkan badan dengan handuk setelah disirami air es itu, sehingga airnya menguap karena panas badan. Setelah itu baru berlatih kendo di dojo.<br />Selain itu, kami sering mendatangi kampung-kampung yang jauh untuk memperoleh makanan berupa ubi-ubian, sayuran, beras dan lain-lain sambil menarik troli, karena pada saat perang, sulit sekali mendapatkan makanan di kota. Orang Jepang pun melakukan hal yang sama karena seluruh bangsa Jepang pada saat itu mengalami kemiskinan. Kami, mahasiswa asing juga diperlakukan sama, tidak diistimewakan, mengalami nasib yang sama dengan bangsa Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Apa yang mengesankan pada masa itu adalah bagaimana orang Jepang memelihara barang-barang dengan baik, karena Jepang berada dalam kondisi miskin. Soal makanan, mereka membagi makanan bersama-sama dengan memotongnya kecil-kecil. Keadaan Jepang pada saat itu sama sekali berbeda dengan citra Jepang yang ditampilkan oleh kalangan muda zaman sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="FI"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Apa kesamaannya antara Jepang sekarang dan Jepang ketika Bapak Mariono berada di sana?</span> <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">M : Jepang adalah negara yang selalu mengamati perkembangan zaman dan berusaha supaya tidak ketinggalan. Jepang memiliki sudut pandang global dan juga kemampuan untuk mengikuti arus perkembangan zaman. Jepang saat ini telah memiliki ilmu teknologi yang jauh lebih berkembang dibandingkan masa lalu. Hal-hal seperti inilah yang patut kita tiru dan terapkan di Indonesia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="PT-BR"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">AJ : Apakah ada pesan kepada kaum muda Indonesia?</span> <o:p></o:p></span></p> <p>M : Kepada setiap mahasiswa yang berangkat ke Jepang, saya selalu mengingatkan seperti begini; manfaatkanlah waktumu dari pagi sampai malam untuk belajar tentang Jepang, janganlah bersedih hati meski ada pengalaman pahit, hadapilah dengan tulus dan ikhlas kesulitan-kesulitan itu untuk menjalani hidup, karena untuk itulah kamu diberi kesempatan untuk belajar di Jepang.<o:p></o:p></p> <p><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Rela mengemban tugas kehidupan,<br />betapapun tugas itu tidak menyenangkan, pahit, sulit dan kurang bermakna.<br />Jadilah orang yang paling dulu melakukannya, dan lakukan dengan senyum.<br />(DR. Kuniyoshi Obara)</span><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="">Sayang sekali kami tidak dapat mengemukakan semua pengalaman Bapak Mariono yang sangat menarik. Dari pembincangan dengan Bapak Mariono yang mempraktekkan tradisi kebajikan Jepang yang luhur, kami orang Jepang pun dapat belajar tentang banyak hal. Semoga para pembaca memperoleh pengertian tentang Jepang masa lampau yang sedikit berbeda dengan Jepang sekarang.<br /><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: http://www.id.emb</span><span style="font-size:10;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >-japan.go.jp/aj309_02.html</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-44510487720381323152007-11-02T13:49:00.000+07:002007-11-02T14:39:54.698+07:00Sopan santun bangsa JepangBangsa Jepang adalah bangsa yang sangat sopan dan perasa sehingga etika adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka tidak mengharapkan orang-orang luar negeri untuk mengikuti kebiasaan mereka seratus persen, tetapi usaha untuk mengikuti tata-krama Jepang akan sangat dihargai.<br /><p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI"> Dengan keramahan dan sopan santun yang dimiliki oleh orang Indonesia, serta panduan dibawah ini diharapkan tidak terjadi penyimpangan yang terlampau jauh.<br /><br /><b>MEMBUNGKUK :</b><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Meskipun mengucapkan salam sambil membungkuk adalah hal yang amat sering kita temui diantara orang-orang Jepang, tapi bagi orang luar negeri, jabatan tangan waktu berkenalan juga sering digunakan, diikuti dengan anggukan yang sopan. </span>Sikap semakin membungkuk menunjukkan derajat hormat seseorang. <o:p></o:p></p> <table border="0" width="100%" style="font-family:georgia;"> <tbody><tr> <td> <div align="center"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/01.gif" height="120" width="200" /></span></div> </td> </tr> </tbody></table> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"> <b>KARTU NAMA :<br /> </b><br />Berkenalan dengan orang Jepang sering dimulai dengan saling bertukar kartu nama, terutama bagi bisnismen. Dalam kartu nama biasanya tercantum nama, posisi dan alamat. Waktu menerima kartu nama pada pertemuan formil, pelajarilah secara seksama kartu nama yang diterima dan letakkanlah secara hati-hati diatas meja. Jangan sekali-sekali memberikan coretan pada kartu nama orang lain apa lagi memasukkannya ke kantong celana belakang. Ini adalah tindakan yang sangat merendahkan. </span></p> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b>HADIAH :<br /></b><br />Dalam kehidupan sosial bangsa Jepang, memberi dan menerima hadiah adalah bagian yang penting. Hadiah biasanya tidak langsung dibuka dihadapan pemberi hadiah. Kesempatan-kesempatan dimana kita harus memberikan hadiah adalah : </span></p> <ol style="font-family:georgia;"><li> <p align="left"><span style="font-size:100%;"> Pada akhir tahun yang disebut "Oseibo" dan Bulan Juli yang disebut "Ochugen" pada saat festival Bon. (Hadiah diberikan kepada orang-orang yang telah banyak membantu atau yang kita hormati.) </span> </p></li><li> <p align="left"><span style="font-size:100%;"> Sewaktu berkunjung ke rumah seseorang. </span> </p></li><li> <p align="left"><span style="font-size:100%;"> Membalas hadiah yang sudah kita terima sebelumnya. Hadiah bisa berupa: Makanan hasil utama dari daerah tertentu, atau minuman keras dengan kwalitas baik dan mahal.</span> </p></li></ol> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"> <b>CARA DUDUK :<br /></b><br />Dalam ruangan tatami biasanya tidak terdapat kursi atau bangku. Tata-krama Jepang mengharuskan pria/wanita duduk dengan kaki dilipat dalam suasana formil. Setelah beberapa saat, bila kaki kita sudah terasa kesemutan, wanita dapat duduk menyamping dan pria dapat duduk bersila. Meluruskan kedua kaki adalah tindakan informil. </span></p> <table border="0" width="100%" style="font-family:georgia;"> <tbody><tr> <td> <div align="right"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/04.gif" height="125" width="100" /></span></div> </td> <td> <div align="center"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/03.gif" height="122" width="100" /></span></div> </td> <td> <div align="left"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/02.gif" height="126" width="100" /></span></div> </td> </tr> </tbody></table> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b>MASKER :<br /> </b><br />Gunakanlah masker waktu terserang influensa, supaya tidak menularkan penyakit itu kepada orang lain. Sebab itu di jalan-jalan akan sering kita temukan orang-orang Jepang yang bermasker. </span></p> <table border="0" width="100%" style="font-family:georgia;"> <tbody><tr> <td> <div align="center"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/05.gif" height="153" width="130" /></span></div> </td> </tr> </tbody></table> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b>APARTEMENT :<br /> </b><br />Jangan membayangkan apartemen mewah seperti yang banyak terdapat di Jakarta dengan kolam renang, pusat kebugaran atau lapangan tenis di apaato Jepang. Apaato di Jepang biasanya terbuat dari kayu. Kondisi yang lebih baik dari apaato disebut mansion dengan bangunan yang lebih kokoh terbuat dari tembok. Tapi disinipun tetap tanpa kolam renang atau fasilitas mewah lainnya. </span></p> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b>BERKUNJUNG :<br /></b><br />Bila tuan rumah hanya mengundang satu orang saja, maka sebaiknya tidak mengajak teman waktu berkunjung. Bawalah sekedar oleh-oleh, ketuklah pintu tidak lebih dari 2 X, kalau tidak terdengar ulangi sekali lagi. Karena ketukan yang bertubi-tubi sangatlah mengganggu. Sebelum masuk rumah, biasanya tamu akan ditawari sandal. Gunakan dengan kaki kita yang berkaus kaki atau stoking. Gantilah sandal dengan sandal khusus yang digunakan di toilet bila kita ke toilet. Tinggalkan sepatu yang kita pakai dalam keadaan terjejer rapi, dan untuk pelayanan kepada tamu biasanya nyonya rumah akan merapikan dan letak sepatu kita menghadap ke luar rumah agar kita dapat segera menggunakannya kembali saat meninggalkan rumah. </span></p> <table border="0" width="100%" style="font-family:georgia;"> <tbody><tr> <td height="137"> <div align="center"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/06.gif" height="133" width="200" /></span></div> </td> </tr> </tbody></table> <p align="left" style="font-family:georgia;"><span style="font-size:100%;"><b>TOILET :<br /> </b><br />Toilet di Jepang biasanya tidak menjadi satu dengan kamar mandi. Ada dua jenis toilet di Jepang yaitu jenis duduk dan jenis jongkok. Apapun jenisnya tidak tersedia gayung ataupun ember untuk menyiram di dalam toilet. Gunakanlah kertas toilet yang tersedia untuk membersihkan diri, sehingga tidak membasahi toilet yang biasanya selalu dalam keadaan kering. Yang agak menakutkan bagi orang asing adalah toilet yang berteknologi tinggi seperti dalam gambar.</span></p> <table border="0" width="100%" style="font-family:georgia;"> <tbody><tr> <td height="137"> <div align="center"><span style="font-size:100%;"><img src="http://www.gakushudo.com/edisi_2/images/07.gif" height="163" width="200" /></span></div></td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Sumber: http://www.gakushudo.com/edisi_2/sept-etika.htm</span></span><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-71269479685011922072007-11-02T13:47:00.000+07:002007-11-02T13:48:34.636+07:00Belajar dari Jepang<p class="MsoNormal"><span style="" lang="FI">Jepang nampaknya bisa dijadikan contoh tentang bagaimana upaya penyerapan pola pikir dan cara hidup bangsa lain bisa menjadi titik tolak perubahan bangsa.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Dimulai dengan Restorasi Meiji (1867 – 1912) yang sangat terkenal, Jepang akhirnya berubah pesat menjadi salah satu kekuatan dunia. Sebelum itu, Jepang adalah negara tertutup yang membatasi hubungannya dengan bangsa lain. Amerika Serikat bahkan harus mengirimkan delegasi sebanyak 2 kali untuk meminta Jepang membuka hubungan dengan negara tersebut. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Bangsa Jepang menjadikan dirinya sebagai penyerap pola pikir dan cara hidup bangsa Barat. Bahkan karena proses semacam itu ada yang menyebut Jepang sebagai murid bangsa Barat. Namun terbukti langkah itu mampu membawa Jepang menjadi negara dengan kekuatan militer dan ekonomi yang patut diperhitungkan. Jepang yang sebelumnya tabu dalam soal politik dalam negeri, kemudian juga mengijinkan berdirinya <i>Seiyukai Party</i> (Partai Liberal) dan <i>Minseito Party</i> (Partai Progresif)<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: black;" lang="FI">Untuk membangun bangsa menuju ke arah yang lebih baik, rakyat Jepang percaya bahwa mereka membutuhkan generasi yang lebih pandai. </span><span style="color: rgb(204, 0, 0);" lang="FI">Karena itulah, pendidikan merupakan pilar utama yang harus ditegakkan sebelum melaju ke bidang-bidang yang lain.</span><span style="" lang="FI"> Jepang pun pada masa itu kemudian menyusun gerakan <i>Bummeikaika</i>, atau gerakan memperadabkan bangsa Jepang. Gerakan tersebut dilaksanakan dengan pembaharuan pendidikan, terutama mendorong bangsa Jepang untuk meninggalkan feodalisme dan mengedepankan logika. Pembaharuan di bidang pendidikan tersebut dijalankan secara bersamaan dengan upaya melestarikan nilai-nilai tradisional, terutama nilai keagamaan. Terbukti kemudian, Jepang menjadi bangsa yang bergerak jauh ke depan tetapi tetap menginjak budayanya sendiri. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Langkah Jepang dengan menjadikan dirinya sebagai murid bangsa lain adalah langkah yang tepat. Bagaimanapun, selalu diperlukan model panutan bagi siapapun yang akan menuju ke arah tertentu. Jepang telah memilih dengan tepat apa yang mereka anut dan apa yang mereka ambil untuk kemajuan bangsanya. Tidak mengherankan jika kurang dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji dimulai, Jepang berubah dari rumput pegunungan yang tenang tak dikenal menjadi pemimpin besar di kawasan Asia Tenggara. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Bangsa Indonesia pun memerlukan model anutan jika ingin melakukan perubahan. Model anutan yang dimaksud kini jauh lebih banyak dan lebih beragam. Sisi positif bangsa manapun dapat diambil dan diaplikasikan dengan tetap menyaringnya agar budaya dan kearifan lokal Indonesia tidak terdesak. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Bertahun-tahun Indonesia mencoba mentransfer teknologi otomotif di Jepang dan perlahan-lahan kini menuai hasil. Namun pada akhirnya bangsa Indonesia lebih cenderung menjadi pasar produk otomotif Jepang saja, dari pada mencoba mandiri memproduksi produk otomotif. Transfer teknologi memang dilakukan, tetapi hal itu tidak dilakukan bersama dengan transfer kesadaran untuk membaca, tekad merubah nasib menjadi lebih baik, rajin bekerja, kegigihan dan semangat yang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: rgb(204, 0, 0);" lang="FI">Disinilah letak penting mengapa transfer pola pikir dan cara hidup itu menjadi penting. </span><span style="" lang="FI">Untuk menjadi bangsa yang maju dan besar, Indonesia tidak hanya membutuhkan penguasaan teknologi masa depan. Indonesia juga membutuhkan masyarakat dengan pola pikir dan cara hidup seperti masyarakat di negara maju. </span><span style="" lang="ES">Bahkan, pola pikir dan cara hidup itulah kunci membuka masa depan Indonesia seiring dengan penguasaan teknologi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Apa yang bisa ditransfer dari masyarakat luar negeri ke masyarakat Indonesia? Jawabannya sederhana, yaitu segala sesuatu yang berpotensi membawa masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih maju dan lebih baik. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Mahasiswa Indonesia di Jepang bisa mensosialisasikan budaya membaca di masyarakat. Mereka wajib mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga masyarakat Jepang tumbuh menjadi penggila buku. Jangan pula dilupakan untuk mengamati, bagaimana orang tua di Jepang mendidik anaknya gemar membaca, fasilitas dan kemudahan macam apa saja yang diberikan pemerintah untuk hal ini, dan bagaimana masyarakat mendukung budaya membaca agar berjalan dengan baik dan berkesinambungan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Tidak ada salahnya memang, apabila setelah pulang, mahasiswa Indonesia di Jepang bercerita tentang kereta api yang super cepat, penerapan teknologi maju di segala bidang atau robot yang mulai dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Namun, <span style="color: rgb(204, 0, 0);">mereka juga memiliki kewajiban untuk memaparkan sifat dan sikap orang seperti giat bekerja, gigih, hidup bersih dan teratur, mengutamakan pendidikan, terbuka terhadap hal-hal baru, inovatif dengan tetap melestarikan budaya warisan leluhurnya.</span><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Masyarakat Indonesia juga perlu tahu bagaimana anak-anak Jepang di sekolah, apa yang mereka lakukan, kebiasaan membaca mereka, bagaimana sikap guru terhadap murid atau fasilitas semacam apa saja yang seharusnya ada di sekolah. Tidak ketinggalan adalah bagaimana kebijakan yang diterapkan negara dalam bidang pendidikan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Begitu pula mahasiswa Indonesia yang sedang berada di Singapura. Mereka memiliki kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang budaya bersih, tertib dan teratur yang diterapkan di negara tersebut. Mahasiswa Indonesia di Korea Selatan mungkin saja mengamati proses pengorganisasian buruh sehingga menjadi kekuatan kaum pekerja yang tangguh. Sedangkan mereka yang belajar di Amerika Serikat, bisa menjadi agen perubahan untuk kehidupan berpolitik yang lebih transparan dengan masyarakat yang lebih berdaya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: rgb(51, 51, 255);" lang="ES">Intinya, mahasiswa Indonesia di luar negeri harus merubah paradigmanya tentang apa yang harus dibawa pulang. Jika di masa lalu dan kini, transfer yang dilakukan lebih pada hasilnya maka di masa datang transfer harus dilakukan lebih pada prosesnya.</span><span style="" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Contoh nyata dari hal itu adalah cerita mengenai robot di Jepang. Selama ini, masyarakat Indonesia hanya tahu bahwa robot telah menjadi produk yang tidak asing di masyarakat Jepang. Produk robot telah begitu canggih sehingga tidak lama lagi akan mampu menjalankan beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan manusia. Hasilnya, masyarakat Indonesia terkagum-kagum dan merasa semakin tidak mampu mengejar ketertinggalannya atas masyarakat Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="ES">Ke depan, cerita semacam itu harus lebih ditekankan pada prosesnya. Bagaimana sehingga Jepang mampu menguasai teknologi robot yang begitu canggih. Mahasiswa Indonesia di luar negeri harus mampu memaparkan latar belakang kenyataan itu. Misalnya bagaimana dukungan dunia usaha terhadap penelitian mahasiswa. Bagaimana peran pemerintah dan bagaimana penyelenggaraan kompetisi robot tahunan yang kian menantang. Lebih jauh lagi adalah bagaimana Jepang mengenal robot dan bagaimana mereka mengembangkan itu dari titik nol hingga pencapaian saat ini. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="PT-BR">Proses semacam itu harus diterapkan dalam semua sisi alih informasi. Tidak hanya bercerita tentang bagaimana bersihnya kereta api di Jepang, tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat, perusahaan kereta api dan pemerintah Jepang memperjuangkan semua itu. Tidak hanya bercerita tentang tingginya penguasaan teknologi di kalangan siswa SD di Jepang, tetapi tak ketinggalan pula cerita tentang sikap orang tua, guru, anggaran pemerintah di bidang pendidikan, peran dunia usaha dan peran televisi sebagai media hiburan dan pendidikan. <o:p></o:p></span></p> <p>Fungsi sebagai agen perubahan tersebut dapat dijalankan oleh mahasiswa <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region> dengan berbagai cara. Misalnya menulisnya di media <st1:city><st1:place>massa</st1:place></st1:City>, melaksanakannya di lingkungan terkecil dan menyampaikannya secara langsung ke masyarakat melalui berbagai forum baik itu besar maupun kecil. Namun yang terbaik dari semua proses itu tentu saja adalah dengan menerapkannya dalam lingkungan terkecil agar menjadi contoh nyata bagi masyarakat <st1:country-region><st1:place>Indonesia</st1:place></st1:country-region>.<o:p></o:p></p> <p><span style="" lang="SV">Perubahan memang tidak akan berjalan dengan cepat. Mungkin akan dibutuhkan waktu yang lama, bahkan sangat lama untuk bisa menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Justru karena itulah, proses perubahan itu harus dilakukan secepatnya. Dengan demikian, generasi masyarakat Indonesia setelah ini berkesempatan menjadi generasi yang lebih baik dengan kehidupan sosial yang lebih baik karena memiliki pola pikir dan cara hidup yang lebih baik pula.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Kita tunggu perubahan peran itu dilakukan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: rgb(102, 0, 204);" lang="FI"><span style="font-size:85%;">Sumber: <b>Nurhadi Sucahyo: </b>Alih Pola Pikir dan Cara Hidup Menuju Indonesia Yang Lebih Inovatif</span> </span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-75895374368331665052007-11-02T13:45:00.000+07:002007-11-02T13:47:10.103+07:00Etos Kerja bangsa Finlandia<p>Finlandia, salah satu negara di kawasan Skandinavia, selalu menjadi contoh menarik dalam hal penegakan hukum. <span style="" lang="SV">Angka kriminal hampir nol, begitu pula dengan tindak pidana korupsi.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Negara-negara yang hendak menekan angka korupsi suka datang ke negara yang dekat kutub ini untuk studi perbandingan. Para pendatang itu berusaha mengetahui kiat antikorupsi yang dikembangkan Finlandia. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit yang mampu seperti Finlandia karena yang diambil dari negara ini adalah undang-undang dan kiatnya, bukan spirit hidup bersih dan kulturnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Finlandia, negara seluas 338.145 kilometer persegi (hampir seluas Jerman), berpenduduk 5,2 juta jiwa. Produk utamanya adalah hasil hutan, kerajinan, dan beberapa jenis industri presisi, perangkat otomotif, dan telepon seluler.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), Finlandia dapat disebut sebagai negeri ”aneh”. Perdagangan berlangsung dalam ritme lamban. Jalan-jalan di kota, sebutlah misalnya di Helsinki (berpenduduk 520.000 jiwa), lengang. Hari Sabtu dan Minggu libur kerja. Pusat perbelanjaan buka antara jam 10.00-11.00 dan tutup antara pukul 19.00 sampai 21.00.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Pada hari Sabtu dan Minggu, suasana kota terasa sangat sepi. Di beberapa bagian kota bahkan seperti kuburan. Hanya beberapa trem yang lalu-lalang mengelilingi kota, tanpa penumpang. Bandara Internasional Helsinki juga sepi. Pukul 21.00 sebagian sudut bandara sudah senyap dan gelap. Sejumlah toko bahkan sudah tutup sejak pukul 19.00. Di pusat kota Helsinki terdapat beberapa kafe dan kelab malam yang baru dibuka sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, Helsinki termasuk ”kuper” dalam hal fasilitas hiburan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Namun, yang kemudian membuat banyak negara lain terkagum-kagum, di balik sepinya suasana, rileksnya penduduk negara itu bekerja, dan di balik tidak variatifnya sumber daya alam, pendapatan per kapita Finlandia mencapai 28.500 dollar AS, atau salah satu yang terbaik di dunia.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: green;" lang="FI">Apa yang menyebabkan negara ini kaya dan bersih? ”Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki.</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Menurut Hans, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. </span><span style="" lang="SV">Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu. Satu mobil pun kerap terasa berlebihan sebab transportasi umum di Helsinki cukup baik. Warga Helsinki terbiasa dalam kultur hidup tidak berlebihan. Sebagian di antara penduduk Finlandia dikenal religius. Rumah-rumah ibadah di sana tetap penuh meski salju turun amat lebat dan suhu mencapai minus 30 derajat Celsius.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: red;" lang="SV">Spirit hidup tidak berlebihan, tidak suka banyak kebutuhan, dan tidak menyukai barang bukan miliknya, inilah yang memberi makna pada negara Finlandia. Negeri itu mendekati bersih dari tindak kejahatan. Korupsi nyaris nihil.</span><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Finlandia adalah rakyat yang hidup bersih, korupsi hampir nol, ada supremasi hukum, menjadi faktor amat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi tumbuh dengan amat mulus. Semua proses produksi berjalan efisien. Finlandia terkesan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat, tetapi negaranya kaya-raya. Rakyat hidup dalam kecukupan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Apa yang terjadi di Finlandia sejalan dengan apa yang kerap disampaikan oleh tokoh besar hukum ekonomi Indonesia, Prof Dr Charles Himawan (alm).<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Teori Himawan, seperti yang kerap ia sampaikan dalam bukunya, Hukum sebagai Panglima, ialah perekonomian baru bisa bagus dan pertumbuhan ekonomi akan mencapai persentase tinggi apabila ada supremasi hukum. Supremasi hukum bisa muncul apabila semua aparat penegak hukum, terutama hakim, menjalankan fungsinya sebaik-baiknya. Hakim menunaikan tugasnya berdasarkan kaidah hukum, kearifan, dan nurani seorang hakim.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: green;" lang="SV">Himawan memberi contoh Singapura dan Amerika Serikat. Dua negara itu meraih kegemilangan ekonomi setelah secara konsisten melakukan penegakan hukum.</span><span style="" lang="SV"> Negara-negara maju Eropa dan Jepang juga meraih prestasi yang sama karena memberi perhatian besar pada aspek hukum.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Supremasi hukum dipastikan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi karena dapat membuang semua kolusi dan nepotisme. Supremasi hukum tidak membolehkan ada praktik penyuapan, uang semir, dan sebagainya. Ini membuat semua kegiatan ekonomi berjalan mulus. Tidak ada yang menjadikan tugasnya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Tegaknya hukum akan membuat semua perselisihan diselesaikan menurut aturan yang berlaku. Tidak ada intervensi atau upaya suap dari mana pun. Jika semua perselisihan ekonomi dapat diselesaikan secara baik oleh aparat hukum, maka hukum berwibawa. Semua bisnis dapat berjalan tanpa hambatan. Dan kalau semua bisnis dijalankan dengan amat baik, ekonomi pasti berjalan dalam kecepatan amat tinggi.<o:p></o:p></span></p> <p><strong><span style="" lang="SV">Beda pendekatan</span></strong><span style="" lang="SV"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Raksasa ekonomi dunia, Republik Rakyat China, termasuk di antara negara maju yang mati-matian melawan tindak kriminal dan korupsi. China-lah satu-satunya negara di dunia yang paling royal menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. China tidak main tebang pilih seperti Indonesia. Siapa pun yang terbukti bersalah dijatuhi vonis mati.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Semasa Zhu Rongji menjadi Perdana Menteri China, sikap keras terhadap koruptor bahkan lebih hebat. </span><span style="" lang="FI">Ia menyatakan, ”Sediakan 1.000 peti mati untuk koruptor kelas kakap. Pakai 999 peti mati, sisanya satu untuk saya. Kalau kelak saya terbukti korup, masukkan saya ke peti itu.”<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Zhu serius dengan pernyataannya itu. China menjadi negara yang sangat bengis bagi pencuri uang rakyat. China tidak peduli dengan kritik para pejuang hak asasi manusia bahwa hukuman mati sudah tidak zamannya lagi dan bahkan sangat melanggar peradaban. Akan tetapi, apakah korupsi di sana berhenti? Tidak.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Korupsi tetap subur, dan bersamaan dengan itu aparat hukum tetap dengan pekerjaannya, menjatuhkan hukuman mati terhadap siapa saja, termasuk pejabat teras, yang korupsi dalam jumlah besar. China selalu berpendapat bahwa sikap tegas tersebut pada saatnya akan menjerakan.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Akan tetapi, kalau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di China masih berlangsung, mengapa perekonomian China dapat melesat demikian cepat? Ini menarik dikaji, tetapi yang jelas, dengan hukum yang belum sepenuhnya mulus saja ekonomi bisa melesat seperti itu, bagaimana kalau penegakan hukum di China sudah sama dengan di Amerika Serikat, misalnya. Ekonomi China bisa terbang.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">China, seperti diketahui, bisa sukses di bidang ekonomi karena mempunyai fondasi yang amat kokoh. Kendati sempat hancur pada Revolusi Kebudayaan (1966-1976), China tetap mempunyai sumber daya manusia yang amat kuat. Rakyat China mempunyai kultur bisnis yang sangat mengakar sejak ribuan tahun lalu. Pemerintah China hanya butuh ”menyetel” tubuh rakyatnya, dan semua bakat rakyat langsung bangkit. </span><span style="" lang="FI">Rakyat China pun mempunyai kultur dan etos kerja yang amat kuat.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Dunia kemudian tercengang-cengang menyaksikan kebangkitan ekonomi China dalam rentang waktu yang amat cepat. Karena bisa dikatakan mulai dari titik nol pada tahun 1978. Kurang dari sepuluh tahun negara ini sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, hanya di bawah Amerika Serikat. Jangan lupa, negara ini mampu memberi makan kepada 1,2 miliar penduduknya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: green;" lang="FI">Soal etos sebagai faktor, diutarakan dengan jelas oleh seorang pembicara. Ia menyatakan, nilai-nilai budaya harus diterjemahkan menjadi etos supaya berfungsi. Diskusi mengenai etos masih tetap berjalan dalam kalangan ilmuwan sosial. Etos adalah perumusan tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan yang dijalankannya, dan tingkah laku untuk mencapai kepentingan tersebut. Etos pun akan menetapkan segala sesuatu yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau profesi.</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: red;" lang="FI">Etos tidak persis sama dengan etika yang merupakan teori tentang baik dan buruk. Etos lebih menekankan pada apa yang penting dan pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan. Etos yang dimaksud itulah agaknya yang menjadi kultur di China sehingga etos menjadi faktor sangat dominan dalam proses produksi di China.</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><strong><span style="" lang="FI">Mulai dari diri sendiri</span></strong><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Dua contoh tentang besarnya peran hukum dalam bidang ekonomi tersebut, Finlandia dan China, bisa menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia. Pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah konsistensi sebuah sikap. Hukum bukan menjadi kumpulan pasal peraturan, tetapi dijalankan secara konsisten.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Hukum hanya mengenal warna hitam dan putih, benar dan salah. Tidak ada warna abu-abu dan tidak ada merah atau hijau. Tidak ada setengah benar dan setengah salah. Hukum di sini selalu memandang semua orang sama di depan hukum.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: green;" lang="FI">Prinsip ini dipegang teguh sejak dari proses penyelidikan, penyidikan, peradilan, dan penjatuhan hukuman. Para aparat hukum bekerja dengan etos kerja yang jelas. Hakim dalam menjatuhkan putusan dipandang ”mewakili” Tuhan menghukum orang-orang yang bersalah</span><span style="" lang="FI">.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Dalam bayangan para penegak hukum dan para perancang undang-undang, Indonesia akan meraih sukses luar biasa kalau hukum ditegakkan. Tegaknya supremasi hukum, seperti dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, bukan saja berpengaruh kuat pada ketertiban serta pemerintah yang berwibawa, tetapi juga terutama menjadi penopang kinerja perekonomian negara.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Artinya, kalau hukum tegak, tidak ada uang semir, tidak ada KKN, ekonomi akan berjalan dengan amat baik. Semua perselisihan bisnis, perselisihan kontrak, wanprestasi, serta percekcokan debitor dan kreditor akan selesai melalui koridor institusi hukum. Tidak ada ”ekonomi biaya tinggi” di badan peradilan. Para pihak yang berselisih tidak perlu menyediakan anggaran khusus untuk uang semir bagi jaksa, polisi, panitera, dan hakim.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Para penegak hukum ini pun bisa leluasa menjalankan tugasnya karena mereka tidak perlu silau oleh penyuapan, koncoisme, dan kolusi. Hakim enteng saja menjalankan putusan sesuai dengan hati nurani dan hukum yang berlaku. Polisi atau jaksa enteng menyidik para tersangka dan saksi suatu perkara.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Aspek-aspek ini kelihatan sangat sederhana, tetapi pelaksanaannya sangat sulit. Buktinya, sejak tahun 1945 Indonesia sudah mencanangkan ”dunia peradilan bersih dari uang sogokan”, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Lihatlah, berapa banyak polisi, jaksa, dan hakim yang diadili. Yang diadili pun yang kebetulan ketahuan. </span><span style="" lang="SV">Bagi yang tidak ketahuan, ia bisa melenggang dengan uang haramnya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Dalam pemikiran kritis, persoalan ini hendaknya mulai dibenahi mulai hari ini agar ada target dan sasaran yang sangat jelas. Pada tahun 2010, misalnya, peradilan Indonesia sudah jauh lebih baik. Tahun 2015 bebas dari segala bentuk penyuapan dan ”biaya perkara”. Tahun 2030, supremasi hukum di Indonesia sudah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="IT">Dari mana memulainya? Dari diri sendiri, termasuk dari para pemimpin bangsa. Pemimpin yang tidak korup akan diikuti oleh menterinya, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, kepala desa, sampai seluruh perangkat negara. Pada saatnya semua orang malu untuk korupsi. Malu untuk merebut uang rakyat, uang yang bukan menjadi haknya.<o:p></o:p></span></p> <p>Faktor pemimpin selalu menjadi aspek menentukan. Kalau pemimpinnya baik, ia selalu menjadi teladan yang hebat. <span style="" lang="SV">Sebaliknya, kalau pemimpinnya lalim, sebutlah seperti Hitler dan Polpot, negara dan aparatnya akan sangat kejam. Jutaan orang mati percuma.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Kalau seorang pemimpin berani dan visioner, sebutlah seperti Deng Xiaoping, negara akan sangat berprestasi. Bayangkan, ia bisa menemukan sistem yang memadukan sistem komunis dan mekanisme pasar. Ia bisa membawa China yang hancur akibat revolusi kebudayaan menjadi negara pemegang supremasi ekonomi dunia.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Para pemimpin Indonesia pun bisa melakukannya. Kesempatan untuk memberi yang terbaik untuk rakyat masih terbuka lebar. Cobalah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);" lang="FI">Sumber: Abun Sanda, Hukum Tegak, Perekonomian Lancar</span></span><span style="" lang="FI"><span style="font-size:85%;"><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);">www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2662916.htm - 52k -</span></span> <o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-28154358838010007222007-11-02T13:43:00.000+07:002007-11-02T14:48:11.110+07:00Belajar dari Korea<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLkLL8pTK__KhoUIDPtDYL7LlugKHKA6iQ2adj2mizZWGoHaTU2ZQl6TH0mqGl28GPN6MqrU2yKTtd25ABveCSbamH7sEomEnGqK1fEs6K8DZwdN_W6NirOFNNvI4NhMPojLoT8k6Llbs/s1600-h/Korea.bmp"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjLkLL8pTK__KhoUIDPtDYL7LlugKHKA6iQ2adj2mizZWGoHaTU2ZQl6TH0mqGl28GPN6MqrU2yKTtd25ABveCSbamH7sEomEnGqK1fEs6K8DZwdN_W6NirOFNNvI4NhMPojLoT8k6Llbs/s320/Korea.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128130385209036210" border="0" /></a>Setiap kali berkunjung ke Korea (Selatan), saya selalu terpesona melihat negara yang kini menyebut diri sendiri sebagai 'dynamic Korea, the hub of Asia', Korea yang dinamis, pusat Asia. Setelah datang ke Seoul, ibu kota Korea pada Mei 2003 untuk menyajikan makalah dalam Konferensi Internasional Anti-Korupsi, pekan keempat November (22-27/11/2005), saya kembali ke Korea atas undangan Pemerintah Korea. Korea Foundation yang mengatur acara kunjungan tersebut menjadwalkan saya bertemu dengan rektor sejumlah perguruan tinggi top Korea, dan dengan pejabat-pejabat tinggi bidang kerja sama internasional Korea dan juga mengunjungi beberapa objek penting.<br /><p class="MsoNormal"><span style="" lang="SV">Sejauh menyangkut pembangunan ekonomi, Korea punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Secara tradisional, ekonomi Indonesia dan Korea sama-sama bertumpu pada pertanian; dan baru sejak akhir 1960-an dan 1970-an sama-sama berusaha melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri. Tetapi jelas, Korea Selatan sangat berhasil dalam pembangunan ekonomi dan industrinya, meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Berbagai produk Korea dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor semakin mengglobal. Keberhasilan ini membuat Korea mendapat julukan <b><i><span style="color: rgb(51, 51, 255);">'the miracle on the Hangang river',</span></i></b> keajaiban di Hangang, sungai terbesar di 'Negeri Ginseng' ini.<br /><br />Pada tahap awal pengembangan industri, sains, dan teknologi, Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang. Bahkan, Korea kini bertekad tidak hanya menjadi pusat industri dan teknologi terkemuka di dunia, tetapi juga tempat 'industri otak' untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Sampai akhir 2002 saja, Korea telah membelanjakan dana sekitar 15,1 miliar dolar AS untuk kepentingan litbang sains dan teknologi.<br /><br />Korea dan Indonesia pernah sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi yang melanda banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak 1997. Tetapi, jika Indonesia sampai sekarang ini masih bergulat dengan krisis ekonomi dengan berbagai dampak sosialnya, Korea sudah sepenuhnya mengalami economic recovery. Ekonomi Korea kembali booming dengan mengembangkan struktur ekonomi yang sesuai dengan advanced economy.<br /><br />Banyak faktor penting yang menyebabkan Korea bisa cepat pulih dari krisis ekonomi. <b><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Pertama</span></b> adalah <span style="color: rgb(51, 51, 255);">kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam berbagai level pemerintahan dan masyarakat.</span> Banyak orang Korea menilai, salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun yang berkuasa sejak 25 Februari, 2003 adalah kesuksesannya dalam gerakan antikorupsi dan penguatan good governance.<br /><br /><b><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Kedua </span></b><span style="color: rgb(51, 51, 255);">adalah nasionalisme ekonomi yang bernyala-nyala dalam masyarakat Korea.</span> Dominasi produk-produk Korea, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor, terlihat jelas di pasar. Di jalan raya, hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang adalah bikinan Korea sendiri; mobil impor hanya satu dua saja. Dalam pekan-pekan terakhir ini, bahkan demonstrasi marak di Korea memprotes pembukaan pasar Korea bagi beras impor, yang bisa dipastikan mengancam beras dalam negeri.<br /><br /><b><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Ketiga</span></b><span style="color: rgb(51, 51, 255);"> adalah 'etos kerja' dan disiplin sosial kuat yang dimiliki masyarakat Korea.</span> Orang-orang Korea terkenal sebagai pekerja keras dan tekun. Ini terlihat bukan hanya di Korea, tetapi juga di kalangan para perantau Korea, misalnya di Amerika Serikat, yang bergerak misalnya dalam penjualan greeneries, 'hijau-hijauan', yakni sayuran dan buah-buahan.<br /><br /><b><span style="color:red;">Kunci utama dari semua itu adalah pendidikan.</span></b> Lagi-lagi, sama dengan Indonesia, Korea baru dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih universal setelah kemerdekaan pada 1948 usai Perang Dunia II. Tetapi, jelas Pemerintah Korea memberikan perhatian sangat besar pada pendidikan; sejak 1953, misalnya, pemerintah sudah memberlakukan program wajib pendidikan dasar enam tahun. Wajib belajar sembilan tahun --ditambah tiga tahun pendidikan menengah pertama-- baru diperkenalkan pada 2002.<br /><br />Pendidikan tingkat universitas hanya mungkin jika siswa sekolah menengah atas lulus ujian akhir. Karena itu, masa di SMA merupakan masa yang sangat menentukan bagi masa depan remaja Korea. Gagal ujian akhir SMA berarti gagal masuk universitas; dan gagal masuk universitas berarti masa depan yang kurang cemerlang.<br /><br />Universitas-universitas Korea umumnya memiliki berbagai fasilitas jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi (PT) Indonesia. Karena itu, tidak heran kalau mereka dapat menjadi PT berkualitas tinggi. Sekali lagi, kalau Indonesia mau belajar dari Korea, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada pendidikan.<br /><br /></span><span style="color: rgb(102, 0, 204);"><span style="font-size:85%;">Sumber: Azyumardi Azra (Rektor UIN Jakarta-Dewan Pers Nasional)</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(102, 0, 204);"><o:p> </o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-11333195126967393112007-11-02T13:42:00.000+07:002007-11-02T13:43:05.737+07:00Etos Kerja Bangsa Jerman<p class="MsoNormal">Duabelas tahun periode Adolf Hitler merupakan aib bagi bangsa Jerman yang sebelumnya dikenal sebagai negara yang telah melahirkan filsuf-filsuf besar, penulis, komposer, dan ilmuwan setara Albert Einstein. Sisi gelap itu terus membayangi bangsa ini, hingga kini.<o:p></o:p></p> <p>”Mungkin akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu itu telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke, Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun 1944. ”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu dihadapkan dan diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa hidup normal,” katanya. ”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat. Saya selalu merasa malu dengan negara saya. Dan di sekolah semua keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi kami untuk merasa bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat tentang Jerman hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah negara yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.<o:p></o:p></p> <p>Berdasarkan survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat terendah di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000 responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional” (national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31 persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam kehidupan rakyat Jerman. Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah kejujuran dan integritas (81-83 persen).<o:p></o:p></p> <p>Adakah ini semua berkaitan dengan beban sejarah itu? ”Ya. Setelah perang dunia berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne Zepp, Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll Foundation. Zepp menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian dari identitas” bangsanya. Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali warga Jerman dihadapkan pada pertanyaan menyangkut perang dan perdamaian, isu <st1:country-region><st1:place>Israel</st1:place></st1:country-region> dan Yahudi, ataupun isu rasisme dan radikalisme.<o:p></o:p></p> <p>Generasi pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu. Prof Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari Friedrich-Meinecke Institut, Freie Universitat Berlin, mengenang betapa ia dan rekan segenerasinya sulit untuk terbebas dari ikatan ”keterlibatan” itu.<o:p></o:p></p> <p><span style="" lang="FI">”Saat itu saya masih mahasiswa. Pada sebuah pertemuan anti-fasisme di tahun 1970-an, saya mengajukan usul agar kita berbicara tentang generasi orangtua kita. Saya katakan bahwa ayah saya adalah kapten di militer Jerman (SS, Schutz-Staffel), lalu orang di sebelah saya mengatakan, oh ayah saya kolonel di situ, lalu ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya adalah pejabat penting dalam kepemimpinan Nazi, sampai akhirnya seorang politisi ternama dari Partai Hijau angkat bicara dan mengatakan, ayah saya adalah Albert Speer (arsitek yang dikagumi Hitler dan sejak 1933 membangun gedung-gedung representatif di Berlin, Munchen, dan Nuernberg—Red),” kata Wippermann.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">”Kesimpulannya, seluruh generasi kami adalah anti-fasis, namun mereka memiliki fascist relation. Ini mungkin sebuah kesalahan yang menjadi penyebab mengapa kita tidak terlalu sukses di tahun 1960-an untuk mengajari masyarakat bagaimana berhadapan dengan masa lalu,” katanya.<o:p></o:p></span></p> <p><strong><span style="" lang="FI">Proses panjang</span></strong><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Penerimaan terhadap aib di masa lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap. Usai PD II negeri ini hancur berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Belum lagi para pengungsi yang terusir dari kediamannya setelah wilayah Jerman dipangkas berdasarkan kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang tak memiliki pilihan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan berkonsentrasi penuh pada gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali ekonomi, kota-kota yang hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan mereka.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: blue;" lang="FI">”Rakyat Jerman harus bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas ini berkembang bahwa Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda harus menciptakan keajaiban ekonomi, dan seandainya Anda berhasil mungkin tetangga-tetangga Anda akan melupakan kejahatan yang telah Anda lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat Jerman saat itu telah membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan dengan kerja keras dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.</span><span style="" lang="FI"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="FI">Pihak Sekutu mengerahkan segala cara agar militerisme Jerman tidak bisa bangkit lagi, antara lain melalui ”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi lain mereka juga berhati-hati dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada komunisme jika perekonomian memburuk.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Perang Dingin pada akhirnya mengubah pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan melalui Marshall Plan atau Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS menganggap bahwa sebuah Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi dari sebuah ”Jerman yang stabil dan sejahtera”.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Marshall Plan telah ”berjasa” dalam hal mendepolitisasi industri, di mana industri lebih terfokus pada peningkatan produktivitas. Karyawan yang rela digaji rendah, tingkat aksi pemogokan yang rendah, dan menurunnya karakter militansi dalam tubuh asosiasi buruh, ikut mempercepat pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut psikologi ”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">”Jangan lupa, bangsa Jerman tidak bangkit dengan sendirinya. Selain ada Marshall Plan, Jerman juga memperoleh keuntungan dari Perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen, editor Asia-Pasifik surat kabar Die Tageszeitung.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Kesuksesan ekonomi menjadi faktor signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk komit terhadap nilai-nilai demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal parlemen atau pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah bangsa dan ketika kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30 sampai 40 tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">”<span style="color: blue;">Tujuan kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita belajar dari sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral dari identitas nasional kita,” lanjutnya.</span><o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Inilah hasil demokrasi yang sesungguhnya. Sebuah proses yang patut ditiru bangsa kita yang sangat mudah melupakan masa lalu.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="color: rgb(102, 0, 204);" lang="SV"><span style="font-size:85%;">Sumber: Kompas, Bangsa yang Melawan Pelupaan - <strong>Myrna Ratna</strong></span><o:p></o:p></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-27949248339321575172007-11-02T13:40:00.000+07:002007-11-02T14:49:49.629+07:00Etos Kerja dalam Sepincuk Nasi Pecel<p class="MsoNormal"><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">Untuk apakah kita hidup?</span><!--[if !supportLineBreakNewLine]--><br /><!--[endif]--></p> <p>Tanyakanlah ini kepada Mak Paenah yang tiap hari berjualan pecel di depan Gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) di Medan.</p> <p>Dalam usianya yang menurut pengakuannya-86 tahun, Mak Paenah masih setia mendorong- dorong kereta pecelnya demi mengumpulkan rupiah selembar demi selembar dari Rp 1.500 per pincuk (piring dari daun pisang) pecel jualannya itu. </p> <p>Gerobaknya cukup berat dengan dua roda becak yang sering kempis anginnya. Sebuah topi bambu lebar menemani tubuh ringkihnya menempuh jarak sekitar <st1:city><st1:place>lima</st1:place></st1:city> kilometer dari rumah cucunya di kawasan Glugur ke Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol melewati jalanan aspal yang terik dan ramai.</p> <p>Pernah suatu hari Mak Paenah tidak kunjung muncul pada jam makan siang, dan baru datang berjualan saat matahari sudah sangat condong ke barat.</p> <p>"Aku diserempet mobil. Iki lho awakku babak bundas (lihat tubuhku babak belur)," katanya dalam ujaran yang selalu tercampur dengan bahasa Jawa kasar.</p> <p>Setiap hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah tiba menggelar dagangannya. Dan, beberapa jam kemudian, ia pulang lagi dengan kereta dorongnya yang sudah kosong dan segepok uang di dalam tas pinggang yang terbuat dari kain batik lusuh. </p> <p>Soal berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak Paenah sering tidak tahu. Ia memang tidak peduli dapat uang berapa hari itu. Bahkan, sering ada beberapa lembar ribuan tercecer di bawah kakinya, yang lalu diambilkan rang lain. Yang ia tahu pasti, ia tidaklah pernah rugi.</p> <p>"Bathi kuwi ora usah okeh-okeh. <span style="" lang="SV">Serakah jenenge... (kalau untung itu jangan besar-besar. Serakah namanya...)," katanya pelan. Tidak serakah ini pula yang membuat Mak Paenah cenderung royal dalam memberi nasi pecel saat dagangannya hampir habis. Kata orang, kalau beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang ia mau pulang. Pasti dapat pecel lebih banyak. Dengan keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak Paenah membelikan rokok untuk orang lain yang tampak memerlukannya. Andi Lubis, fotografer harian Analisa, Medan, yang perokok berat, beberapa kali diberi rokok oleh Mak Paenah kalau tampak sedang bengong dan tidak merokok. "Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe duwit tho? (Ini rokok. Kamu sedang tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah tanpa basa-basi. Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk menyenangkan orang lain. Tidak jarang ia memberikan pecelnya secara gratis kalau ada yang lapar, tapi tak punya uang. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">*** <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">JADI, untuk apa Mak Paenah berjualan pecel dalam usianya yang sudah sangat senja itu? Di kota-kota besar, orang-orang yang jauh lebih muda darinya sudah santai-santai di rumah menikmati uang pensiun bersama cucu-cucu.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">"Aku bekerja karena memang manusia itu harus bekerja. Aku sakit kalau nganggur. Menganggur adalah bersahabat dengan setan. Kerja selalu ada kalau kita mau mencarinya. Jangan mau menganggur, sampai kita mati," katanya seakan ahli filsafat.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Banyak yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar telah berusia 86 tahun. Tapi, mendengar beberapa cerita yang sering diungkapkannya sambil meracik pecel, apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh itu, kita yakin bahwa setidaknya ia sudah berusia di atas 80 tahun.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Ia pernah bercerita bagaimana suaminya yang tentara terbunuh dalam perang kemerdekaan, sementara saat itu anak sulungnya kira-kira berusia belasan tahun. Begitu suaminya meninggal, rasa tanggung jawab untuk menghidupi ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, ini berjualan pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk meminta belas kasihan dari orang lain. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">"Aku hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan dengan pecel ini. Sudah puluhan tahun tanganku bikin sambel pecel. Sampai kapalan mengulek... he-he-he...," kata Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya yang sudah ompong.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Mengapa tidak menikah lagi setelah menjanda waktu itu ?<br />"Sopo sing gelem karo rondo bakul pecel...lethek...he-he-he... (siapa yang mau dengan janda penjual pecel yang lusuh dan bau)," katanya terkekeh.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Tapi, setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa uangnya ? "Keuntungan penjualan, tiap hari saya simpan di bawah bantal. Uang itu saya pakai untuk menolong orang kalau ada yang membutuhkannya. Siapa tahu, kan?" katanya dengan arif.<br />Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong tetangganya yang mendadak membutuhkan uang. Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba Mak Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu meminjaminya uang dalam jumlah cukup besar, tanpa bunga pula.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="" lang="SV">Setiap pagi, Mak Paenah mengambil Rp 150.000 dari simpanannya untuk berbelanja di Pasar Glugur. Pukul 04.00, ia sudah bangun dan pada pukul 06.00 ia sudah mulai memasak bumbu-bumbu pecel dan juga sayurannya. "Bangun pagi membuat saya sehat. Tiap hari berbelanja dan menawar juga membuat saya tidak pikun," paparnya. Dalam usianya itu, Mak Paenah sering membuat kagum orang dengan kemampuannya menghitung dengan cepat. "Meja ini habis sembilan pincuk. Jadi, tiga belas ribu lima ratus," katanya suatu kali saat menagih kepada para wartawan yang makan. <o:p></o:p></span></p> <p>*** </p> <p>PADA bulan Juni dan Juli 2002 , para wartawan <st1:city><st1:place>Medan</st1:place></st1:city> yang biasa mangkal di depan Gedung DPRD kehilangan Mak Paenah. Dua bulan lebih wanita tua itu menghilang. Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah sakit, atau bahkan sudah meninggal dunia. Dan, Mak Paenah baru muncul lagi pada akhir Juli. Ternyata, Mak Paenah pulang ke Blitar menengok sanak saudaranya. Menurut dia, semua yang dikenalnya sudah meninggal. "Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli oleh-oleh. Tapi, aku senang bisa melihat Blitar lagi. Sudah sangat berubah. Aku sama sekali tidak bisa mengenali tempat mana pun di <st1:city><st1:place>sana</st1:place></st1:city>," katanya dengan mata berbinar-binar saat membicarakan <st1:city><st1:place>kota</st1:place></st1:city> yang ditinggalkannya pada awal tahun 1940-an ini. </p> <p>Ketika diingatkan bahwa para wartawan kuatir dengan kepergiannya selama dua bulan itu, Mak Paenah justru marah.<br />"Kamu yang muda-muda kok tidak punya perasaan. <st1:state><st1:place>Kan</st1:place></st1:state>, semua tahu di mana rumahku. Kalau kuatir, ya mbok menengok ke rumah. Coba, bagaimana kalau saya sakit betulan? Ya, <st1:state><st1:place>kan</st1:place></st1:state>? " kata Mak Paenah.</p> <p>Namun, sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang kembali. Setelah ditengok ke rumahnya, ternyata ia tidak kurang suatu apa. "Aku pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda yang lebih perlu uang," katanya yang kemudian menimbulkan tanda tanya. Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan di Lapangan Merdeka. </p> <p>Menurut dia, di depan Gedung DPRD itu sudah muncul seorang saingan. Seorang penjual pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha menyainginya dalam merebut hati pembeli. "Aku tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang mengatur. Biarlah aku yang sudah tua ini pindah," katanya tanpa emosi.</p> <p><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: Kompas, tahun 2002</span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-59152257317115185702007-11-02T13:33:00.000+07:002007-11-02T13:39:16.047+07:00<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTGCG4byMo4jUD_FX06uMba6RnLXaUxAI1Vb6nja7oZ-8aCF5rEIF-EHYh7AMGEV_M_oIHUvZztCgXckKlkUAW_TCPNkn1QjwRcGuqkI8DqFchNecwG900rgXSDQzHDHMs0jy7rdyXU-E/s1600-h/picture1.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTGCG4byMo4jUD_FX06uMba6RnLXaUxAI1Vb6nja7oZ-8aCF5rEIF-EHYh7AMGEV_M_oIHUvZztCgXckKlkUAW_TCPNkn1QjwRcGuqkI8DqFchNecwG900rgXSDQzHDHMs0jy7rdyXU-E/s320/picture1.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128127980027350402" border="0" /></a>Ayah saya, Hidayat, meninggal pada saat saya masih duduk di bangku TK (tahun 1965). Sebagai seorang ibu dengan empat orang anak (putra semua) tentu saja meninggalnya ayah merupakan pukulan berat bagi ibu karena tugas membesarkan anak untuk menjadi “orang” merupakan tantangan berat bagi ibu.<o:p></o:p> <p class="MsoNormal" style=""><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8GLm-9HYXH6lCCfJSXb2lm2cXwhHo-h3L16ypEeZs0zONOgYiGqF4JCJxZNhwi4Vy5y-iGEd2sF2xcqDGRUT2_XsVKMQ4ngOntoS8A2c59Ocem5zHZ9i_qJjx8I9DCkRjxkC63kv_MCk/s1600-h/picture1.jpg"><span style="text-decoration: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128099052992980386" spid="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" alt="" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8GLm-9HYXH6lCCfJSXb2lm2cXwhHo-h3L16ypEeZs0zONOgYiGqF4JCJxZNhwi4Vy5y-iGEd2sF2xcqDGRUT2_XsVKMQ4ngOntoS8A2c59Ocem5zHZ9i_qJjx8I9DCkRjxkC63kv_MCk/s1600-h/picture1.jpg" style="'width:112.5pt;height:127.5pt'" button="t"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image001.jpg" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8GLm-9HYXH6lCCfJSXb2lm2cXwhHo-h3L16ypEeZs0zONOgYiGqF4JCJxZNhwi4Vy5y-iGEd2sF2xcqDGRUT2_XsVKMQ4ngOntoS8A2c59Ocem5zHZ9i_qJjx8I9DCkRjxkC63kv_MCk/s320/picture1.jpg"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""><!-- <story> //--></span><!--[endif]--></span></a>Ibu yang praktis saat itu tidak bekerja, yang berarti tidak punya pendapatan keuangan sepeninggalan ayah. Beliau membanting tulang mencari cara mendapatkan pendapatan. Dengan modal ketrampilan apa adanya akhirnya ibu memutuskan untuk mendapatkan pendapatan keluarga dengan menjahit. Saya masih ingat sekali, pelanggan pertama ibu adalah baju untuk teman sebaya saya, yang juga tetangga yaitu Ria. Seingat saya bahan kainnya warna merah dengan motif bebek warna kuning.<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRzVm_U-G6A8kl6BRLIJknzbD6E0idMqrnt9wifJTCwwIme8QBKVv228PGXztLKtkz0ml_ZHo55X8lT0Vrr8C3lZ50-yDcLG2TMK-Wh4xCFJZSqA7jzE-NTlH1AO7j3NZz7d34BNKpX5A/s1600-h/mesin_jahit_camel.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRzVm_U-G6A8kl6BRLIJknzbD6E0idMqrnt9wifJTCwwIme8QBKVv228PGXztLKtkz0ml_ZHo55X8lT0Vrr8C3lZ50-yDcLG2TMK-Wh4xCFJZSqA7jzE-NTlH1AO7j3NZz7d34BNKpX5A/s320/mesin_jahit_camel.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128128469653622178" border="0" /></a> <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="">Yang sangat menarik dari kegiatan menjahit ibu adalah etos kerja yang kuat se<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBeSObsRbXZNofoNvROEZceR0D5NCLRnZt47CU36nsi0AANKXJt2rL-_uJNp6mSidSWOQHykLzB-FLgDN-gqpVyY_Jv6sKY19DcNqEx8lmm4HhxeKPKyC6AJPXU9qTlXjOFhfz-c6XwHs/s1600-h/mesin_jahit_2.JPG"><span style="text-decoration: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128099284921214386" spid="_x0000_i1026" type="#_x0000_t75" alt="" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBeSObsRbXZNofoNvROEZceR0D5NCLRnZt47CU36nsi0AANKXJt2rL-_uJNp6mSidSWOQHykLzB-FLgDN-gqpVyY_Jv6sKY19DcNqEx8lmm4HhxeKPKyC6AJPXU9qTlXjOFhfz-c6XwHs/s1600-h/mesin_jahit_2.JPG" style="'width:156pt;height:117pt'" button="t"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image002.jpg" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiBeSObsRbXZNofoNvROEZceR0D5NCLRnZt47CU36nsi0AANKXJt2rL-_uJNp6mSidSWOQHykLzB-FLgDN-gqpVyY_Jv6sKY19DcNqEx8lmm4HhxeKPKyC6AJPXU9qTlXjOFhfz-c6XwHs/s320/mesin_jahit_2.JPG"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span></a>kali yang ditunjukkan ibu. <span style="" lang="SV">Beliau menjahit pagi, siang dan malam bahkan hingga sampai dini hari jam 3 atau jam 4 malam. </span><span style="" lang="SV">Pada mulanya beliau menggunakan tenaga kaki (genjot) namun s</span><span style="" lang="SV">etelah mendapatkan beberapa order jahitan, ibu membeli sebuah dinamo. Dengan menggunakan dinamo maka mesin jahit ibu yang bermerek <strong>CAMEL</strong> itu bekerja semakin cepat dalam proses produksinya. Saya masih in</span><span style="" lang="SV">gat sekali waktu itu tugas saya adalah memasukkan benang ke jarum mesin jahit. Biasanya kalau pesanan sudah jadi, tugas saya adalah </span><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG7dNNRruYXGB6Pd5edoNKtY0t-HASOUaocHRQ3PZK6LCIHxQg_YD78SAbnkMUuXXkDjC-9BzZ5z6qM0id4VFbZTXtTdeNBV6qLIsVip-IaD-7cde1HsmToIjHIe40W6EtnlqNmtbp0NE/s1600-h/mesin_jahit_2.JPG"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhG7dNNRruYXGB6Pd5edoNKtY0t-HASOUaocHRQ3PZK6LCIHxQg_YD78SAbnkMUuXXkDjC-9BzZ5z6qM0id4VFbZTXtTdeNBV6qLIsVip-IaD-7cde1HsmToIjHIe40W6EtnlqNmtbp0NE/s320/mesin_jahit_2.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128128246315322770" border="0" /></a><span style="" lang="SV">mengantar baju itu ke rumah pelanggan. Di rumah, kami tidak memiliki sambungan telepon yang pada saat itu termasuk b</span><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnE6p6cphOf0fhpay6G6lVKdyCvEUG85KEb5oaTS6Jg961AoIGIjon-xQ18uhn4WATPg5Ooj57NsqhRMdwO5H5k1pb8pmoUOjKS221qb00PR-p_clDT8_XpUMKESiS5ycAxMGZA8r0X7o/s1600-h/mesin_jahit_camel.JPG"><span style="text-decoration: none;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="BLOGGER_PHOTO_ID_5128099649993434562" spid="_x0000_i1027" type="#_x0000_t75" alt="" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnE6p6cphOf0fhpay6G6lVKdyCvEUG85KEb5oaTS6Jg961AoIGIjon-xQ18uhn4WATPg5Ooj57NsqhRMdwO5H5k1pb8pmoUOjKS221qb00PR-p_clDT8_XpUMKESiS5ycAxMGZA8r0X7o/s1600-h/mesin_jahit_camel.JPG" style="'width:158.25pt;height:119.25pt'" button="t"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\user\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image003.jpg" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhnE6p6cphOf0fhpay6G6lVKdyCvEUG85KEb5oaTS6Jg961AoIGIjon-xQ18uhn4WATPg5Ooj57NsqhRMdwO5H5k1pb8pmoUOjKS221qb00PR-p_clDT8_XpUMKESiS5ycAxMGZA8r0X7o/s320/mesin_jahit_camel.JPG"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span></a><span style="" lang="SV">arang sangat mewah. Saya mengantar baju yang sudah jadi dengan menggunakan sepeda merek Gazelle peninggalan ayah. Pada saat proses menjahit, saya mendapat tugas membeli retsleting ataupun kancing sesuai dengan warna bahan di toko POPULAR yang terletak di Pasar Besar. Hampir setiap sore saya mengayuh sepeda melakukan dua kegiatan: mengantar baju (dan menerima ongkos jahit) dan membeli kebutuhan material.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="SV">Ibu juga tidak lupa selalu menyisihkan uang untuk saya guna membeli kaset musik rock kesukaan</span><a href="http://value.blogs.friendster.com/.shared/image.html?/photos/uncategorized/mesin_jahit_2.JPG"><span style="text-decoration: none;"> </span></a><span style="" lang="SV">saya saat itu seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Yes, Kansas dan Jethro Tull. Pada saat jahitan semakin banyak, ibu memutuskan membeli mesin obras merek <strong>Pegasus</strong>. Tugas saya bertambah: membantu ibu mengobras baju yang akan dijahit. Saya senang sekali melihat hasil obrasan yang berupa rajutan benang yang tetata sangat rapi. Demikianlah ritme hidup kami pada waktu itu. Tanpa saya sadari, ibu telah menciptakan “pengalaman” kepada saya yaitu etos kerja yang luar biasa dan disiplin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="" lang="SV">Etos kerja ibu memberikan hasil yang menggembirakan. Dengan usaha menjahit, ibu bisa menyekolahkan kakak saya ke jenjang perguruan tinggi. Ini prestasi yang luar biasa: seorang ibu yang menjahit bisa mencetak seorang Sarjana Ekonomi! Saya semakin “yakin” bahwa dengan memiliki etos kerja yang kuat, insya Allah pasti berhasil. </span>Cita-cita ibu menyekolahkan anak menjadi sarjana, tercapai jua.<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;">Keyakinan saya terhadap etos kerja ibu yang membuahkan hasil telah mendorong saya untuk berperilaku mengikuti apa yang dilakukan ibu. Saya banting tulang belajar siang malam tanpa ada yang menyuruh. Saya tidak percaya lagi yang namanya bahwa kesuksesan hanya tergantung dari kepandaian. Bagi saya yang penting adalah TEKUN. Dengan tekun, orang dengan IQ pas-pasan pun pasti akan berhasil. Saya saat itu memiliki semboyan: “ketekunan membawa kesuksesan”. Perilaku bekajar keras semakin hari semakin saya gencarkan sehingga saya bisa menyelesaikan sekolah sampai dengan SMA dengan prestasi baik. Semboyan tersebut juga yang akhirnya membawa saya bisa diterima di program tanpa tes di Institut Pertanian <st1:city><st1:place>Bogor</st1:place></st1:city> (IPB). <span style="" lang="SV">Dan itu semua dibuktikan lagi dengan lolosnya saya mengikuti ujian masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1979. Semakin terbuktilah bahwa apa yang dicontohkan ibu dengan disiplin dan semangatnya menjahit telah memacu saya bekerja keras. Akhirnya dengan perilaku yang konsisten, jadilah saya seperti ini. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Saya yang sangat menikmati kehidupan saya saat ini dan bersyukur atas nikmat Allah SWT. Perilaku saya tersebut telah membuahkan hasil dengan jadinya saya seperti saat ini. Terima kasih, ibunda tercinta.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style=""><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber:<em>Gatot Widayanto Hidayat</em><i><br /></i>http://thevaluequest.wordpress.com/</span><o:p></o:p></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3545091417322446563.post-76934212805740030492007-11-02T13:31:00.000+07:002007-11-02T14:58:39.565+07:00Etos Kerja & Keunggulan Sebuah Bangsa<p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Majalah Asiaweek baru baru ini telah membuat ranking kota kota seluruh Asia, sekaligus juga statistik perekonomiannya berdasarkan "good governance" (pemerintahan yang baik).<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Alangkah sedihnya kita melihat Jakarta termasuk keenam dari bawah di antara 40 kota yang diteliti secara ilmiah berdasarkan 8 tolok ukur: Rule of Law, Transparansi, Responsif, Konsensus, Kemerataan, Efektif dan Efisiensi, Visi strategis.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Jepang merebut nomor 1 sampai 3: Tokio, Fukuoka dan Osaka.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Nomor wahid di Asia adalah Tokio, Fukuoka (Jepang), Osaka (Jepang), Singapura, Taipeh, Georgetown (Penang), Hongkong, Bandar Seri Begawan (Brunei), Kualalumpur, Beijing, demikianlah the best ten.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Tragis sekali Jakarta jatuh di nomor 35 dibawah Bangalore, Kathmandu, Chongging, Yangon, Chittagong.................<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Kota komunis Ho Chi Minh saja masih dapat nomor 23, Kuching no 11, Cebu City no14, Manila no 16, Davao City no 19.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam perekonomian kita pun paling meyedihkan: pertumbuhan GDP minus17.4%, cadangan devisa kecuali emas, minus$3.8 milyar.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam perbandingan GDP kita hampir sama dengan Filipina yang praktis tidak mempunyai sumber alamiah sekaya kita $3,520 dan GNP per kapitanya $1.203 sedangkan kita punya GDP $3750 tapi GNP per kapita hanya $981.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Myanmar saja masih punya GNP per kapita $753, Afghanistan yang tidak punya ekonomi masih $720, Srilangka $805, India dan RRC karena penduduknya masing masing hanya $387 dan $738.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">GDP per kapita nomor wahid adalah AS $30.025 disusul Singapura $28.235, Swiss $26.170, Hongkong $24.550, Kanada $23.125, Jepang $23.105, Prancis $22.520, Italia $21.815, Inggeris $20.755.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Yang paling tinggi GNP per kapitanya adalah: Swiss $36,857, Jepang $33.800, Singapura $31.900, AS $29.950. Suatu hal yang patut dikagumi, Singapura dapat mengatasi AS dan menyusul Jepang.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Yang paling rendah GNP perkapitanya: Afghanistan yang memang tidak punya ekonomi samasekali, $150, Nepal $225, Kamboja $270, Vietnam $280, Bangladesh $283, Nigeria $340, India $387.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Dalam persentase, pertumbuhan paling tinggi secara ironis dicapai oleh Vietnam, 8.8%, RRC 7.6%, Laos 7.2%, Bhutan 6.6%, Srilangka 6.3%, Afghanistan 6%.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Yang paling parah adalah Indonesia minus17.4%, Malaysia -6.8%, PNG -6.5%, Thailand -6%.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;"><span style="" lang="SV">Betapa buruknya nasib kita di tengah bangsa bangsa di Asia ini, namun masih saja kita cakar cakaran, bunuh bunuhan, saling mendongkel, saling nangkring, dan KKN tetap merajalela menurut laporan BPKP kepada DPR sudah mencapai Rp1.7 trilyun dalam masa 6 bulan rejim Habibie ini. Dengan demikian tetap kita menyia nyiakan pinjaman baru dari IMF sedangkan seluruh dunia berebut minta pinjaman IMF yang semakin sulit itu.<o:p></o:p></span></p> <p style="text-align: justify;">Bilakah kita akan mulai membangun kembali ekonomi yang sedah sekarat, 100 juta melarat, 20 juta kelaparan, situasi sosial semakin mendidih karena perekonomian semakin buruk terpuruk.</p> <p style="text-align: justify;">Pemilu yang merupakan satu satunya jalan untuk mengatasi krisis ekonosospol dewasa ini masih saja diundur undur, UU nya tetap mau digunakan untuk mempertahankan statuskuo melawan reformasi total.</p> <p style="text-align: justify;">Kita sudah mau masuk kedalam jurang yang tak ketahuan dalamnya (bottom-less pit) dan sejauh ini tidak ada pemimpin yang muncul untuk mengatasinya.</p> <p><o:p></o:p><span style="color: rgb(102, 0, 204);font-size:85%;" >Sumber: H.S. Hidayat Supangkat</span><span style="font-size:85%;"><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204);">(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/12/08/0012.html)</span></span></p>Ethos Traininghttp://www.blogger.com/profile/14723009025216202698noreply@blogger.com0