Friday, November 2, 2007

Belajar dari Jepang

Jepang nampaknya bisa dijadikan contoh tentang bagaimana upaya penyerapan pola pikir dan cara hidup bangsa lain bisa menjadi titik tolak perubahan bangsa.

Dimulai dengan Restorasi Meiji (1867 – 1912) yang sangat terkenal, Jepang akhirnya berubah pesat menjadi salah satu kekuatan dunia. Sebelum itu, Jepang adalah negara tertutup yang membatasi hubungannya dengan bangsa lain. Amerika Serikat bahkan harus mengirimkan delegasi sebanyak 2 kali untuk meminta Jepang membuka hubungan dengan negara tersebut.

Bangsa Jepang menjadikan dirinya sebagai penyerap pola pikir dan cara hidup bangsa Barat. Bahkan karena proses semacam itu ada yang menyebut Jepang sebagai murid bangsa Barat. Namun terbukti langkah itu mampu membawa Jepang menjadi negara dengan kekuatan militer dan ekonomi yang patut diperhitungkan. Jepang yang sebelumnya tabu dalam soal politik dalam negeri, kemudian juga mengijinkan berdirinya Seiyukai Party (Partai Liberal) dan Minseito Party (Partai Progresif)

Untuk membangun bangsa menuju ke arah yang lebih baik, rakyat Jepang percaya bahwa mereka membutuhkan generasi yang lebih pandai. Karena itulah, pendidikan merupakan pilar utama yang harus ditegakkan sebelum melaju ke bidang-bidang yang lain. Jepang pun pada masa itu kemudian menyusun gerakan Bummeikaika, atau gerakan memperadabkan bangsa Jepang. Gerakan tersebut dilaksanakan dengan pembaharuan pendidikan, terutama mendorong bangsa Jepang untuk meninggalkan feodalisme dan mengedepankan logika. Pembaharuan di bidang pendidikan tersebut dijalankan secara bersamaan dengan upaya melestarikan nilai-nilai tradisional, terutama nilai keagamaan. Terbukti kemudian, Jepang menjadi bangsa yang bergerak jauh ke depan tetapi tetap menginjak budayanya sendiri.

Langkah Jepang dengan menjadikan dirinya sebagai murid bangsa lain adalah langkah yang tepat. Bagaimanapun, selalu diperlukan model panutan bagi siapapun yang akan menuju ke arah tertentu. Jepang telah memilih dengan tepat apa yang mereka anut dan apa yang mereka ambil untuk kemajuan bangsanya. Tidak mengherankan jika kurang dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji dimulai, Jepang berubah dari rumput pegunungan yang tenang tak dikenal menjadi pemimpin besar di kawasan Asia Tenggara.

Bangsa Indonesia pun memerlukan model anutan jika ingin melakukan perubahan. Model anutan yang dimaksud kini jauh lebih banyak dan lebih beragam. Sisi positif bangsa manapun dapat diambil dan diaplikasikan dengan tetap menyaringnya agar budaya dan kearifan lokal Indonesia tidak terdesak.

Bertahun-tahun Indonesia mencoba mentransfer teknologi otomotif di Jepang dan perlahan-lahan kini menuai hasil. Namun pada akhirnya bangsa Indonesia lebih cenderung menjadi pasar produk otomotif Jepang saja, dari pada mencoba mandiri memproduksi produk otomotif. Transfer teknologi memang dilakukan, tetapi hal itu tidak dilakukan bersama dengan transfer kesadaran untuk membaca, tekad merubah nasib menjadi lebih baik, rajin bekerja, kegigihan dan semangat yang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Jepang.

Disinilah letak penting mengapa transfer pola pikir dan cara hidup itu menjadi penting. Untuk menjadi bangsa yang maju dan besar, Indonesia tidak hanya membutuhkan penguasaan teknologi masa depan. Indonesia juga membutuhkan masyarakat dengan pola pikir dan cara hidup seperti masyarakat di negara maju. Bahkan, pola pikir dan cara hidup itulah kunci membuka masa depan Indonesia seiring dengan penguasaan teknologi.

Apa yang bisa ditransfer dari masyarakat luar negeri ke masyarakat Indonesia? Jawabannya sederhana, yaitu segala sesuatu yang berpotensi membawa masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih maju dan lebih baik.

Mahasiswa Indonesia di Jepang bisa mensosialisasikan budaya membaca di masyarakat. Mereka wajib mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga masyarakat Jepang tumbuh menjadi penggila buku. Jangan pula dilupakan untuk mengamati, bagaimana orang tua di Jepang mendidik anaknya gemar membaca, fasilitas dan kemudahan macam apa saja yang diberikan pemerintah untuk hal ini, dan bagaimana masyarakat mendukung budaya membaca agar berjalan dengan baik dan berkesinambungan.

Tidak ada salahnya memang, apabila setelah pulang, mahasiswa Indonesia di Jepang bercerita tentang kereta api yang super cepat, penerapan teknologi maju di segala bidang atau robot yang mulai dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Namun, mereka juga memiliki kewajiban untuk memaparkan sifat dan sikap orang seperti giat bekerja, gigih, hidup bersih dan teratur, mengutamakan pendidikan, terbuka terhadap hal-hal baru, inovatif dengan tetap melestarikan budaya warisan leluhurnya.

Masyarakat Indonesia juga perlu tahu bagaimana anak-anak Jepang di sekolah, apa yang mereka lakukan, kebiasaan membaca mereka, bagaimana sikap guru terhadap murid atau fasilitas semacam apa saja yang seharusnya ada di sekolah. Tidak ketinggalan adalah bagaimana kebijakan yang diterapkan negara dalam bidang pendidikan.

Begitu pula mahasiswa Indonesia yang sedang berada di Singapura. Mereka memiliki kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang budaya bersih, tertib dan teratur yang diterapkan di negara tersebut. Mahasiswa Indonesia di Korea Selatan mungkin saja mengamati proses pengorganisasian buruh sehingga menjadi kekuatan kaum pekerja yang tangguh. Sedangkan mereka yang belajar di Amerika Serikat, bisa menjadi agen perubahan untuk kehidupan berpolitik yang lebih transparan dengan masyarakat yang lebih berdaya.

Intinya, mahasiswa Indonesia di luar negeri harus merubah paradigmanya tentang apa yang harus dibawa pulang. Jika di masa lalu dan kini, transfer yang dilakukan lebih pada hasilnya maka di masa datang transfer harus dilakukan lebih pada prosesnya.

Contoh nyata dari hal itu adalah cerita mengenai robot di Jepang. Selama ini, masyarakat Indonesia hanya tahu bahwa robot telah menjadi produk yang tidak asing di masyarakat Jepang. Produk robot telah begitu canggih sehingga tidak lama lagi akan mampu menjalankan beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan manusia. Hasilnya, masyarakat Indonesia terkagum-kagum dan merasa semakin tidak mampu mengejar ketertinggalannya atas masyarakat Jepang.

Ke depan, cerita semacam itu harus lebih ditekankan pada prosesnya. Bagaimana sehingga Jepang mampu menguasai teknologi robot yang begitu canggih. Mahasiswa Indonesia di luar negeri harus mampu memaparkan latar belakang kenyataan itu. Misalnya bagaimana dukungan dunia usaha terhadap penelitian mahasiswa. Bagaimana peran pemerintah dan bagaimana penyelenggaraan kompetisi robot tahunan yang kian menantang. Lebih jauh lagi adalah bagaimana Jepang mengenal robot dan bagaimana mereka mengembangkan itu dari titik nol hingga pencapaian saat ini.

Proses semacam itu harus diterapkan dalam semua sisi alih informasi. Tidak hanya bercerita tentang bagaimana bersihnya kereta api di Jepang, tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat, perusahaan kereta api dan pemerintah Jepang memperjuangkan semua itu. Tidak hanya bercerita tentang tingginya penguasaan teknologi di kalangan siswa SD di Jepang, tetapi tak ketinggalan pula cerita tentang sikap orang tua, guru, anggaran pemerintah di bidang pendidikan, peran dunia usaha dan peran televisi sebagai media hiburan dan pendidikan.

Fungsi sebagai agen perubahan tersebut dapat dijalankan oleh mahasiswa Indonesia dengan berbagai cara. Misalnya menulisnya di media massa, melaksanakannya di lingkungan terkecil dan menyampaikannya secara langsung ke masyarakat melalui berbagai forum baik itu besar maupun kecil. Namun yang terbaik dari semua proses itu tentu saja adalah dengan menerapkannya dalam lingkungan terkecil agar menjadi contoh nyata bagi masyarakat Indonesia.

Perubahan memang tidak akan berjalan dengan cepat. Mungkin akan dibutuhkan waktu yang lama, bahkan sangat lama untuk bisa menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Justru karena itulah, proses perubahan itu harus dilakukan secepatnya. Dengan demikian, generasi masyarakat Indonesia setelah ini berkesempatan menjadi generasi yang lebih baik dengan kehidupan sosial yang lebih baik karena memiliki pola pikir dan cara hidup yang lebih baik pula.

Kita tunggu perubahan peran itu dilakukan.

Sumber: Nurhadi Sucahyo: Alih Pola Pikir dan Cara Hidup Menuju Indonesia Yang Lebih Inovatif

No comments: