Tuesday, November 6, 2007

Info Training "8 ETHOS", November 2007

Mengapa Tenaga Kerja Indonesia dihargai sangat rendah di dunia? Mengapa Indonesia banyak tertinggal dibanding bangsa-bangsa Asia lainnya? Mengapa bangsa kita seolah tak berdaya di bawah tekanan bangsa lain? Bukan hanya di tingkat bangsa dan negara, di tingkat organisasional dan manajerial pun banyak keluhan dan kritikan ditujukan kepada SDM Indonesia yang secara nyata belum mampu menunjukkan keunggulan kualitasnya di era digital global ini. Apa yang harus dibenahi? Bentuk semangat (spirit) macam apa yang perlu segera dibangun dan dihayati oleh semua insan negeri ini?

Berbagai studi sosiologi dan manajemen menunjukkan bahwa keberhasilan suatu bangsa terletak pada etos kerja warganya. Sumber Daya Manusia memegang peranan kunci bagi kemajuan dan keunggulan suatu bangsa.

Bagaimana SDM Indonesia mampu melepaskan diri dari stigma negatif tersebut dan berjuang merebut keunggulan dan kejayaan kita sebagai bangsa?

Setiap perubahan tak lepas dari cara berpikir (paradigma), apa yang diyakini (keyakinan) dan semangat untuk berubah dari manusianya.

Pelatihan "8 ETHOS" yang dirancang dan dikemas khusus oleh Jansen H. Sinamo mencoba memberikan navigasi berupa cara pandang (paradigma) dan nilai-nilai keyakinan yang baru untuk membangun etos kerja bangsa Indonesia yang unggul dan terpercaya untuk menjawab tantangan global di atas tadi.

Disajikan dalam durasi 2 hari, Materi Pelatihan meliputi:
1. Apakah 8 Etos Kerja Profesional itu?
2. 8 Paradigma Kerja Profesional :
  • Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur
  • Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab
  • Etos 3: Kerja adalah Panggilan; Aku Tuntas Penuh Integritas
  • Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku Keras Penuh Semangat
  • Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan
  • Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas
  • Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan
  • Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahanhati
3. Bagaimana menciptakan Budaya Kerja Unggul dengan 8 Ethos?

Pelaksanaan:

Pelatihan 8 Ethos angkatan terakhir di tahun 2007 ini akan diselenggarakan pada:

Hari/tgl : Rabu-Kamis, 28-29 November 2007,
Jam : 07.00-
16.00 WIB
Tempat :
Hotel Menara Peninsula,
Jl. S.Parman, Slipi - J
akarta Barat

Investasi: Rp 2.500.000,-/peserta
(termasuk modul, buku teks, sertifikat, coffee break & lunch).

Early bird sebelum tanggal 21 November 2007 cukup membayar Rp 2.250.000,-/peserta.

GRATIS hadiah langsung 4 buku & 1 CD Audio dari Jansen H. Sinamo untuk setiap peserta.

Bagi pendaftar 3 orang/lebih akan mendapatkan diskon langsung sebesar 20%.


F
asilitator:

Seorang maestro pelatihan. Pengalamannya sangat luas dalam membawakan seminar dan training di berbagai lembaga dan korporasi milik negara seperti Bank Indonesia, BPPT, ITB, DPRD, Aneka Tambang, Telkom, Indosat, Jiwasraya, Bank Mandiri, BNI, BRI, Jasa Marga, dan sejumlah PTPN; perusahaan swasta nasional seperti Astra Group, Kompas-Gramedia Group, Indomobil, Bank NISP, Bentoel, Bumiputra, BCA, Konimex Group, United Tractors; termasuk korporasi multinasional seperti SOGO, Caltex, Charoen Pokphand, Mandom, VICO, Bank Amro, TNT, dan American Express; termasuk berbagai LSM seperti World Vision, Bina Swadaya, dll.

Jansen H. Sinamo telah menulis 6 buah buku dan audiobook yang lahir dari pengalaman, renungan, perbandingan, dan bacaannya atas ribuan buku dan literatur lain. Dalam sekitar 20 tahun karirnya sebagai public speaker, fasilitator, dan instruktur, dia telah melatih ratusan ribu orang mulai dari tingkat pelaksana, clerk, wiraniaga, teller bank, tingkat manajer, direktur, CEO, bupati, direktur jenderal, hingga level menteri.


Pendaftaran:

Hubungi Ester S.Devi di 0816-547-3500 atau e-mail: estershd@gmail.com

Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?

Ketertinggalan Indonesia saat ini membuat kita bertanya, apakah orang Indonesia tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita "bernasib" seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya.

Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:

Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.

Yu
- berani dan bersikap kesatria

Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama

Re - bersikap santun, bertindak benar

Makoto
- bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih

Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta

Chugo - mengabdi dan loyal.


Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip :
  1. bertindak rasional,
  2. berdisiplin tinggi,
  3. bekerja keras,
  4. berorientasi pada kekayaan material,
  5. menabung dan berinvestasi, serta
  6. hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?

Ethos Kerja Indonesia

Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.

Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.

Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.

Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.

Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.

Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Nalar

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.

Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.

“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world."

Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.

Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.

Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.

Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne dalam bukunya Within Reason sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.

Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:

“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . "

Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals.

Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:

Immature love says: ''I love you because I need you'',
Mature love says:"I need you because I love you".

Sumber: Kusmayanto Kadiman, Menristek RI
http://www.netsains.com/index.php/page_info/pid_173