Tuesday, November 6, 2007

Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?

Ketertinggalan Indonesia saat ini membuat kita bertanya, apakah orang Indonesia tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita "bernasib" seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya.

Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:

Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.

Yu
- berani dan bersikap kesatria

Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama

Re - bersikap santun, bertindak benar

Makoto
- bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih

Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta

Chugo - mengabdi dan loyal.


Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip :
  1. bertindak rasional,
  2. berdisiplin tinggi,
  3. bekerja keras,
  4. berorientasi pada kekayaan material,
  5. menabung dan berinvestasi, serta
  6. hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?

Ethos Kerja Indonesia

Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.

Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.

Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.

Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.

Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.

Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Nalar

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.

Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.

“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world."

Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.

Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.

Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.

Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne dalam bukunya Within Reason sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.

Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:

“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . "

Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals.

Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:

Immature love says: ''I love you because I need you'',
Mature love says:"I need you because I love you".

Sumber: Kusmayanto Kadiman, Menristek RI
http://www.netsains.com/index.php/page_info/pid_173

1 comment:

Anonymous said...

(Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Jum’at, 4 Januari 2008, dengan judul asli: Strategi Evaluasi Milenium III – Matinya Ilmu Administrasi & Manajemen).

Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain

FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).

INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?

Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, sistem ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):

Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).

Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).

Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).

Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.

PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)