Ann Wang Seng, PhD seorang antropolog dan sosiolog asal Malaysia dan penulis buku seri bisnis Asia: Rahasia Bisnis Orang Jepang, Formula Bisnis Negara Cina, dan Rahasia Bisnis Orang Korea, menuturkan bahwa ketiga bangsa tersebut memiliki persamaan dalam hal etos kerja-nya. Bedanya, ”... orang Cina lebih mementingkan kekeluargaan, orang Jepang pada organisasi, orang Korea pada komunitas,'' ucapnya saat berada di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun mengapa bangsa Jepang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan 2 bangsa lainnya meskipun ketiganya sama-sama pekerja keras? Diketahui dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang mampu bangkit dari keterpurukannya akibat serangan bom atom Amerika tahun 1945, dan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya tersebut. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat Jepang pada pertengahan era 1990-an, yang diwakili oleh Produk Nasional Bruto (PNB)-nya telah mencapai US$ 37,5 miliar. Ini berarti menempati posisi kedua dari puncak yang diduduki oleh Swiss dengan PNB-nya yang tertinggi di dunia (US$ 113,7 miliar). Selain itu Jepang juga tidak memiliki utang luar negeri.
Padahal jika dilihat pada kondisi yang ada, Jepang tidak memiliki sumber alam yang memadai. Alamnya sangat sulit untuk dikembangkan dan sering ditimpa bencana seperti gempa, letusan gunung berapi dan badai topan. Bahkan 85% kebutuhan energi Jepang juga masih diimpor dari negara lain seperti Indonesia. Belum lagi kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua, yang menyebabkan kerusakan fisik dan kehancuran perekonomian yang dahsyat yang semestinya membuat mereka lebih tertinggal dibanding bangsa-bangsa lainnya.
Menurut Ann Wang Seng dalam bukunya Rahasia Bisnis Orang Jepang : Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia, kunci kebangkitan Jepang terletak pada spirit Bushido atau Samurai yang telah dibudayakan secara turun temurun dalam masyarakat Jepang dan diwujudkan dalam sikap:
Tepat Waktu/Disiplin tinggi
Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja.
Orang Jepang akan menghabiskan seluruh jam kerjanya untuk fokus bekerja dan bukan untuk mengobrol dengan rekan kerja atau bersantai-santai. Mereka menghabiskan banyak waktu di tempat kerja. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun).. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat.
Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.
Semangat Mengabdi
Hal unik lainnya dari sistem kerja masyarakat Jepang adalah totalitas pengabdian mereka pada organisasi/perusahaan tempat mereka bekerja. Bagi mereka kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien hingga cepat diselesaikan adalah lebih penting daripada menuntut tambahan uang lelah. Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.Mereka bahkan rela bekerja tanpa digaji karena menganggap bahwa pekerjaan adalah sebuah kewajiban. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.
Semangat Kebersamaan
Bangsa Jepang sangat mementingkan semangat kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Itu sebabnya mereka lebih senang bekerja sebagai sebuah tim. Dalam tim kerja, tidak ada atasan dan bawahan. Kedudukan atasan dan bawahan adalah sama dan sama-sama berhak mengajukan pendapatnya masing-masing. Setiap organisasi/ perusahaan di Jepang menempatkan para pengelola dan pekerja dalam tingkatan yang sama dalam pengambilan keputusan. Meski masing-masing bukan seorang yang pandai mempertahankan pendapat pribadi, namun mereka sangat menjunjung harga diri dan tidak suka diremehkan. Perusahaan Jepang atau perusahaan yang manajemennya dikelola oleh orang Jepang, biasanya mempunyai ciri-ciri: Semua karyawannya mendapat penghasilan diatas rata-rata; Direktur maju, karyawan juga maju; respek terhadap nasib karyawannya. Sehingga sangat wajar jika disana hampir tidak pernah terjadi demonstrasi dan aksi mogok para pekerja karena setiap aspirasi mereka selalu ditampung serta dihargai oleh pihak pengelola maupun pemilik perusahaan.
Kecepatan dan fleksibilitas
Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, agar senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh, karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis. Itu sebabnya masyarakat Jepang dikenal suka berjalan cepat, lekas tanggap dalam bertindak, serta tidak menunggu peluang datang, melainkan mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut.
Inovatif
Perkembangan teknologi di Jepang terjadi sangat cepat. Ini didasari oleh kehausan masyarakatnya akan akan Ilmu Pengetahuan.Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Di Jepang, buku-buku terbitan luar negeri akan segera ada terjemahannya dalam waktu 1-2 hari. Kebiasaan membaca dilakukan di mana-mana bahkan saat dalam kendaraan. Kegemaran bangsa Jepang akan ilmu pengetahuan juga menyebabkan mereka menghabiskan banyak waktu dan uang untuk penelitian. Perusahaan-perusahaan di Jepang rela menghabiskan sekitar 45% dari anggaran belanjanya untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Mereka sadar bahwa mereka harus inovatif agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional. Pekerja Jepang dibayar dari hasil prestasi dan inovasi mereka saat bekerja dan bukan dari kedudukan.
Jepang dikenal suka meniru produk buatan bangsa Barat. Namun, meskipun pintar meniru, mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Jika pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi, maka bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.
Bangsa Jepang menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat, membuat produk dengan dasar sama tetapi dengan penyesuaian pada segi kegunaan dan budaya sendiri demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Produk Jepang terkenal lebih ringan, mudah digunakan, hemat, dan lebih murah dibandingkan produk bangsa Barat yang ditirunya. Tak heran beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi, contohnya produk dari Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan audio visual.
Menghargai Budaya dan Tradisi Bangsa Sendiri.
Meski sudah menjadi negara industri dan mempunyai teknologi tinggi, bangsa Jepang tetap mempertahankan budaya tradisionalnya. Semua ini dilandaskan pada sikap patriotik masyarakat Jepang yang adalah salah satu faktor yang membantu keberhasilan perekonomian negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Di mana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka, termasuk keengganan mereka dalam menggunakan bahasa Inggris.
Suka berhemat dan menabung
Meskipun Pendapatan perkapita Jepang lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perkapita bangsa Barat, tetapi gaji pokok mereka adalah yang paling minimum dibandingkan gaji pokok bangsa Barat. Dalam hidup keseharian, mereka lebih suka memakai kendaraan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Mereka memiliki kebiasaan memanfaatkan dan mengolah kembali barang-barang bekas yang sudah tak terpakai menjadi barang yang berguna dan memiliki nilai seni yang tinggi. Sebagaimana mereka mengimpor bahan mentah dari negara lain kemudian mengolahnya untuk kebutuhan mereka sendiri dan untuk di ekspor kembali.
Sumber: Dari Berbagai Sumber