Wednesday, December 5, 2007

Etos Kerja Indonesia terburuk di Asia?

MENGAPA investasi asing di Indonesia terus menurun, justru pada saat negara-negara lain mengalami pemulihan, bahkan lonjakan tajam arus masuk investasi? Juga, kenapa investor hengkang, padahal dalam berbagai kesempatan para pejabat pemerintah masih begitu 'pede'-nya menyatakan, Indonesia sangat kompetitif, terutama dengan sumber daya melimpah dan upah buruhnya yang murah?

Memang benar, dari sisi biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan usaha (cost of doing business), Indonesia sebenarnya tergolong sangat kompetitif di Asia, seperti ditunjukkan dalam survei Political and Economic Risk (PERC). Sayangnya, sangat kompetitifnya Indonesia dilihat dari biaya untuk menjalankan usaha ini tidak cukup kuat dipakai untuk membujuk investor datang atau bertahan, karena pada saat yang sama risiko politik dinilai masih cukup tinggi.

Upah buruh ternyata juga bukan satu-satunya faktor penentu masuk atau tidaknya investasi, bertahan atau tidaknya investor dan ada atau tidaknya minat investor untuk melakukan ekspansi bisnis di suatu negara.

Dari survei PERC, setidaknya ada tujuh faktor lain yang dianggap penting oleh investor. Faktor-faktor tersebut adalah:

  1. Kemudahan mendirikan usaha,
  2. Ada atau tidaknya diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk,
  3. Ada atau tidaknya perlakuan sama untuk investor asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal,
  4. Transparansi dalam persetujuan dan izin investasi.
  5. Ramah-tidaknya kebijakan imigrasi,
  6. Ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah, serta
  7. Tingkat responsivitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor.

Hampir dalam semua aspek tersebut, Indonesia merupakan yang terburuk kedua, setelah Vietnam.

***

KENYATAAN bahwa perusahaan-perusahaan asing selama ini lebih banyak memfokuskan diri pada investasi di sektor padat modal ketimbang padat karya, menunjukkan begitu ruwetnya persoalan yang dihadapi investor di negara ini, sehingga upah buruh murah pun sudah tidak mampu lagi menjadi daya tarik investor.

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja berketerampilan rendah, sehingga produktivitasnya juga rendah. Banyak investor yang mengeluhkan sulitnya mencari, menyewa, atau mempertahankan staf yang berketerampilan tinggi. Sebenarnya investor ingin melibatkan sebanyak mungkin komponen lokal, agar biaya produksi bisa ditekan.

Namun, di Indonesia ternyata ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akibatnya, banyak perusahaan asing akhirnya terpaksa harus menggunakan staf ekspatriat. Selain itu, para investor asing juga resah dengan semakin meningkatnya kecenderungan radikalisme dan aktivisme buruh.

Ini salah satu alasan, mengapa investasi yang masuk lebih banyak di industri-industri ekstraktif, seperti minyak dan gas (migas), yang biasanya berlokasi di wilayah-wilayah yang agak terpencil. Dengan demikian, lebih mudah menghindar dari potensi-potensi kerusuhan sosial, yang biasanya lebih mudah terpicu di daerah perkotaan.

Dilihat dari upah buruh, daya saing Indonesia setara dengan Cina, yakni yang termurah dari 12 negara Asia yang disurvei PERC (yakni Cina, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Korsel).

Namun, dari etos kerja, Indonesia ternyata yang terburuk di Asia. Ini tercermin dari skor indeks persepsi Indonesia di mata para ekspatriat yang disurvei yang angkanya 7,50 (dari angka terbaik nol dan terburuk 10 yang dimungkinkan). Sebagai perbandingan, Cina (3,75), Hongkong (2,81), India (6,75), Jepang (1,50), Malaysia (6,00), Filipina (6,20), Singapura (3,00), Korsel (1,50), Taiwan (3,71), Thailand (6,00) dan Vietnam (5,75).

Perbedaan nyata tenaga kerja di Indonesia dengan Cina, menurut seorang guru besar sebuah universitas terkemuka di Jepang, adalah di Cina tenaga kerja dari semua level keterampilan tersedia dalam jumlah melimpah dan juga murah. Persepsi investor terhadap buruh Cina pun cukup baik. Para buruh Cina dikenal sangat rajin, tidak banyak cing-cong dan memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan dirinya.

Meskipun tingkat upah tenaga kerja untuk level keterampilan tinggi belakangan ini mulai meningkat dengan cepat di Cina, tetap saja besarnya masih relatif rendah untuk standar internasional. Di Malaysia, Filipina, dan India, tenaga kerja berketerampilan tinggi juga tidak sulit dicari. Malaysia memiliki tenaga terampil yang kualitasnya lebih baik dibandingkan kebanyakan negara berkembang Asia lainnya. Hanya sayangnya, jumlahnya terbatas sehingga terjadi kelangkaan suplai tenaga kerja yang menyebabkan upah dengan cepat juga membubung tinggi.

Di Filipina, tenaga kerja merupakan salah satu aset terbaik dan potensi besar perekonomian, karena mereka umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan fasih berbahasa Inggris. Dengan begitu, perusahaan asing yang beroperasi di sana hampir tidak menghadapi kendala dalam hal tenaga kerja.

Di Thailand, kondisinya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Langkanya tenaga kerja berketerampilan tinggi ikut menghambat investasi dan ekspansi produksi, meskipun dalam hal tingkat upah buruh dan risiko radikalisme buruh, Thailand sebenarnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Untuk Vietnam, upah buruh sangat rendah, namun kualitas umumnya juga rendah.

Jika dalam hal buruh atau tenaga kerja Indonesia masih lumayan kompetitif di mata investor, tidak demikian halnya jika dilihat dari faktor kepastian hukum. Survei PERC menunjukkan Indonesia yang paling payah dalam hal penegakan hukum, dan kondisi ini tidak berubah sejak krisis.

Payahnya posisi Indonesia ini tercermin dari skor sebesar 9,83 menurut survei yang dipublikasikan akhir Mei 2002. Sebagai perbandingan, Australia (1,08), Cina (8,33), Hongkong (2,81), India (7,00), Jepang (3,67), Malaysia (5,86), Filipina (7,75), Singapura (1,70), Korsel (5,00), Taiwan (6,33), dan Thailand (7,78).

***

Dari angket yang dilakukan Gallup bulan April lalu, hampir dua pertiga (persisnya 73 persen) pengusaha AS di Asia Tenggara merencanakan melakukan bisnis di Asia dalam dua tahun ke depan. Namun, dari jumlah tersebut, dua pertiganya memilih Cina sebagai tempat untuk ekspansi.

Survei yang dilakukan terhadap para anggota Kamar Dagang Amerika (American Chamber of Commerce/Amcham) ini juga menunjukkan hanya 16 persen yang merencanakan untuk merelokasi industrinya atau mengurangi tenaga kerja lokal mereka. Bahkan, 32 persen merencanakan akan menambah staf lokal.

Dari sini terlihat betapa masih tingginya optimisme pengusaha AS terhadap prospek ekonomi kawasan. Lebih dari 50 persen juga yakin bisnis mereka di kawasan masih akan menjadi sumber profit, dan 80 persen yakin laba mereka akan meningkat pada tahun 2003.

Masih tingginya minat ekspansi mengindikasikan secara umum prospek investasi dan ekspansi ekonomi di kawasan masih akan cerah, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Para pengusaha yang disurvei itu sendiri merepresentasikan nilai investasi sekitar 60 milyar dollar di Asia Tenggara.

Hanya sayangnya, momentum bagi Indonesia untuk merebut pangsa yang cukup besar dari investasi asing yang masuk ke Asia itu tampaknya terbentur oleh kendala klasik seperti diungkapkan Kepala BKPM Theo F Toemion. Kendala tersebut yakni faktor keamanan, ketidakpastian hukum, dan risiko politik. Jadi, tidak heran jika tak ada sesuatu lagi yang menarik di mata pengusaha penanaman modal asing (PMA), karena semuanya serba sulit bagi mereka. Kondisi inilah yang membuat mereka memposisikan Indonesia sebagai pilihan yang terakhir untuk mereka masuki. Walaupun dari banyak sisi Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa, tetapi tetap saja Cina menjadi prioritas mereka. (Sri Hartati Samhadi)


Sumber: Kompas, Juli 2002
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=301&coid=2&caid=30


Character Building Bangsa Jepang

Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh mencolok adalah ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya pendidikan ditanggung peserta didik. Bahkan, fakta lapangan memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bpk Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003).

Konsekuensi dari program Wajar adalah bebas biaya. Bila tidak, Wajar menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila sekadar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.

Pendidikan ala pasar

Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah, maka make-up wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung periasnya yakni Mendiknas. Periode sekarang merek make-up tersebut adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana make-up yang sebenarnya, make-up pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik. Wajah pendidikan kita adalah pasar.

Di antara sekian praktik yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi pegangan tahun itu dan seyogianya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus membeli buku pegangan baru.

Praktik yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.

Kesenjangan dini

Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma Barat dari pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal (Intelligence Quotient, IQ). Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari Jepang dan China dalam keterpaduan aspek IQ dan EQ (Emotional Quotient). Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan, untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.

Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal menarik tentang pendidikan di sana, yakni muatan character building pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU (kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.

Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orangtua tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orangtua termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia sekolah.

Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang, kebersamaan, dan tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung.
Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.

Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus menerus ditempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan temannya yang anak orang kaya.
Negara diam-diam mendukung perbedaan kelas.

Keuletan

Pendidikan sikap dan karakter ini dijalankan di sekolah Jepang dalam berbagai bentuk. Dalam olahraga, setahun sekali yakni di musim panas siswa kelas satu sampai dengan kelas enam dibagi dalam dua kelompok besar yakni merah dan putih. Mereka berkompetisi dan semua jenis olahraga yang dipertandingkan adalah olah raga tim. Lagi-lagi kebersamaan dan teamwork mereka tekankan.

Setahun sekali pula diadakan pentas seni yang melibatkan seluruh siswa. Setiap siswa mendapat, berlatih dan memainkan satu atau dua peran. Uniknya pentas seni maupun lomba olah raga ini disaksikan oleh para undangan yang terdiri dari orangtua siswa, tokoh masyarakat, kepala sekolah TK, dan SLTP serta pemerintah lokal setempat.

Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan.

Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalaupun terlalu jauh siswa boleh pergi dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor.

Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita. Fenomena ini juga mengisyaratkan betapa kacaunya lalu lintas dan sistem untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM). Anak seusia SLTP yang belum genap 17 tahun sudah punya SIM, atau belum memiliki SIM tetapi sudah dapat leluasa mengemudi di jalan umum.

Fenomena sosial dalam lingkup lebih luas dapat dipahami dari fenomena lembaga pendidikannya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat workaholic, gila kerja. Mereka sangat menghargai waktu dan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Negeri yang sempat porak poranda oleh bom atom ini pun berhasil mewujudkan impian kolektif mereka, mengalahkan dan melampaui Amerika, setidaknya dalam ekonomi.

Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas.

Kerapuhan mental ditambah dengan ketiadaan impian kolektif bangsa, menyebabkan masyarakat tidak mempunyai energi dan semangat hidup yang besar. Kini, rendahnya semangat hidup ini telah sampai pada kondisi yang menyedihkan. Perhatikan saja fenomena persimpangan jalan, perkantoran dan para petinggi yang keluar negeri mencari pinjaman; fenomena mentalitas pengemis.

Keruwetan sistem pendidikan dan kondisi sosial negeri ini sudah seperti benang kusut. Pembenahan harus dibenahi di semua lini. Untuk lini pendidikan perlu dilakukan bedah plastik wajah pendidikan, dan pola character building pendidikan Jepang layak untukdipertimbangkan. Semangat dan etos kerja, kebersamaan, tanggung jawab dan menghargai pekerjaan diajarkan secara konkret dan keteladanan bukan dengan kata-kata.

Sistem rayon (tingkat SD dan SLTP) sebagai kebijakan terkait akan membantu pemerataan kualitas sekolah. Sistem ini juga memungkinkan keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam pendidikan. Pada gilirannya tidak relevan membicarakan sekolah unggulan, sekolah plus atau pun sekolah borjuis yang diskriminatif.

Untuk mengadopsi sistem asing manapun tidaklah bisa serta merta dan seketika, sebab pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Namun meniru pola Jepang relatif tidak memerlukan dana sehingga kemiskinan bangsa ini bukanlah kendala utama. Penulis sengaja tidak menampilkan aspek-aspek intelektualnya sebab dari sisi ini kita tidak kalah dari negeri lain manapun. Tetapi kemampuan itu tidaklah terlalu berarti tanpa dibarengi pendidikan karakter yang membangun sikap dan komitmen.

Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya republik ini mendesak diangkat kembali. Bahkan lebih dari itu, mendesak dijadikan kandungan utama pendidikan kita. Semua itu diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berjalan tegak dengan harga diri. Selain itu, negara harus menanggung biaya Wajar. Tuntutan ini pun bukan mustahil dipenuhi oleh negara pascaamandemen UUD yang menetapkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Kita tidak ingin Wajar sekadar jadi bentuk cuci tangan pemerintah atas kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negaranya.


Sumber: Agus Purwanto, Pekerja pendidikan di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS yang juga alumnus Universitas Hiroshima Jepang.
http://www.surya.co.id/18062003/12a.phtml -www.its.ac.id/berita.php?nomer=838 - 20k