Friday, November 2, 2007

Etos Jepang versi Mariono

Pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi bantuan hibah Grass-Root (yang berskala kecil dan lebih memasyarakat) untuk pembangunan gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Pare, Jawa Timur. Pada tanggal 27 September 2004, berlangsung upacara penandatanganan nota perjanjiannya oleh Konsul-Jenderal Jepang di Surabaya, Bapak Minoru Shirota, dengan Bapak Mariono Mertodhihardjo sebagai wakil dari pihak yang menangani renovasi SMP tersebut.

SMP di Desa Pare ini memiliki sejarah yang amat panjang sejak zaman penjajahan Belanda. Kondisi bangunan sekolah tersebut sangat menyedihkan bagi para siswa untuk belajar: ada ruang kelas yang tidak ada langit-langitnya lagi sehingga genting langsung terlihat, dan juga ada ruang yang tiang penyangganya patah.

Gedung sekolah yang direnovasi dan menjadi baru itu selesai pembangunannya pada awal tahun 2005. Berkat adanya bantuan, gedung ini dapat dibangun bertingkat dan mempunyai 6 ruangan, dengan keadaan demikian para siswa dapat belajar dalam kondisi yang nyaman dan tenang.

Bapak Mariono, yang mewakili SMP selaku penerima bantuan hibah ini, ternyata telah membina hubungan yang sangat panjang dan mendalam dengan Jepang. Bapak Mariono, kini berusia 84 tahun, pertama-tama berangkat ke Jepang pada tahun 1936 saat belum mulai Perang Dunia II, dan menetap di Jepang selama masa Perang Dunia II. Seusai PD II pula, beliau berkecimpung dalam berbagai kegiatan untuk menjembatani Jepang dengan Indonesia. Sampai saat ini, Bapak Mariono, sebagai anggota Dewan Penyantun Universitas Darma Persada dan melalui kegiatan-kegiatan lainnya, masih tetap aktif memberikan kontribusi yang amat besar bagi persahabatan Jepang dan Indonsia. Dapat dikatakan bahwa Bapak Mariono adalah generasi pertama yang membangun persahabatan antara Jepang dan Indonesia yang kita nikmati sekarang. Nah, Redaksi AJ menanyakan kesan-kesan beliau tentang Jepang masa lalu.

AJ : Mengapa Bapak memilih untuk berangkat ke Jepang?

Bpk. Mariono (M) : Jawaban Pada suatu hari, ayah saya bertanya pada saya, Celenganmu ana pira? (Ada berapa di celenganmu?). Memang pada saat itu saya punya kira-kira 100 Guilder. Demikian saya jawab, lantas ayah saya bertanya lagi, Bagaimana kalau saya kirim kamu ke Jepang?. Saya bingung dan tidak memahami maksud beliau. Ternyata, salah seorang sahabat ayah saya adalah Bapak Soekardjo yang menjadi salah seorang dari beberapa orang Indonesia asli yang duduk di Parlemen Hindia-Belanda.

Bapak Soekardjo itu atas perintah pemerintahan Hindia-Belanda telah melakukan penelitian di Jepang dan punya sebuah rumah di Jepang. Akhirnya, saya diberangkatkan atas kesepakatan ayah saya dengan Bapak Soekardjo Wiryopranoto.

AJ : Bagaimana keadaan di Jepang pada saat itu?

M : Ketika saya mulai tinggal di Jepang pada tahun 1936, Jepang telah terarah pada militerisasi dari suasana liberal. Semua orang termasuk saya sendiri dituntut untuk menjadi berdisiplin. Di asrama saya, para siswa dibagi dalam kelompok, lalu diberi toban (giliran tugas),seperti: Bagian Pemeras Susu, Bagian Pengedar Koran, Bagian Ternak Babi, Ayam, Kelinci, Bagian Pemeliharaan Kuda dan lain-lain. Toban termasuk bagian sekretariat kepala sekolah. Tidak ada seorang pun yang diistimewakan. Semua siswa mengerjakan apa yang diperintahkan. Ini yang namanya Rosaku-kyoiku (pendidikan bekerja), dan dari situ kita belajar disiplin dan rasa tanggung jawab. Untuk masak pun, kami yang mencari bahan bakarnya dengan menebang pohon-pohon pinus dan membantu juru masak di asrama. Di samping itu, ada juga bimbingan militer setiap hari 2 jam, lalu baru belajar. Beginilah kehidupan saya ketika itu. Dalam lingkungan begitu, saya belajar berbagai aspek sosial-budaya Jepang.

AJ : Apa yang paling mengejutkan di Jepang?

M : Saya terkejut terutama ketika masuk ofuro (tempat pemandian umum; red.) di Jepang, di mana pada saat mandi, orang banyak telanjang mandi bersama-sama. Pertama, saya agak kaku, tetapi lama-lama terbiasa dengan mandi bersama itu. Saya dapat menikmati air panas di onsen (pemandian air panas; red) yang dikelola dengan baik dan tertib, menarik bagi para pengunjung karena unsur-unsur medis.

AJ : Khususnya pelajaran apa yang didapati di Jepang?

M : Ketika saya masih di Indonesia, saya selalu diingatkan sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, yaitu "met den hoed in de hand, komt men door het ganse land" yang artinya, selalu dengan memegang topi dan menempatkannya di dada sendiri menandakan sikap yang baik dan sopan. Di Jepang pun begini (Bapak Mariono duduk tegak; Red.), selalu ditegur "Harus taati tata krama". Kedua istilah dalam bahasa yang berbeda ini sama artinya, dan mempunyai makna universal, yaitu jika kita bersikap sopan santun, kita akan diterima oleh siapa pun dan di mana pun. Sampai saat ini, saya masih tetap memegang pelajaran tersebut.

AJ : Ada lagi yang paling berkesan dalam ingatan Bapak ?

M : Latihan Kendo pada musim dingin, yang dikenal dengan istilah kangeiko. Latihan mulai pukul 4 pagi. Ternyata air yang ditampung di baskom itu beku menjadi es. Kami memecah es dan menggosok-gosokkan badan dengan handuk setelah disirami air es itu, sehingga airnya menguap karena panas badan. Setelah itu baru berlatih kendo di dojo.
Selain itu, kami sering mendatangi kampung-kampung yang jauh untuk memperoleh makanan berupa ubi-ubian, sayuran, beras dan lain-lain sambil menarik troli, karena pada saat perang, sulit sekali mendapatkan makanan di kota. Orang Jepang pun melakukan hal yang sama karena seluruh bangsa Jepang pada saat itu mengalami kemiskinan. Kami, mahasiswa asing juga diperlakukan sama, tidak diistimewakan, mengalami nasib yang sama dengan bangsa Jepang.

Apa yang mengesankan pada masa itu adalah bagaimana orang Jepang memelihara barang-barang dengan baik, karena Jepang berada dalam kondisi miskin. Soal makanan, mereka membagi makanan bersama-sama dengan memotongnya kecil-kecil. Keadaan Jepang pada saat itu sama sekali berbeda dengan citra Jepang yang ditampilkan oleh kalangan muda zaman sekarang.

AJ : Apa kesamaannya antara Jepang sekarang dan Jepang ketika Bapak Mariono berada di sana?

M : Jepang adalah negara yang selalu mengamati perkembangan zaman dan berusaha supaya tidak ketinggalan. Jepang memiliki sudut pandang global dan juga kemampuan untuk mengikuti arus perkembangan zaman. Jepang saat ini telah memiliki ilmu teknologi yang jauh lebih berkembang dibandingkan masa lalu. Hal-hal seperti inilah yang patut kita tiru dan terapkan di Indonesia.

AJ : Apakah ada pesan kepada kaum muda Indonesia?

M : Kepada setiap mahasiswa yang berangkat ke Jepang, saya selalu mengingatkan seperti begini; manfaatkanlah waktumu dari pagi sampai malam untuk belajar tentang Jepang, janganlah bersedih hati meski ada pengalaman pahit, hadapilah dengan tulus dan ikhlas kesulitan-kesulitan itu untuk menjalani hidup, karena untuk itulah kamu diberi kesempatan untuk belajar di Jepang.

Rela mengemban tugas kehidupan,
betapapun tugas itu tidak menyenangkan, pahit, sulit dan kurang bermakna.
Jadilah orang yang paling dulu melakukannya, dan lakukan dengan senyum.
(DR. Kuniyoshi Obara)

Sayang sekali kami tidak dapat mengemukakan semua pengalaman Bapak Mariono yang sangat menarik. Dari pembincangan dengan Bapak Mariono yang mempraktekkan tradisi kebajikan Jepang yang luhur, kami orang Jepang pun dapat belajar tentang banyak hal. Semoga para pembaca memperoleh pengertian tentang Jepang masa lampau yang sedikit berbeda dengan Jepang sekarang.

Sumber: http://www.id.emb-japan.go.jp/aj309_02.html

Sopan santun bangsa Jepang

Bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat sopan dan perasa sehingga etika adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka tidak mengharapkan orang-orang luar negeri untuk mengikuti kebiasaan mereka seratus persen, tetapi usaha untuk mengikuti tata-krama Jepang akan sangat dihargai.

Dengan keramahan dan sopan santun yang dimiliki oleh orang Indonesia, serta panduan dibawah ini diharapkan tidak terjadi penyimpangan yang terlampau jauh.

MEMBUNGKUK :

Meskipun mengucapkan salam sambil membungkuk adalah hal yang amat sering kita temui diantara orang-orang Jepang, tapi bagi orang luar negeri, jabatan tangan waktu berkenalan juga sering digunakan, diikuti dengan anggukan yang sopan. Sikap semakin membungkuk menunjukkan derajat hormat seseorang.

KARTU NAMA :

Berkenalan dengan orang Jepang sering dimulai dengan saling bertukar kartu nama, terutama bagi bisnismen. Dalam kartu nama biasanya tercantum nama, posisi dan alamat. Waktu menerima kartu nama pada pertemuan formil, pelajarilah secara seksama kartu nama yang diterima dan letakkanlah secara hati-hati diatas meja. Jangan sekali-sekali memberikan coretan pada kartu nama orang lain apa lagi memasukkannya ke kantong celana belakang. Ini adalah tindakan yang sangat merendahkan.

HADIAH :

Dalam kehidupan sosial bangsa Jepang, memberi dan menerima hadiah adalah bagian yang penting. Hadiah biasanya tidak langsung dibuka dihadapan pemberi hadiah. Kesempatan-kesempatan dimana kita harus memberikan hadiah adalah :

  1. Pada akhir tahun yang disebut "Oseibo" dan Bulan Juli yang disebut "Ochugen" pada saat festival Bon. (Hadiah diberikan kepada orang-orang yang telah banyak membantu atau yang kita hormati.)

  2. Sewaktu berkunjung ke rumah seseorang.

  3. Membalas hadiah yang sudah kita terima sebelumnya. Hadiah bisa berupa: Makanan hasil utama dari daerah tertentu, atau minuman keras dengan kwalitas baik dan mahal.

CARA DUDUK :

Dalam ruangan tatami biasanya tidak terdapat kursi atau bangku. Tata-krama Jepang mengharuskan pria/wanita duduk dengan kaki dilipat dalam suasana formil. Setelah beberapa saat, bila kaki kita sudah terasa kesemutan, wanita dapat duduk menyamping dan pria dapat duduk bersila. Meluruskan kedua kaki adalah tindakan informil.

MASKER :

Gunakanlah masker waktu terserang influensa, supaya tidak menularkan penyakit itu kepada orang lain. Sebab itu di jalan-jalan akan sering kita temukan orang-orang Jepang yang bermasker.

APARTEMENT :

Jangan membayangkan apartemen mewah seperti yang banyak terdapat di Jakarta dengan kolam renang, pusat kebugaran atau lapangan tenis di apaato Jepang. Apaato di Jepang biasanya terbuat dari kayu. Kondisi yang lebih baik dari apaato disebut mansion dengan bangunan yang lebih kokoh terbuat dari tembok. Tapi disinipun tetap tanpa kolam renang atau fasilitas mewah lainnya.

BERKUNJUNG :

Bila tuan rumah hanya mengundang satu orang saja, maka sebaiknya tidak mengajak teman waktu berkunjung. Bawalah sekedar oleh-oleh, ketuklah pintu tidak lebih dari 2 X, kalau tidak terdengar ulangi sekali lagi. Karena ketukan yang bertubi-tubi sangatlah mengganggu. Sebelum masuk rumah, biasanya tamu akan ditawari sandal. Gunakan dengan kaki kita yang berkaus kaki atau stoking. Gantilah sandal dengan sandal khusus yang digunakan di toilet bila kita ke toilet. Tinggalkan sepatu yang kita pakai dalam keadaan terjejer rapi, dan untuk pelayanan kepada tamu biasanya nyonya rumah akan merapikan dan letak sepatu kita menghadap ke luar rumah agar kita dapat segera menggunakannya kembali saat meninggalkan rumah.

TOILET :

Toilet di Jepang biasanya tidak menjadi satu dengan kamar mandi. Ada dua jenis toilet di Jepang yaitu jenis duduk dan jenis jongkok. Apapun jenisnya tidak tersedia gayung ataupun ember untuk menyiram di dalam toilet. Gunakanlah kertas toilet yang tersedia untuk membersihkan diri, sehingga tidak membasahi toilet yang biasanya selalu dalam keadaan kering. Yang agak menakutkan bagi orang asing adalah toilet yang berteknologi tinggi seperti dalam gambar.

Sumber: http://www.gakushudo.com/edisi_2/sept-etika.htm

Belajar dari Jepang

Jepang nampaknya bisa dijadikan contoh tentang bagaimana upaya penyerapan pola pikir dan cara hidup bangsa lain bisa menjadi titik tolak perubahan bangsa.

Dimulai dengan Restorasi Meiji (1867 – 1912) yang sangat terkenal, Jepang akhirnya berubah pesat menjadi salah satu kekuatan dunia. Sebelum itu, Jepang adalah negara tertutup yang membatasi hubungannya dengan bangsa lain. Amerika Serikat bahkan harus mengirimkan delegasi sebanyak 2 kali untuk meminta Jepang membuka hubungan dengan negara tersebut.

Bangsa Jepang menjadikan dirinya sebagai penyerap pola pikir dan cara hidup bangsa Barat. Bahkan karena proses semacam itu ada yang menyebut Jepang sebagai murid bangsa Barat. Namun terbukti langkah itu mampu membawa Jepang menjadi negara dengan kekuatan militer dan ekonomi yang patut diperhitungkan. Jepang yang sebelumnya tabu dalam soal politik dalam negeri, kemudian juga mengijinkan berdirinya Seiyukai Party (Partai Liberal) dan Minseito Party (Partai Progresif)

Untuk membangun bangsa menuju ke arah yang lebih baik, rakyat Jepang percaya bahwa mereka membutuhkan generasi yang lebih pandai. Karena itulah, pendidikan merupakan pilar utama yang harus ditegakkan sebelum melaju ke bidang-bidang yang lain. Jepang pun pada masa itu kemudian menyusun gerakan Bummeikaika, atau gerakan memperadabkan bangsa Jepang. Gerakan tersebut dilaksanakan dengan pembaharuan pendidikan, terutama mendorong bangsa Jepang untuk meninggalkan feodalisme dan mengedepankan logika. Pembaharuan di bidang pendidikan tersebut dijalankan secara bersamaan dengan upaya melestarikan nilai-nilai tradisional, terutama nilai keagamaan. Terbukti kemudian, Jepang menjadi bangsa yang bergerak jauh ke depan tetapi tetap menginjak budayanya sendiri.

Langkah Jepang dengan menjadikan dirinya sebagai murid bangsa lain adalah langkah yang tepat. Bagaimanapun, selalu diperlukan model panutan bagi siapapun yang akan menuju ke arah tertentu. Jepang telah memilih dengan tepat apa yang mereka anut dan apa yang mereka ambil untuk kemajuan bangsanya. Tidak mengherankan jika kurang dari 100 tahun sejak Restorasi Meiji dimulai, Jepang berubah dari rumput pegunungan yang tenang tak dikenal menjadi pemimpin besar di kawasan Asia Tenggara.

Bangsa Indonesia pun memerlukan model anutan jika ingin melakukan perubahan. Model anutan yang dimaksud kini jauh lebih banyak dan lebih beragam. Sisi positif bangsa manapun dapat diambil dan diaplikasikan dengan tetap menyaringnya agar budaya dan kearifan lokal Indonesia tidak terdesak.

Bertahun-tahun Indonesia mencoba mentransfer teknologi otomotif di Jepang dan perlahan-lahan kini menuai hasil. Namun pada akhirnya bangsa Indonesia lebih cenderung menjadi pasar produk otomotif Jepang saja, dari pada mencoba mandiri memproduksi produk otomotif. Transfer teknologi memang dilakukan, tetapi hal itu tidak dilakukan bersama dengan transfer kesadaran untuk membaca, tekad merubah nasib menjadi lebih baik, rajin bekerja, kegigihan dan semangat yang tinggi yang dimiliki oleh masyarakat Jepang.

Disinilah letak penting mengapa transfer pola pikir dan cara hidup itu menjadi penting. Untuk menjadi bangsa yang maju dan besar, Indonesia tidak hanya membutuhkan penguasaan teknologi masa depan. Indonesia juga membutuhkan masyarakat dengan pola pikir dan cara hidup seperti masyarakat di negara maju. Bahkan, pola pikir dan cara hidup itulah kunci membuka masa depan Indonesia seiring dengan penguasaan teknologi.

Apa yang bisa ditransfer dari masyarakat luar negeri ke masyarakat Indonesia? Jawabannya sederhana, yaitu segala sesuatu yang berpotensi membawa masyarakat Indonesia menuju kehidupan yang lebih maju dan lebih baik.

Mahasiswa Indonesia di Jepang bisa mensosialisasikan budaya membaca di masyarakat. Mereka wajib mencari tahu bagaimana sejarahnya hingga masyarakat Jepang tumbuh menjadi penggila buku. Jangan pula dilupakan untuk mengamati, bagaimana orang tua di Jepang mendidik anaknya gemar membaca, fasilitas dan kemudahan macam apa saja yang diberikan pemerintah untuk hal ini, dan bagaimana masyarakat mendukung budaya membaca agar berjalan dengan baik dan berkesinambungan.

Tidak ada salahnya memang, apabila setelah pulang, mahasiswa Indonesia di Jepang bercerita tentang kereta api yang super cepat, penerapan teknologi maju di segala bidang atau robot yang mulai dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Namun, mereka juga memiliki kewajiban untuk memaparkan sifat dan sikap orang seperti giat bekerja, gigih, hidup bersih dan teratur, mengutamakan pendidikan, terbuka terhadap hal-hal baru, inovatif dengan tetap melestarikan budaya warisan leluhurnya.

Masyarakat Indonesia juga perlu tahu bagaimana anak-anak Jepang di sekolah, apa yang mereka lakukan, kebiasaan membaca mereka, bagaimana sikap guru terhadap murid atau fasilitas semacam apa saja yang seharusnya ada di sekolah. Tidak ketinggalan adalah bagaimana kebijakan yang diterapkan negara dalam bidang pendidikan.

Begitu pula mahasiswa Indonesia yang sedang berada di Singapura. Mereka memiliki kesempatan untuk belajar lebih jauh tentang budaya bersih, tertib dan teratur yang diterapkan di negara tersebut. Mahasiswa Indonesia di Korea Selatan mungkin saja mengamati proses pengorganisasian buruh sehingga menjadi kekuatan kaum pekerja yang tangguh. Sedangkan mereka yang belajar di Amerika Serikat, bisa menjadi agen perubahan untuk kehidupan berpolitik yang lebih transparan dengan masyarakat yang lebih berdaya.

Intinya, mahasiswa Indonesia di luar negeri harus merubah paradigmanya tentang apa yang harus dibawa pulang. Jika di masa lalu dan kini, transfer yang dilakukan lebih pada hasilnya maka di masa datang transfer harus dilakukan lebih pada prosesnya.

Contoh nyata dari hal itu adalah cerita mengenai robot di Jepang. Selama ini, masyarakat Indonesia hanya tahu bahwa robot telah menjadi produk yang tidak asing di masyarakat Jepang. Produk robot telah begitu canggih sehingga tidak lama lagi akan mampu menjalankan beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan manusia. Hasilnya, masyarakat Indonesia terkagum-kagum dan merasa semakin tidak mampu mengejar ketertinggalannya atas masyarakat Jepang.

Ke depan, cerita semacam itu harus lebih ditekankan pada prosesnya. Bagaimana sehingga Jepang mampu menguasai teknologi robot yang begitu canggih. Mahasiswa Indonesia di luar negeri harus mampu memaparkan latar belakang kenyataan itu. Misalnya bagaimana dukungan dunia usaha terhadap penelitian mahasiswa. Bagaimana peran pemerintah dan bagaimana penyelenggaraan kompetisi robot tahunan yang kian menantang. Lebih jauh lagi adalah bagaimana Jepang mengenal robot dan bagaimana mereka mengembangkan itu dari titik nol hingga pencapaian saat ini.

Proses semacam itu harus diterapkan dalam semua sisi alih informasi. Tidak hanya bercerita tentang bagaimana bersihnya kereta api di Jepang, tetapi lebih kepada bagaimana masyarakat, perusahaan kereta api dan pemerintah Jepang memperjuangkan semua itu. Tidak hanya bercerita tentang tingginya penguasaan teknologi di kalangan siswa SD di Jepang, tetapi tak ketinggalan pula cerita tentang sikap orang tua, guru, anggaran pemerintah di bidang pendidikan, peran dunia usaha dan peran televisi sebagai media hiburan dan pendidikan.

Fungsi sebagai agen perubahan tersebut dapat dijalankan oleh mahasiswa Indonesia dengan berbagai cara. Misalnya menulisnya di media massa, melaksanakannya di lingkungan terkecil dan menyampaikannya secara langsung ke masyarakat melalui berbagai forum baik itu besar maupun kecil. Namun yang terbaik dari semua proses itu tentu saja adalah dengan menerapkannya dalam lingkungan terkecil agar menjadi contoh nyata bagi masyarakat Indonesia.

Perubahan memang tidak akan berjalan dengan cepat. Mungkin akan dibutuhkan waktu yang lama, bahkan sangat lama untuk bisa menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih baik. Justru karena itulah, proses perubahan itu harus dilakukan secepatnya. Dengan demikian, generasi masyarakat Indonesia setelah ini berkesempatan menjadi generasi yang lebih baik dengan kehidupan sosial yang lebih baik karena memiliki pola pikir dan cara hidup yang lebih baik pula.

Kita tunggu perubahan peran itu dilakukan.

Sumber: Nurhadi Sucahyo: Alih Pola Pikir dan Cara Hidup Menuju Indonesia Yang Lebih Inovatif

Etos Kerja bangsa Finlandia

Finlandia, salah satu negara di kawasan Skandinavia, selalu menjadi contoh menarik dalam hal penegakan hukum. Angka kriminal hampir nol, begitu pula dengan tindak pidana korupsi.

Negara-negara yang hendak menekan angka korupsi suka datang ke negara yang dekat kutub ini untuk studi perbandingan. Para pendatang itu berusaha mengetahui kiat antikorupsi yang dikembangkan Finlandia. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit yang mampu seperti Finlandia karena yang diambil dari negara ini adalah undang-undang dan kiatnya, bukan spirit hidup bersih dan kulturnya.

Finlandia, negara seluas 338.145 kilometer persegi (hampir seluas Jerman), berpenduduk 5,2 juta jiwa. Produk utamanya adalah hasil hutan, kerajinan, dan beberapa jenis industri presisi, perangkat otomotif, dan telepon seluler.

Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), Finlandia dapat disebut sebagai negeri ”aneh”. Perdagangan berlangsung dalam ritme lamban. Jalan-jalan di kota, sebutlah misalnya di Helsinki (berpenduduk 520.000 jiwa), lengang. Hari Sabtu dan Minggu libur kerja. Pusat perbelanjaan buka antara jam 10.00-11.00 dan tutup antara pukul 19.00 sampai 21.00.

Pada hari Sabtu dan Minggu, suasana kota terasa sangat sepi. Di beberapa bagian kota bahkan seperti kuburan. Hanya beberapa trem yang lalu-lalang mengelilingi kota, tanpa penumpang. Bandara Internasional Helsinki juga sepi. Pukul 21.00 sebagian sudut bandara sudah senyap dan gelap. Sejumlah toko bahkan sudah tutup sejak pukul 19.00. Di pusat kota Helsinki terdapat beberapa kafe dan kelab malam yang baru dibuka sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, Helsinki termasuk ”kuper” dalam hal fasilitas hiburan.

Namun, yang kemudian membuat banyak negara lain terkagum-kagum, di balik sepinya suasana, rileksnya penduduk negara itu bekerja, dan di balik tidak variatifnya sumber daya alam, pendapatan per kapita Finlandia mencapai 28.500 dollar AS, atau salah satu yang terbaik di dunia.

Apa yang menyebabkan negara ini kaya dan bersih? ”Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki.

Menurut Hans, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu. Satu mobil pun kerap terasa berlebihan sebab transportasi umum di Helsinki cukup baik. Warga Helsinki terbiasa dalam kultur hidup tidak berlebihan. Sebagian di antara penduduk Finlandia dikenal religius. Rumah-rumah ibadah di sana tetap penuh meski salju turun amat lebat dan suhu mencapai minus 30 derajat Celsius.

Spirit hidup tidak berlebihan, tidak suka banyak kebutuhan, dan tidak menyukai barang bukan miliknya, inilah yang memberi makna pada negara Finlandia. Negeri itu mendekati bersih dari tindak kejahatan. Korupsi nyaris nihil.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Finlandia adalah rakyat yang hidup bersih, korupsi hampir nol, ada supremasi hukum, menjadi faktor amat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi tumbuh dengan amat mulus. Semua proses produksi berjalan efisien. Finlandia terkesan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat, tetapi negaranya kaya-raya. Rakyat hidup dalam kecukupan.

Apa yang terjadi di Finlandia sejalan dengan apa yang kerap disampaikan oleh tokoh besar hukum ekonomi Indonesia, Prof Dr Charles Himawan (alm).

Teori Himawan, seperti yang kerap ia sampaikan dalam bukunya, Hukum sebagai Panglima, ialah perekonomian baru bisa bagus dan pertumbuhan ekonomi akan mencapai persentase tinggi apabila ada supremasi hukum. Supremasi hukum bisa muncul apabila semua aparat penegak hukum, terutama hakim, menjalankan fungsinya sebaik-baiknya. Hakim menunaikan tugasnya berdasarkan kaidah hukum, kearifan, dan nurani seorang hakim.

Himawan memberi contoh Singapura dan Amerika Serikat. Dua negara itu meraih kegemilangan ekonomi setelah secara konsisten melakukan penegakan hukum. Negara-negara maju Eropa dan Jepang juga meraih prestasi yang sama karena memberi perhatian besar pada aspek hukum.

Supremasi hukum dipastikan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi karena dapat membuang semua kolusi dan nepotisme. Supremasi hukum tidak membolehkan ada praktik penyuapan, uang semir, dan sebagainya. Ini membuat semua kegiatan ekonomi berjalan mulus. Tidak ada yang menjadikan tugasnya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.

Tegaknya hukum akan membuat semua perselisihan diselesaikan menurut aturan yang berlaku. Tidak ada intervensi atau upaya suap dari mana pun. Jika semua perselisihan ekonomi dapat diselesaikan secara baik oleh aparat hukum, maka hukum berwibawa. Semua bisnis dapat berjalan tanpa hambatan. Dan kalau semua bisnis dijalankan dengan amat baik, ekonomi pasti berjalan dalam kecepatan amat tinggi.

Beda pendekatan

Raksasa ekonomi dunia, Republik Rakyat China, termasuk di antara negara maju yang mati-matian melawan tindak kriminal dan korupsi. China-lah satu-satunya negara di dunia yang paling royal menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. China tidak main tebang pilih seperti Indonesia. Siapa pun yang terbukti bersalah dijatuhi vonis mati.

Semasa Zhu Rongji menjadi Perdana Menteri China, sikap keras terhadap koruptor bahkan lebih hebat. Ia menyatakan, ”Sediakan 1.000 peti mati untuk koruptor kelas kakap. Pakai 999 peti mati, sisanya satu untuk saya. Kalau kelak saya terbukti korup, masukkan saya ke peti itu.”

Zhu serius dengan pernyataannya itu. China menjadi negara yang sangat bengis bagi pencuri uang rakyat. China tidak peduli dengan kritik para pejuang hak asasi manusia bahwa hukuman mati sudah tidak zamannya lagi dan bahkan sangat melanggar peradaban. Akan tetapi, apakah korupsi di sana berhenti? Tidak.

Korupsi tetap subur, dan bersamaan dengan itu aparat hukum tetap dengan pekerjaannya, menjatuhkan hukuman mati terhadap siapa saja, termasuk pejabat teras, yang korupsi dalam jumlah besar. China selalu berpendapat bahwa sikap tegas tersebut pada saatnya akan menjerakan.

Akan tetapi, kalau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di China masih berlangsung, mengapa perekonomian China dapat melesat demikian cepat? Ini menarik dikaji, tetapi yang jelas, dengan hukum yang belum sepenuhnya mulus saja ekonomi bisa melesat seperti itu, bagaimana kalau penegakan hukum di China sudah sama dengan di Amerika Serikat, misalnya. Ekonomi China bisa terbang.

China, seperti diketahui, bisa sukses di bidang ekonomi karena mempunyai fondasi yang amat kokoh. Kendati sempat hancur pada Revolusi Kebudayaan (1966-1976), China tetap mempunyai sumber daya manusia yang amat kuat. Rakyat China mempunyai kultur bisnis yang sangat mengakar sejak ribuan tahun lalu. Pemerintah China hanya butuh ”menyetel” tubuh rakyatnya, dan semua bakat rakyat langsung bangkit. Rakyat China pun mempunyai kultur dan etos kerja yang amat kuat.

Dunia kemudian tercengang-cengang menyaksikan kebangkitan ekonomi China dalam rentang waktu yang amat cepat. Karena bisa dikatakan mulai dari titik nol pada tahun 1978. Kurang dari sepuluh tahun negara ini sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, hanya di bawah Amerika Serikat. Jangan lupa, negara ini mampu memberi makan kepada 1,2 miliar penduduknya.

Soal etos sebagai faktor, diutarakan dengan jelas oleh seorang pembicara. Ia menyatakan, nilai-nilai budaya harus diterjemahkan menjadi etos supaya berfungsi. Diskusi mengenai etos masih tetap berjalan dalam kalangan ilmuwan sosial. Etos adalah perumusan tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan yang dijalankannya, dan tingkah laku untuk mencapai kepentingan tersebut. Etos pun akan menetapkan segala sesuatu yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau profesi.

Etos tidak persis sama dengan etika yang merupakan teori tentang baik dan buruk. Etos lebih menekankan pada apa yang penting dan pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan. Etos yang dimaksud itulah agaknya yang menjadi kultur di China sehingga etos menjadi faktor sangat dominan dalam proses produksi di China.

Mulai dari diri sendiri

Dua contoh tentang besarnya peran hukum dalam bidang ekonomi tersebut, Finlandia dan China, bisa menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia. Pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah konsistensi sebuah sikap. Hukum bukan menjadi kumpulan pasal peraturan, tetapi dijalankan secara konsisten.

Hukum hanya mengenal warna hitam dan putih, benar dan salah. Tidak ada warna abu-abu dan tidak ada merah atau hijau. Tidak ada setengah benar dan setengah salah. Hukum di sini selalu memandang semua orang sama di depan hukum.

Prinsip ini dipegang teguh sejak dari proses penyelidikan, penyidikan, peradilan, dan penjatuhan hukuman. Para aparat hukum bekerja dengan etos kerja yang jelas. Hakim dalam menjatuhkan putusan dipandang ”mewakili” Tuhan menghukum orang-orang yang bersalah.

Dalam bayangan para penegak hukum dan para perancang undang-undang, Indonesia akan meraih sukses luar biasa kalau hukum ditegakkan. Tegaknya supremasi hukum, seperti dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, bukan saja berpengaruh kuat pada ketertiban serta pemerintah yang berwibawa, tetapi juga terutama menjadi penopang kinerja perekonomian negara.

Artinya, kalau hukum tegak, tidak ada uang semir, tidak ada KKN, ekonomi akan berjalan dengan amat baik. Semua perselisihan bisnis, perselisihan kontrak, wanprestasi, serta percekcokan debitor dan kreditor akan selesai melalui koridor institusi hukum. Tidak ada ”ekonomi biaya tinggi” di badan peradilan. Para pihak yang berselisih tidak perlu menyediakan anggaran khusus untuk uang semir bagi jaksa, polisi, panitera, dan hakim.

Para penegak hukum ini pun bisa leluasa menjalankan tugasnya karena mereka tidak perlu silau oleh penyuapan, koncoisme, dan kolusi. Hakim enteng saja menjalankan putusan sesuai dengan hati nurani dan hukum yang berlaku. Polisi atau jaksa enteng menyidik para tersangka dan saksi suatu perkara.

Aspek-aspek ini kelihatan sangat sederhana, tetapi pelaksanaannya sangat sulit. Buktinya, sejak tahun 1945 Indonesia sudah mencanangkan ”dunia peradilan bersih dari uang sogokan”, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Lihatlah, berapa banyak polisi, jaksa, dan hakim yang diadili. Yang diadili pun yang kebetulan ketahuan. Bagi yang tidak ketahuan, ia bisa melenggang dengan uang haramnya.

Dalam pemikiran kritis, persoalan ini hendaknya mulai dibenahi mulai hari ini agar ada target dan sasaran yang sangat jelas. Pada tahun 2010, misalnya, peradilan Indonesia sudah jauh lebih baik. Tahun 2015 bebas dari segala bentuk penyuapan dan ”biaya perkara”. Tahun 2030, supremasi hukum di Indonesia sudah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Dari mana memulainya? Dari diri sendiri, termasuk dari para pemimpin bangsa. Pemimpin yang tidak korup akan diikuti oleh menterinya, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, kepala desa, sampai seluruh perangkat negara. Pada saatnya semua orang malu untuk korupsi. Malu untuk merebut uang rakyat, uang yang bukan menjadi haknya.

Faktor pemimpin selalu menjadi aspek menentukan. Kalau pemimpinnya baik, ia selalu menjadi teladan yang hebat. Sebaliknya, kalau pemimpinnya lalim, sebutlah seperti Hitler dan Polpot, negara dan aparatnya akan sangat kejam. Jutaan orang mati percuma.

Kalau seorang pemimpin berani dan visioner, sebutlah seperti Deng Xiaoping, negara akan sangat berprestasi. Bayangkan, ia bisa menemukan sistem yang memadukan sistem komunis dan mekanisme pasar. Ia bisa membawa China yang hancur akibat revolusi kebudayaan menjadi negara pemegang supremasi ekonomi dunia.

Para pemimpin Indonesia pun bisa melakukannya. Kesempatan untuk memberi yang terbaik untuk rakyat masih terbuka lebar. Cobalah.

Sumber: Abun Sanda, Hukum Tegak, Perekonomian Lancar
www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2662916.htm - 52k -

Belajar dari Korea

Setiap kali berkunjung ke Korea (Selatan), saya selalu terpesona melihat negara yang kini menyebut diri sendiri sebagai 'dynamic Korea, the hub of Asia', Korea yang dinamis, pusat Asia. Setelah datang ke Seoul, ibu kota Korea pada Mei 2003 untuk menyajikan makalah dalam Konferensi Internasional Anti-Korupsi, pekan keempat November (22-27/11/2005), saya kembali ke Korea atas undangan Pemerintah Korea. Korea Foundation yang mengatur acara kunjungan tersebut menjadwalkan saya bertemu dengan rektor sejumlah perguruan tinggi top Korea, dan dengan pejabat-pejabat tinggi bidang kerja sama internasional Korea dan juga mengunjungi beberapa objek penting.

Sejauh menyangkut pembangunan ekonomi, Korea punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Secara tradisional, ekonomi Indonesia dan Korea sama-sama bertumpu pada pertanian; dan baru sejak akhir 1960-an dan 1970-an sama-sama berusaha melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri. Tetapi jelas, Korea Selatan sangat berhasil dalam pembangunan ekonomi dan industrinya, meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Berbagai produk Korea dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor semakin mengglobal. Keberhasilan ini membuat Korea mendapat julukan 'the miracle on the Hangang river', keajaiban di Hangang, sungai terbesar di 'Negeri Ginseng' ini.

Pada tahap awal pengembangan industri, sains, dan teknologi, Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang. Bahkan, Korea kini bertekad tidak hanya menjadi pusat industri dan teknologi terkemuka di dunia, tetapi juga tempat 'industri otak' untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Sampai akhir 2002 saja, Korea telah membelanjakan dana sekitar 15,1 miliar dolar AS untuk kepentingan litbang sains dan teknologi.

Korea dan Indonesia pernah sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi yang melanda banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak 1997. Tetapi, jika Indonesia sampai sekarang ini masih bergulat dengan krisis ekonomi dengan berbagai dampak sosialnya, Korea sudah sepenuhnya mengalami economic recovery. Ekonomi Korea kembali booming dengan mengembangkan struktur ekonomi yang sesuai dengan advanced economy.

Banyak faktor penting yang menyebabkan Korea bisa cepat pulih dari krisis ekonomi. Pertama adalah kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam berbagai level pemerintahan dan masyarakat. Banyak orang Korea menilai, salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun yang berkuasa sejak 25 Februari, 2003 adalah kesuksesannya dalam gerakan antikorupsi dan penguatan good governance.

Kedua adalah nasionalisme ekonomi yang bernyala-nyala dalam masyarakat Korea. Dominasi produk-produk Korea, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor, terlihat jelas di pasar. Di jalan raya, hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang adalah bikinan Korea sendiri; mobil impor hanya satu dua saja. Dalam pekan-pekan terakhir ini, bahkan demonstrasi marak di Korea memprotes pembukaan pasar Korea bagi beras impor, yang bisa dipastikan mengancam beras dalam negeri.

Ketiga adalah 'etos kerja' dan disiplin sosial kuat yang dimiliki masyarakat Korea. Orang-orang Korea terkenal sebagai pekerja keras dan tekun. Ini terlihat bukan hanya di Korea, tetapi juga di kalangan para perantau Korea, misalnya di Amerika Serikat, yang bergerak misalnya dalam penjualan greeneries, 'hijau-hijauan', yakni sayuran dan buah-buahan.

Kunci utama dari semua itu adalah pendidikan. Lagi-lagi, sama dengan Indonesia, Korea baru dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih universal setelah kemerdekaan pada 1948 usai Perang Dunia II. Tetapi, jelas Pemerintah Korea memberikan perhatian sangat besar pada pendidikan; sejak 1953, misalnya, pemerintah sudah memberlakukan program wajib pendidikan dasar enam tahun. Wajib belajar sembilan tahun --ditambah tiga tahun pendidikan menengah pertama-- baru diperkenalkan pada 2002.

Pendidikan tingkat universitas hanya mungkin jika siswa sekolah menengah atas lulus ujian akhir. Karena itu, masa di SMA merupakan masa yang sangat menentukan bagi masa depan remaja Korea. Gagal ujian akhir SMA berarti gagal masuk universitas; dan gagal masuk universitas berarti masa depan yang kurang cemerlang.

Universitas-universitas Korea umumnya memiliki berbagai fasilitas jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi (PT) Indonesia. Karena itu, tidak heran kalau mereka dapat menjadi PT berkualitas tinggi. Sekali lagi, kalau Indonesia mau belajar dari Korea, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada pendidikan.

Sumber: Azyumardi Azra (Rektor UIN Jakarta-Dewan Pers Nasional)

Etos Kerja Bangsa Jerman

Duabelas tahun periode Adolf Hitler merupakan aib bagi bangsa Jerman yang sebelumnya dikenal sebagai negara yang telah melahirkan filsuf-filsuf besar, penulis, komposer, dan ilmuwan setara Albert Einstein. Sisi gelap itu terus membayangi bangsa ini, hingga kini.

”Mungkin akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu itu telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke, Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun 1944. ”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu dihadapkan dan diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa hidup normal,” katanya. ”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat. Saya selalu merasa malu dengan negara saya. Dan di sekolah semua keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi kami untuk merasa bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat tentang Jerman hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah negara yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat terendah di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000 responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional” (national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31 persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam kehidupan rakyat Jerman. Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah kejujuran dan integritas (81-83 persen).

Adakah ini semua berkaitan dengan beban sejarah itu? ”Ya. Setelah perang dunia berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne Zepp, Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll Foundation. Zepp menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian dari identitas” bangsanya. Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali warga Jerman dihadapkan pada pertanyaan menyangkut perang dan perdamaian, isu Israel dan Yahudi, ataupun isu rasisme dan radikalisme.

Generasi pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu. Prof Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari Friedrich-Meinecke Institut, Freie Universitat Berlin, mengenang betapa ia dan rekan segenerasinya sulit untuk terbebas dari ikatan ”keterlibatan” itu.

”Saat itu saya masih mahasiswa. Pada sebuah pertemuan anti-fasisme di tahun 1970-an, saya mengajukan usul agar kita berbicara tentang generasi orangtua kita. Saya katakan bahwa ayah saya adalah kapten di militer Jerman (SS, Schutz-Staffel), lalu orang di sebelah saya mengatakan, oh ayah saya kolonel di situ, lalu ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya adalah pejabat penting dalam kepemimpinan Nazi, sampai akhirnya seorang politisi ternama dari Partai Hijau angkat bicara dan mengatakan, ayah saya adalah Albert Speer (arsitek yang dikagumi Hitler dan sejak 1933 membangun gedung-gedung representatif di Berlin, Munchen, dan Nuernberg—Red),” kata Wippermann.

”Kesimpulannya, seluruh generasi kami adalah anti-fasis, namun mereka memiliki fascist relation. Ini mungkin sebuah kesalahan yang menjadi penyebab mengapa kita tidak terlalu sukses di tahun 1960-an untuk mengajari masyarakat bagaimana berhadapan dengan masa lalu,” katanya.

Proses panjang

Penerimaan terhadap aib di masa lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap. Usai PD II negeri ini hancur berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Belum lagi para pengungsi yang terusir dari kediamannya setelah wilayah Jerman dipangkas berdasarkan kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang tak memiliki pilihan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan berkonsentrasi penuh pada gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali ekonomi, kota-kota yang hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan mereka.

”Rakyat Jerman harus bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas ini berkembang bahwa Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda harus menciptakan keajaiban ekonomi, dan seandainya Anda berhasil mungkin tetangga-tetangga Anda akan melupakan kejahatan yang telah Anda lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat Jerman saat itu telah membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan dengan kerja keras dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.

Pihak Sekutu mengerahkan segala cara agar militerisme Jerman tidak bisa bangkit lagi, antara lain melalui ”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi lain mereka juga berhati-hati dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada komunisme jika perekonomian memburuk.

Perang Dingin pada akhirnya mengubah pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan melalui Marshall Plan atau Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS menganggap bahwa sebuah Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi dari sebuah ”Jerman yang stabil dan sejahtera”.

Marshall Plan telah ”berjasa” dalam hal mendepolitisasi industri, di mana industri lebih terfokus pada peningkatan produktivitas. Karyawan yang rela digaji rendah, tingkat aksi pemogokan yang rendah, dan menurunnya karakter militansi dalam tubuh asosiasi buruh, ikut mempercepat pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut psikologi ”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).

”Jangan lupa, bangsa Jerman tidak bangkit dengan sendirinya. Selain ada Marshall Plan, Jerman juga memperoleh keuntungan dari Perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen, editor Asia-Pasifik surat kabar Die Tageszeitung.

Kesuksesan ekonomi menjadi faktor signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk komit terhadap nilai-nilai demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal parlemen atau pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah bangsa dan ketika kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30 sampai 40 tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.

Tujuan kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita belajar dari sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral dari identitas nasional kita,” lanjutnya.

Inilah hasil demokrasi yang sesungguhnya. Sebuah proses yang patut ditiru bangsa kita yang sangat mudah melupakan masa lalu.

Sumber: Kompas, Bangsa yang Melawan Pelupaan - Myrna Ratna

Etos Kerja dalam Sepincuk Nasi Pecel

Untuk apakah kita hidup?

Tanyakanlah ini kepada Mak Paenah yang tiap hari berjualan pecel di depan Gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) di Medan.

Dalam usianya yang menurut pengakuannya-86 tahun, Mak Paenah masih setia mendorong- dorong kereta pecelnya demi mengumpulkan rupiah selembar demi selembar dari Rp 1.500 per pincuk (piring dari daun pisang) pecel jualannya itu.

Gerobaknya cukup berat dengan dua roda becak yang sering kempis anginnya. Sebuah topi bambu lebar menemani tubuh ringkihnya menempuh jarak sekitar lima kilometer dari rumah cucunya di kawasan Glugur ke Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol melewati jalanan aspal yang terik dan ramai.

Pernah suatu hari Mak Paenah tidak kunjung muncul pada jam makan siang, dan baru datang berjualan saat matahari sudah sangat condong ke barat.

"Aku diserempet mobil. Iki lho awakku babak bundas (lihat tubuhku babak belur)," katanya dalam ujaran yang selalu tercampur dengan bahasa Jawa kasar.

Setiap hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah tiba menggelar dagangannya. Dan, beberapa jam kemudian, ia pulang lagi dengan kereta dorongnya yang sudah kosong dan segepok uang di dalam tas pinggang yang terbuat dari kain batik lusuh.

Soal berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak Paenah sering tidak tahu. Ia memang tidak peduli dapat uang berapa hari itu. Bahkan, sering ada beberapa lembar ribuan tercecer di bawah kakinya, yang lalu diambilkan rang lain. Yang ia tahu pasti, ia tidaklah pernah rugi.

"Bathi kuwi ora usah okeh-okeh. Serakah jenenge... (kalau untung itu jangan besar-besar. Serakah namanya...)," katanya pelan. Tidak serakah ini pula yang membuat Mak Paenah cenderung royal dalam memberi nasi pecel saat dagangannya hampir habis. Kata orang, kalau beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang ia mau pulang. Pasti dapat pecel lebih banyak. Dengan keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak Paenah membelikan rokok untuk orang lain yang tampak memerlukannya. Andi Lubis, fotografer harian Analisa, Medan, yang perokok berat, beberapa kali diberi rokok oleh Mak Paenah kalau tampak sedang bengong dan tidak merokok. "Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe duwit tho? (Ini rokok. Kamu sedang tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah tanpa basa-basi. Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk menyenangkan orang lain. Tidak jarang ia memberikan pecelnya secara gratis kalau ada yang lapar, tapi tak punya uang.

***

JADI, untuk apa Mak Paenah berjualan pecel dalam usianya yang sudah sangat senja itu? Di kota-kota besar, orang-orang yang jauh lebih muda darinya sudah santai-santai di rumah menikmati uang pensiun bersama cucu-cucu.

"Aku bekerja karena memang manusia itu harus bekerja. Aku sakit kalau nganggur. Menganggur adalah bersahabat dengan setan. Kerja selalu ada kalau kita mau mencarinya. Jangan mau menganggur, sampai kita mati," katanya seakan ahli filsafat.

Banyak yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar telah berusia 86 tahun. Tapi, mendengar beberapa cerita yang sering diungkapkannya sambil meracik pecel, apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh itu, kita yakin bahwa setidaknya ia sudah berusia di atas 80 tahun.

Ia pernah bercerita bagaimana suaminya yang tentara terbunuh dalam perang kemerdekaan, sementara saat itu anak sulungnya kira-kira berusia belasan tahun. Begitu suaminya meninggal, rasa tanggung jawab untuk menghidupi ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang lahir dan besar di Blitar, Jawa Timur, ini berjualan pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk meminta belas kasihan dari orang lain.

"Aku hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan dengan pecel ini. Sudah puluhan tahun tanganku bikin sambel pecel. Sampai kapalan mengulek... he-he-he...," kata Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya yang sudah ompong.

Mengapa tidak menikah lagi setelah menjanda waktu itu ?
"Sopo sing gelem karo rondo bakul pecel...lethek...he-he-he... (siapa yang mau dengan janda penjual pecel yang lusuh dan bau)," katanya terkekeh.

Tapi, setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa uangnya ? "Keuntungan penjualan, tiap hari saya simpan di bawah bantal. Uang itu saya pakai untuk menolong orang kalau ada yang membutuhkannya. Siapa tahu, kan?" katanya dengan arif.
Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong tetangganya yang mendadak membutuhkan uang. Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba Mak Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu meminjaminya uang dalam jumlah cukup besar, tanpa bunga pula.

Setiap pagi, Mak Paenah mengambil Rp 150.000 dari simpanannya untuk berbelanja di Pasar Glugur. Pukul 04.00, ia sudah bangun dan pada pukul 06.00 ia sudah mulai memasak bumbu-bumbu pecel dan juga sayurannya. "Bangun pagi membuat saya sehat. Tiap hari berbelanja dan menawar juga membuat saya tidak pikun," paparnya. Dalam usianya itu, Mak Paenah sering membuat kagum orang dengan kemampuannya menghitung dengan cepat. "Meja ini habis sembilan pincuk. Jadi, tiga belas ribu lima ratus," katanya suatu kali saat menagih kepada para wartawan yang makan.

***

PADA bulan Juni dan Juli 2002 , para wartawan Medan yang biasa mangkal di depan Gedung DPRD kehilangan Mak Paenah. Dua bulan lebih wanita tua itu menghilang. Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah sakit, atau bahkan sudah meninggal dunia. Dan, Mak Paenah baru muncul lagi pada akhir Juli. Ternyata, Mak Paenah pulang ke Blitar menengok sanak saudaranya. Menurut dia, semua yang dikenalnya sudah meninggal. "Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli oleh-oleh. Tapi, aku senang bisa melihat Blitar lagi. Sudah sangat berubah. Aku sama sekali tidak bisa mengenali tempat mana pun di sana," katanya dengan mata berbinar-binar saat membicarakan kota yang ditinggalkannya pada awal tahun 1940-an ini.

Ketika diingatkan bahwa para wartawan kuatir dengan kepergiannya selama dua bulan itu, Mak Paenah justru marah.
"Kamu yang muda-muda kok tidak punya perasaan. Kan, semua tahu di mana rumahku. Kalau kuatir, ya mbok menengok ke rumah. Coba, bagaimana kalau saya sakit betulan? Ya, kan? " kata Mak Paenah.

Namun, sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang kembali. Setelah ditengok ke rumahnya, ternyata ia tidak kurang suatu apa. "Aku pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda yang lebih perlu uang," katanya yang kemudian menimbulkan tanda tanya. Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan di Lapangan Merdeka.

Menurut dia, di depan Gedung DPRD itu sudah muncul seorang saingan. Seorang penjual pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha menyainginya dalam merebut hati pembeli. "Aku tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang mengatur. Biarlah aku yang sudah tua ini pindah," katanya tanpa emosi.

Sumber: Kompas, tahun 2002

Ayah saya, Hidayat, meninggal pada saat saya masih duduk di bangku TK (tahun 1965). Sebagai seorang ibu dengan empat orang anak (putra semua) tentu saja meninggalnya ayah merupakan pukulan berat bagi ibu karena tugas membesarkan anak untuk menjadi “orang” merupakan tantangan berat bagi ibu.

Ibu yang praktis saat itu tidak bekerja, yang berarti tidak punya pendapatan keuangan sepeninggalan ayah. Beliau membanting tulang mencari cara mendapatkan pendapatan. Dengan modal ketrampilan apa adanya akhirnya ibu memutuskan untuk mendapatkan pendapatan keluarga dengan menjahit. Saya masih ingat sekali, pelanggan pertama ibu adalah baju untuk teman sebaya saya, yang juga tetangga yaitu Ria. Seingat saya bahan kainnya warna merah dengan motif bebek warna kuning.

Yang sangat menarik dari kegiatan menjahit ibu adalah etos kerja yang kuat sekali yang ditunjukkan ibu. Beliau menjahit pagi, siang dan malam bahkan hingga sampai dini hari jam 3 atau jam 4 malam. Pada mulanya beliau menggunakan tenaga kaki (genjot) namun setelah mendapatkan beberapa order jahitan, ibu membeli sebuah dinamo. Dengan menggunakan dinamo maka mesin jahit ibu yang bermerek CAMEL itu bekerja semakin cepat dalam proses produksinya. Saya masih ingat sekali waktu itu tugas saya adalah memasukkan benang ke jarum mesin jahit. Biasanya kalau pesanan sudah jadi, tugas saya adalah mengantar baju itu ke rumah pelanggan. Di rumah, kami tidak memiliki sambungan telepon yang pada saat itu termasuk barang sangat mewah. Saya mengantar baju yang sudah jadi dengan menggunakan sepeda merek Gazelle peninggalan ayah. Pada saat proses menjahit, saya mendapat tugas membeli retsleting ataupun kancing sesuai dengan warna bahan di toko POPULAR yang terletak di Pasar Besar. Hampir setiap sore saya mengayuh sepeda melakukan dua kegiatan: mengantar baju (dan menerima ongkos jahit) dan membeli kebutuhan material.

Ibu juga tidak lupa selalu menyisihkan uang untuk saya guna membeli kaset musik rock kesukaan saya saat itu seperti Led Zeppelin, Deep Purple, Yes, Kansas dan Jethro Tull. Pada saat jahitan semakin banyak, ibu memutuskan membeli mesin obras merek Pegasus. Tugas saya bertambah: membantu ibu mengobras baju yang akan dijahit. Saya senang sekali melihat hasil obrasan yang berupa rajutan benang yang tetata sangat rapi. Demikianlah ritme hidup kami pada waktu itu. Tanpa saya sadari, ibu telah menciptakan “pengalaman” kepada saya yaitu etos kerja yang luar biasa dan disiplin.

Etos kerja ibu memberikan hasil yang menggembirakan. Dengan usaha menjahit, ibu bisa menyekolahkan kakak saya ke jenjang perguruan tinggi. Ini prestasi yang luar biasa: seorang ibu yang menjahit bisa mencetak seorang Sarjana Ekonomi! Saya semakin “yakin” bahwa dengan memiliki etos kerja yang kuat, insya Allah pasti berhasil. Cita-cita ibu menyekolahkan anak menjadi sarjana, tercapai jua.

Keyakinan saya terhadap etos kerja ibu yang membuahkan hasil telah mendorong saya untuk berperilaku mengikuti apa yang dilakukan ibu. Saya banting tulang belajar siang malam tanpa ada yang menyuruh. Saya tidak percaya lagi yang namanya bahwa kesuksesan hanya tergantung dari kepandaian. Bagi saya yang penting adalah TEKUN. Dengan tekun, orang dengan IQ pas-pasan pun pasti akan berhasil. Saya saat itu memiliki semboyan: “ketekunan membawa kesuksesan”. Perilaku bekajar keras semakin hari semakin saya gencarkan sehingga saya bisa menyelesaikan sekolah sampai dengan SMA dengan prestasi baik. Semboyan tersebut juga yang akhirnya membawa saya bisa diterima di program tanpa tes di Institut Pertanian Bogor (IPB). Dan itu semua dibuktikan lagi dengan lolosnya saya mengikuti ujian masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1979. Semakin terbuktilah bahwa apa yang dicontohkan ibu dengan disiplin dan semangatnya menjahit telah memacu saya bekerja keras. Akhirnya dengan perilaku yang konsisten, jadilah saya seperti ini.

Saya yang sangat menikmati kehidupan saya saat ini dan bersyukur atas nikmat Allah SWT. Perilaku saya tersebut telah membuahkan hasil dengan jadinya saya seperti saat ini. Terima kasih, ibunda tercinta.

Sumber:Gatot Widayanto Hidayat
http://thevaluequest.wordpress.com/

Etos Kerja & Keunggulan Sebuah Bangsa

Majalah Asiaweek baru baru ini telah membuat ranking kota kota seluruh Asia, sekaligus juga statistik perekonomiannya berdasarkan "good governance" (pemerintahan yang baik).

Alangkah sedihnya kita melihat Jakarta termasuk keenam dari bawah di antara 40 kota yang diteliti secara ilmiah berdasarkan 8 tolok ukur: Rule of Law, Transparansi, Responsif, Konsensus, Kemerataan, Efektif dan Efisiensi, Visi strategis.

Jepang merebut nomor 1 sampai 3: Tokio, Fukuoka dan Osaka.

Nomor wahid di Asia adalah Tokio, Fukuoka (Jepang), Osaka (Jepang), Singapura, Taipeh, Georgetown (Penang), Hongkong, Bandar Seri Begawan (Brunei), Kualalumpur, Beijing, demikianlah the best ten.

Tragis sekali Jakarta jatuh di nomor 35 dibawah Bangalore, Kathmandu, Chongging, Yangon, Chittagong.................

Kota komunis Ho Chi Minh saja masih dapat nomor 23, Kuching no 11, Cebu City no14, Manila no 16, Davao City no 19.

Dalam perekonomian kita pun paling meyedihkan: pertumbuhan GDP minus17.4%, cadangan devisa kecuali emas, minus$3.8 milyar.

Dalam perbandingan GDP kita hampir sama dengan Filipina yang praktis tidak mempunyai sumber alamiah sekaya kita $3,520 dan GNP per kapitanya $1.203 sedangkan kita punya GDP $3750 tapi GNP per kapita hanya $981.

Myanmar saja masih punya GNP per kapita $753, Afghanistan yang tidak punya ekonomi masih $720, Srilangka $805, India dan RRC karena penduduknya masing masing hanya $387 dan $738.

GDP per kapita nomor wahid adalah AS $30.025 disusul Singapura $28.235, Swiss $26.170, Hongkong $24.550, Kanada $23.125, Jepang $23.105, Prancis $22.520, Italia $21.815, Inggeris $20.755.

Yang paling tinggi GNP per kapitanya adalah: Swiss $36,857, Jepang $33.800, Singapura $31.900, AS $29.950. Suatu hal yang patut dikagumi, Singapura dapat mengatasi AS dan menyusul Jepang.

Yang paling rendah GNP perkapitanya: Afghanistan yang memang tidak punya ekonomi samasekali, $150, Nepal $225, Kamboja $270, Vietnam $280, Bangladesh $283, Nigeria $340, India $387.

Dalam persentase, pertumbuhan paling tinggi secara ironis dicapai oleh Vietnam, 8.8%, RRC 7.6%, Laos 7.2%, Bhutan 6.6%, Srilangka 6.3%, Afghanistan 6%.

Yang paling parah adalah Indonesia minus17.4%, Malaysia -6.8%, PNG -6.5%, Thailand -6%.

Betapa buruknya nasib kita di tengah bangsa bangsa di Asia ini, namun masih saja kita cakar cakaran, bunuh bunuhan, saling mendongkel, saling nangkring, dan KKN tetap merajalela menurut laporan BPKP kepada DPR sudah mencapai Rp1.7 trilyun dalam masa 6 bulan rejim Habibie ini. Dengan demikian tetap kita menyia nyiakan pinjaman baru dari IMF sedangkan seluruh dunia berebut minta pinjaman IMF yang semakin sulit itu.

Bilakah kita akan mulai membangun kembali ekonomi yang sedah sekarat, 100 juta melarat, 20 juta kelaparan, situasi sosial semakin mendidih karena perekonomian semakin buruk terpuruk.

Pemilu yang merupakan satu satunya jalan untuk mengatasi krisis ekonosospol dewasa ini masih saja diundur undur, UU nya tetap mau digunakan untuk mempertahankan statuskuo melawan reformasi total.

Kita sudah mau masuk kedalam jurang yang tak ketahuan dalamnya (bottom-less pit) dan sejauh ini tidak ada pemimpin yang muncul untuk mengatasinya.

Sumber: H.S. Hidayat Supangkat
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/12/08/0012.html)

ETOS

Etos, buat Weber - seorang ahli sosiologi - memang bukan sembarang kata.

Dalam bahasa Weber, maju tidaknya suatu bangsa sedikit banyak dipengaruhi oleh etos kerja setempat yang lebih dikenal sebagai four categories of "ideal types" of behavior. Keempatnya adalah :

  • zweckrational (rational means to rational ends),
  • wertrational (rational means to irrational ends),
  • affektual (guided by emotion), dan
  • traditional (guided by custom or habit).

Itulah mengapa, dalam kegiatan bisnis, orang Jepang terlihat begitu kejam terhadap dirinya. Orang Jerman pun sama saja, begitu disiplin dengan hatinya. Sementara orang Inggris, begitu disiplin dengan waktunya. Di negara-negara tersebut keempat "ideal types" berbaur menjadi satu. Dus, tak usah heran jika pebisnis. Jepang tampil elegan bak Musashi. Sementara eksekutif Jerman tampil ekspansif bak Siegfried. Dan pebisnis Inggris tampil optimis bak Laksamana Nelson.

Untuk Indonesia, rasanya sama saja. Begitu banyak perusahaan multinasional ternama hadir meramaikan blantika bisnis di Indonesia. Etos kerja mereka, tak diragukan lagi. Sumber daya manusianya, apa lagi. Malah, dalam beberapa kasus, melalui divestasi di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Kementerian BUMN, mereka mampu tampil sebagai juragan pembeli saham perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Pendek kata, persis seperti kata ekonom E.F. Schumacher dalam bukunya Small is beautiful, bahwa pembangunan tidak dimulai dengan barang, tetapi dimulai dari manusia. Demikian pula apa kata Mohammad Sobary, bahwa etos kerja yang baik tanpa diimbangi dengan pengetahuan ekonomi (seperti apa produk yang disukai pasar, apa hambatan usaha yang ada, dan siapa pesaing-pesaingnya) serta keterampilan organomanajerial (seperti bagaimana memobilisasi modal, menjalankan perusahaan secara efisien), tidak akan tampil optimal.

Sumber: Majalah Prospektif/Februari 2004 (www.prospektif.com/terkini/artikel)