Friday, November 2, 2007

Etos Jepang versi Mariono

Pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi bantuan hibah Grass-Root (yang berskala kecil dan lebih memasyarakat) untuk pembangunan gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Pare, Jawa Timur. Pada tanggal 27 September 2004, berlangsung upacara penandatanganan nota perjanjiannya oleh Konsul-Jenderal Jepang di Surabaya, Bapak Minoru Shirota, dengan Bapak Mariono Mertodhihardjo sebagai wakil dari pihak yang menangani renovasi SMP tersebut.

SMP di Desa Pare ini memiliki sejarah yang amat panjang sejak zaman penjajahan Belanda. Kondisi bangunan sekolah tersebut sangat menyedihkan bagi para siswa untuk belajar: ada ruang kelas yang tidak ada langit-langitnya lagi sehingga genting langsung terlihat, dan juga ada ruang yang tiang penyangganya patah.

Gedung sekolah yang direnovasi dan menjadi baru itu selesai pembangunannya pada awal tahun 2005. Berkat adanya bantuan, gedung ini dapat dibangun bertingkat dan mempunyai 6 ruangan, dengan keadaan demikian para siswa dapat belajar dalam kondisi yang nyaman dan tenang.

Bapak Mariono, yang mewakili SMP selaku penerima bantuan hibah ini, ternyata telah membina hubungan yang sangat panjang dan mendalam dengan Jepang. Bapak Mariono, kini berusia 84 tahun, pertama-tama berangkat ke Jepang pada tahun 1936 saat belum mulai Perang Dunia II, dan menetap di Jepang selama masa Perang Dunia II. Seusai PD II pula, beliau berkecimpung dalam berbagai kegiatan untuk menjembatani Jepang dengan Indonesia. Sampai saat ini, Bapak Mariono, sebagai anggota Dewan Penyantun Universitas Darma Persada dan melalui kegiatan-kegiatan lainnya, masih tetap aktif memberikan kontribusi yang amat besar bagi persahabatan Jepang dan Indonsia. Dapat dikatakan bahwa Bapak Mariono adalah generasi pertama yang membangun persahabatan antara Jepang dan Indonesia yang kita nikmati sekarang. Nah, Redaksi AJ menanyakan kesan-kesan beliau tentang Jepang masa lalu.

AJ : Mengapa Bapak memilih untuk berangkat ke Jepang?

Bpk. Mariono (M) : Jawaban Pada suatu hari, ayah saya bertanya pada saya, Celenganmu ana pira? (Ada berapa di celenganmu?). Memang pada saat itu saya punya kira-kira 100 Guilder. Demikian saya jawab, lantas ayah saya bertanya lagi, Bagaimana kalau saya kirim kamu ke Jepang?. Saya bingung dan tidak memahami maksud beliau. Ternyata, salah seorang sahabat ayah saya adalah Bapak Soekardjo yang menjadi salah seorang dari beberapa orang Indonesia asli yang duduk di Parlemen Hindia-Belanda.

Bapak Soekardjo itu atas perintah pemerintahan Hindia-Belanda telah melakukan penelitian di Jepang dan punya sebuah rumah di Jepang. Akhirnya, saya diberangkatkan atas kesepakatan ayah saya dengan Bapak Soekardjo Wiryopranoto.

AJ : Bagaimana keadaan di Jepang pada saat itu?

M : Ketika saya mulai tinggal di Jepang pada tahun 1936, Jepang telah terarah pada militerisasi dari suasana liberal. Semua orang termasuk saya sendiri dituntut untuk menjadi berdisiplin. Di asrama saya, para siswa dibagi dalam kelompok, lalu diberi toban (giliran tugas),seperti: Bagian Pemeras Susu, Bagian Pengedar Koran, Bagian Ternak Babi, Ayam, Kelinci, Bagian Pemeliharaan Kuda dan lain-lain. Toban termasuk bagian sekretariat kepala sekolah. Tidak ada seorang pun yang diistimewakan. Semua siswa mengerjakan apa yang diperintahkan. Ini yang namanya Rosaku-kyoiku (pendidikan bekerja), dan dari situ kita belajar disiplin dan rasa tanggung jawab. Untuk masak pun, kami yang mencari bahan bakarnya dengan menebang pohon-pohon pinus dan membantu juru masak di asrama. Di samping itu, ada juga bimbingan militer setiap hari 2 jam, lalu baru belajar. Beginilah kehidupan saya ketika itu. Dalam lingkungan begitu, saya belajar berbagai aspek sosial-budaya Jepang.

AJ : Apa yang paling mengejutkan di Jepang?

M : Saya terkejut terutama ketika masuk ofuro (tempat pemandian umum; red.) di Jepang, di mana pada saat mandi, orang banyak telanjang mandi bersama-sama. Pertama, saya agak kaku, tetapi lama-lama terbiasa dengan mandi bersama itu. Saya dapat menikmati air panas di onsen (pemandian air panas; red) yang dikelola dengan baik dan tertib, menarik bagi para pengunjung karena unsur-unsur medis.

AJ : Khususnya pelajaran apa yang didapati di Jepang?

M : Ketika saya masih di Indonesia, saya selalu diingatkan sebuah ungkapan dalam bahasa Belanda, yaitu "met den hoed in de hand, komt men door het ganse land" yang artinya, selalu dengan memegang topi dan menempatkannya di dada sendiri menandakan sikap yang baik dan sopan. Di Jepang pun begini (Bapak Mariono duduk tegak; Red.), selalu ditegur "Harus taati tata krama". Kedua istilah dalam bahasa yang berbeda ini sama artinya, dan mempunyai makna universal, yaitu jika kita bersikap sopan santun, kita akan diterima oleh siapa pun dan di mana pun. Sampai saat ini, saya masih tetap memegang pelajaran tersebut.

AJ : Ada lagi yang paling berkesan dalam ingatan Bapak ?

M : Latihan Kendo pada musim dingin, yang dikenal dengan istilah kangeiko. Latihan mulai pukul 4 pagi. Ternyata air yang ditampung di baskom itu beku menjadi es. Kami memecah es dan menggosok-gosokkan badan dengan handuk setelah disirami air es itu, sehingga airnya menguap karena panas badan. Setelah itu baru berlatih kendo di dojo.
Selain itu, kami sering mendatangi kampung-kampung yang jauh untuk memperoleh makanan berupa ubi-ubian, sayuran, beras dan lain-lain sambil menarik troli, karena pada saat perang, sulit sekali mendapatkan makanan di kota. Orang Jepang pun melakukan hal yang sama karena seluruh bangsa Jepang pada saat itu mengalami kemiskinan. Kami, mahasiswa asing juga diperlakukan sama, tidak diistimewakan, mengalami nasib yang sama dengan bangsa Jepang.

Apa yang mengesankan pada masa itu adalah bagaimana orang Jepang memelihara barang-barang dengan baik, karena Jepang berada dalam kondisi miskin. Soal makanan, mereka membagi makanan bersama-sama dengan memotongnya kecil-kecil. Keadaan Jepang pada saat itu sama sekali berbeda dengan citra Jepang yang ditampilkan oleh kalangan muda zaman sekarang.

AJ : Apa kesamaannya antara Jepang sekarang dan Jepang ketika Bapak Mariono berada di sana?

M : Jepang adalah negara yang selalu mengamati perkembangan zaman dan berusaha supaya tidak ketinggalan. Jepang memiliki sudut pandang global dan juga kemampuan untuk mengikuti arus perkembangan zaman. Jepang saat ini telah memiliki ilmu teknologi yang jauh lebih berkembang dibandingkan masa lalu. Hal-hal seperti inilah yang patut kita tiru dan terapkan di Indonesia.

AJ : Apakah ada pesan kepada kaum muda Indonesia?

M : Kepada setiap mahasiswa yang berangkat ke Jepang, saya selalu mengingatkan seperti begini; manfaatkanlah waktumu dari pagi sampai malam untuk belajar tentang Jepang, janganlah bersedih hati meski ada pengalaman pahit, hadapilah dengan tulus dan ikhlas kesulitan-kesulitan itu untuk menjalani hidup, karena untuk itulah kamu diberi kesempatan untuk belajar di Jepang.

Rela mengemban tugas kehidupan,
betapapun tugas itu tidak menyenangkan, pahit, sulit dan kurang bermakna.
Jadilah orang yang paling dulu melakukannya, dan lakukan dengan senyum.
(DR. Kuniyoshi Obara)

Sayang sekali kami tidak dapat mengemukakan semua pengalaman Bapak Mariono yang sangat menarik. Dari pembincangan dengan Bapak Mariono yang mempraktekkan tradisi kebajikan Jepang yang luhur, kami orang Jepang pun dapat belajar tentang banyak hal. Semoga para pembaca memperoleh pengertian tentang Jepang masa lampau yang sedikit berbeda dengan Jepang sekarang.

Sumber: http://www.id.emb-japan.go.jp/aj309_02.html

No comments: