Showing posts with label Serba-serbi Etos Kerja. Show all posts
Showing posts with label Serba-serbi Etos Kerja. Show all posts

Wednesday, December 5, 2007

Etos Kerja Indonesia terburuk di Asia?

MENGAPA investasi asing di Indonesia terus menurun, justru pada saat negara-negara lain mengalami pemulihan, bahkan lonjakan tajam arus masuk investasi? Juga, kenapa investor hengkang, padahal dalam berbagai kesempatan para pejabat pemerintah masih begitu 'pede'-nya menyatakan, Indonesia sangat kompetitif, terutama dengan sumber daya melimpah dan upah buruhnya yang murah?

Memang benar, dari sisi biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalankan usaha (cost of doing business), Indonesia sebenarnya tergolong sangat kompetitif di Asia, seperti ditunjukkan dalam survei Political and Economic Risk (PERC). Sayangnya, sangat kompetitifnya Indonesia dilihat dari biaya untuk menjalankan usaha ini tidak cukup kuat dipakai untuk membujuk investor datang atau bertahan, karena pada saat yang sama risiko politik dinilai masih cukup tinggi.

Upah buruh ternyata juga bukan satu-satunya faktor penentu masuk atau tidaknya investasi, bertahan atau tidaknya investor dan ada atau tidaknya minat investor untuk melakukan ekspansi bisnis di suatu negara.

Dari survei PERC, setidaknya ada tujuh faktor lain yang dianggap penting oleh investor. Faktor-faktor tersebut adalah:

  1. Kemudahan mendirikan usaha,
  2. Ada atau tidaknya diskriminasi terhadap investasi asing yang baru masuk,
  3. Ada atau tidaknya perlakuan sama untuk investor asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal,
  4. Transparansi dalam persetujuan dan izin investasi.
  5. Ramah-tidaknya kebijakan imigrasi,
  6. Ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk menyampaikan keluhannya kepada pemerintah, serta
  7. Tingkat responsivitas (kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor.

Hampir dalam semua aspek tersebut, Indonesia merupakan yang terburuk kedua, setelah Vietnam.

***

KENYATAAN bahwa perusahaan-perusahaan asing selama ini lebih banyak memfokuskan diri pada investasi di sektor padat modal ketimbang padat karya, menunjukkan begitu ruwetnya persoalan yang dihadapi investor di negara ini, sehingga upah buruh murah pun sudah tidak mampu lagi menjadi daya tarik investor.

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja berketerampilan rendah, sehingga produktivitasnya juga rendah. Banyak investor yang mengeluhkan sulitnya mencari, menyewa, atau mempertahankan staf yang berketerampilan tinggi. Sebenarnya investor ingin melibatkan sebanyak mungkin komponen lokal, agar biaya produksi bisa ditekan.

Namun, di Indonesia ternyata ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akibatnya, banyak perusahaan asing akhirnya terpaksa harus menggunakan staf ekspatriat. Selain itu, para investor asing juga resah dengan semakin meningkatnya kecenderungan radikalisme dan aktivisme buruh.

Ini salah satu alasan, mengapa investasi yang masuk lebih banyak di industri-industri ekstraktif, seperti minyak dan gas (migas), yang biasanya berlokasi di wilayah-wilayah yang agak terpencil. Dengan demikian, lebih mudah menghindar dari potensi-potensi kerusuhan sosial, yang biasanya lebih mudah terpicu di daerah perkotaan.

Dilihat dari upah buruh, daya saing Indonesia setara dengan Cina, yakni yang termurah dari 12 negara Asia yang disurvei PERC (yakni Cina, Hongkong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Korsel).

Namun, dari etos kerja, Indonesia ternyata yang terburuk di Asia. Ini tercermin dari skor indeks persepsi Indonesia di mata para ekspatriat yang disurvei yang angkanya 7,50 (dari angka terbaik nol dan terburuk 10 yang dimungkinkan). Sebagai perbandingan, Cina (3,75), Hongkong (2,81), India (6,75), Jepang (1,50), Malaysia (6,00), Filipina (6,20), Singapura (3,00), Korsel (1,50), Taiwan (3,71), Thailand (6,00) dan Vietnam (5,75).

Perbedaan nyata tenaga kerja di Indonesia dengan Cina, menurut seorang guru besar sebuah universitas terkemuka di Jepang, adalah di Cina tenaga kerja dari semua level keterampilan tersedia dalam jumlah melimpah dan juga murah. Persepsi investor terhadap buruh Cina pun cukup baik. Para buruh Cina dikenal sangat rajin, tidak banyak cing-cong dan memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar dan meningkatkan kemampuan dirinya.

Meskipun tingkat upah tenaga kerja untuk level keterampilan tinggi belakangan ini mulai meningkat dengan cepat di Cina, tetap saja besarnya masih relatif rendah untuk standar internasional. Di Malaysia, Filipina, dan India, tenaga kerja berketerampilan tinggi juga tidak sulit dicari. Malaysia memiliki tenaga terampil yang kualitasnya lebih baik dibandingkan kebanyakan negara berkembang Asia lainnya. Hanya sayangnya, jumlahnya terbatas sehingga terjadi kelangkaan suplai tenaga kerja yang menyebabkan upah dengan cepat juga membubung tinggi.

Di Filipina, tenaga kerja merupakan salah satu aset terbaik dan potensi besar perekonomian, karena mereka umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan fasih berbahasa Inggris. Dengan begitu, perusahaan asing yang beroperasi di sana hampir tidak menghadapi kendala dalam hal tenaga kerja.

Di Thailand, kondisinya kurang lebih sama dengan di Indonesia. Langkanya tenaga kerja berketerampilan tinggi ikut menghambat investasi dan ekspansi produksi, meskipun dalam hal tingkat upah buruh dan risiko radikalisme buruh, Thailand sebenarnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Untuk Vietnam, upah buruh sangat rendah, namun kualitas umumnya juga rendah.

Jika dalam hal buruh atau tenaga kerja Indonesia masih lumayan kompetitif di mata investor, tidak demikian halnya jika dilihat dari faktor kepastian hukum. Survei PERC menunjukkan Indonesia yang paling payah dalam hal penegakan hukum, dan kondisi ini tidak berubah sejak krisis.

Payahnya posisi Indonesia ini tercermin dari skor sebesar 9,83 menurut survei yang dipublikasikan akhir Mei 2002. Sebagai perbandingan, Australia (1,08), Cina (8,33), Hongkong (2,81), India (7,00), Jepang (3,67), Malaysia (5,86), Filipina (7,75), Singapura (1,70), Korsel (5,00), Taiwan (6,33), dan Thailand (7,78).

***

Dari angket yang dilakukan Gallup bulan April lalu, hampir dua pertiga (persisnya 73 persen) pengusaha AS di Asia Tenggara merencanakan melakukan bisnis di Asia dalam dua tahun ke depan. Namun, dari jumlah tersebut, dua pertiganya memilih Cina sebagai tempat untuk ekspansi.

Survei yang dilakukan terhadap para anggota Kamar Dagang Amerika (American Chamber of Commerce/Amcham) ini juga menunjukkan hanya 16 persen yang merencanakan untuk merelokasi industrinya atau mengurangi tenaga kerja lokal mereka. Bahkan, 32 persen merencanakan akan menambah staf lokal.

Dari sini terlihat betapa masih tingginya optimisme pengusaha AS terhadap prospek ekonomi kawasan. Lebih dari 50 persen juga yakin bisnis mereka di kawasan masih akan menjadi sumber profit, dan 80 persen yakin laba mereka akan meningkat pada tahun 2003.

Masih tingginya minat ekspansi mengindikasikan secara umum prospek investasi dan ekspansi ekonomi di kawasan masih akan cerah, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Para pengusaha yang disurvei itu sendiri merepresentasikan nilai investasi sekitar 60 milyar dollar di Asia Tenggara.

Hanya sayangnya, momentum bagi Indonesia untuk merebut pangsa yang cukup besar dari investasi asing yang masuk ke Asia itu tampaknya terbentur oleh kendala klasik seperti diungkapkan Kepala BKPM Theo F Toemion. Kendala tersebut yakni faktor keamanan, ketidakpastian hukum, dan risiko politik. Jadi, tidak heran jika tak ada sesuatu lagi yang menarik di mata pengusaha penanaman modal asing (PMA), karena semuanya serba sulit bagi mereka. Kondisi inilah yang membuat mereka memposisikan Indonesia sebagai pilihan yang terakhir untuk mereka masuki. Walaupun dari banyak sisi Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa, tetapi tetap saja Cina menjadi prioritas mereka. (Sri Hartati Samhadi)


Sumber: Kompas, Juli 2002
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=301&coid=2&caid=30


Tuesday, November 6, 2007

Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?

Ketertinggalan Indonesia saat ini membuat kita bertanya, apakah orang Indonesia tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita "bernasib" seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya.

Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:

Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.

Yu
- berani dan bersikap kesatria

Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama

Re - bersikap santun, bertindak benar

Makoto
- bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih

Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta

Chugo - mengabdi dan loyal.


Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip :
  1. bertindak rasional,
  2. berdisiplin tinggi,
  3. bekerja keras,
  4. berorientasi pada kekayaan material,
  5. menabung dan berinvestasi, serta
  6. hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?

Ethos Kerja Indonesia

Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.

Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.

Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.

Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.

Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.

Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Nalar

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.

Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.

“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world."

Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.

Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.

Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.

Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne dalam bukunya Within Reason sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.

Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:

“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . "

Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals.

Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:

Immature love says: ''I love you because I need you'',
Mature love says:"I need you because I love you".

Sumber: Kusmayanto Kadiman, Menristek RI
http://www.netsains.com/index.php/page_info/pid_173

Friday, November 2, 2007

Etos Kerja bangsa Finlandia

Finlandia, salah satu negara di kawasan Skandinavia, selalu menjadi contoh menarik dalam hal penegakan hukum. Angka kriminal hampir nol, begitu pula dengan tindak pidana korupsi.

Negara-negara yang hendak menekan angka korupsi suka datang ke negara yang dekat kutub ini untuk studi perbandingan. Para pendatang itu berusaha mengetahui kiat antikorupsi yang dikembangkan Finlandia. Akan tetapi, dalam kenyataannya, sangat sedikit yang mampu seperti Finlandia karena yang diambil dari negara ini adalah undang-undang dan kiatnya, bukan spirit hidup bersih dan kulturnya.

Finlandia, negara seluas 338.145 kilometer persegi (hampir seluas Jerman), berpenduduk 5,2 juta jiwa. Produk utamanya adalah hasil hutan, kerajinan, dan beberapa jenis industri presisi, perangkat otomotif, dan telepon seluler.

Sebagai negara kesejahteraan (welfare state), Finlandia dapat disebut sebagai negeri ”aneh”. Perdagangan berlangsung dalam ritme lamban. Jalan-jalan di kota, sebutlah misalnya di Helsinki (berpenduduk 520.000 jiwa), lengang. Hari Sabtu dan Minggu libur kerja. Pusat perbelanjaan buka antara jam 10.00-11.00 dan tutup antara pukul 19.00 sampai 21.00.

Pada hari Sabtu dan Minggu, suasana kota terasa sangat sepi. Di beberapa bagian kota bahkan seperti kuburan. Hanya beberapa trem yang lalu-lalang mengelilingi kota, tanpa penumpang. Bandara Internasional Helsinki juga sepi. Pukul 21.00 sebagian sudut bandara sudah senyap dan gelap. Sejumlah toko bahkan sudah tutup sejak pukul 19.00. Di pusat kota Helsinki terdapat beberapa kafe dan kelab malam yang baru dibuka sepuluh tahun terakhir. Sebelumnya, Helsinki termasuk ”kuper” dalam hal fasilitas hiburan.

Namun, yang kemudian membuat banyak negara lain terkagum-kagum, di balik sepinya suasana, rileksnya penduduk negara itu bekerja, dan di balik tidak variatifnya sumber daya alam, pendapatan per kapita Finlandia mencapai 28.500 dollar AS, atau salah satu yang terbaik di dunia.

Apa yang menyebabkan negara ini kaya dan bersih? ”Kami tidak suka hidup berlebihan,” kata Hans Markele, usahawan di Helsinki.

Menurut Hans, warga Finlandia terbiasa tidak banyak kebutuhan. Terbiasa dalam semangat hidup sederhana. Punya satu mobil dan dua sepeda, ya sudah cukup. Tidak perlu sampai memiliki 10 mobil sebab yang dipakai cuma satu. Satu mobil pun kerap terasa berlebihan sebab transportasi umum di Helsinki cukup baik. Warga Helsinki terbiasa dalam kultur hidup tidak berlebihan. Sebagian di antara penduduk Finlandia dikenal religius. Rumah-rumah ibadah di sana tetap penuh meski salju turun amat lebat dan suhu mencapai minus 30 derajat Celsius.

Spirit hidup tidak berlebihan, tidak suka banyak kebutuhan, dan tidak menyukai barang bukan miliknya, inilah yang memberi makna pada negara Finlandia. Negeri itu mendekati bersih dari tindak kejahatan. Korupsi nyaris nihil.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Finlandia adalah rakyat yang hidup bersih, korupsi hampir nol, ada supremasi hukum, menjadi faktor amat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ekonomi tumbuh dengan amat mulus. Semua proses produksi berjalan efisien. Finlandia terkesan tidak perlu mengeluarkan banyak keringat, tetapi negaranya kaya-raya. Rakyat hidup dalam kecukupan.

Apa yang terjadi di Finlandia sejalan dengan apa yang kerap disampaikan oleh tokoh besar hukum ekonomi Indonesia, Prof Dr Charles Himawan (alm).

Teori Himawan, seperti yang kerap ia sampaikan dalam bukunya, Hukum sebagai Panglima, ialah perekonomian baru bisa bagus dan pertumbuhan ekonomi akan mencapai persentase tinggi apabila ada supremasi hukum. Supremasi hukum bisa muncul apabila semua aparat penegak hukum, terutama hakim, menjalankan fungsinya sebaik-baiknya. Hakim menunaikan tugasnya berdasarkan kaidah hukum, kearifan, dan nurani seorang hakim.

Himawan memberi contoh Singapura dan Amerika Serikat. Dua negara itu meraih kegemilangan ekonomi setelah secara konsisten melakukan penegakan hukum. Negara-negara maju Eropa dan Jepang juga meraih prestasi yang sama karena memberi perhatian besar pada aspek hukum.

Supremasi hukum dipastikan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi karena dapat membuang semua kolusi dan nepotisme. Supremasi hukum tidak membolehkan ada praktik penyuapan, uang semir, dan sebagainya. Ini membuat semua kegiatan ekonomi berjalan mulus. Tidak ada yang menjadikan tugasnya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain.

Tegaknya hukum akan membuat semua perselisihan diselesaikan menurut aturan yang berlaku. Tidak ada intervensi atau upaya suap dari mana pun. Jika semua perselisihan ekonomi dapat diselesaikan secara baik oleh aparat hukum, maka hukum berwibawa. Semua bisnis dapat berjalan tanpa hambatan. Dan kalau semua bisnis dijalankan dengan amat baik, ekonomi pasti berjalan dalam kecepatan amat tinggi.

Beda pendekatan

Raksasa ekonomi dunia, Republik Rakyat China, termasuk di antara negara maju yang mati-matian melawan tindak kriminal dan korupsi. China-lah satu-satunya negara di dunia yang paling royal menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor. China tidak main tebang pilih seperti Indonesia. Siapa pun yang terbukti bersalah dijatuhi vonis mati.

Semasa Zhu Rongji menjadi Perdana Menteri China, sikap keras terhadap koruptor bahkan lebih hebat. Ia menyatakan, ”Sediakan 1.000 peti mati untuk koruptor kelas kakap. Pakai 999 peti mati, sisanya satu untuk saya. Kalau kelak saya terbukti korup, masukkan saya ke peti itu.”

Zhu serius dengan pernyataannya itu. China menjadi negara yang sangat bengis bagi pencuri uang rakyat. China tidak peduli dengan kritik para pejuang hak asasi manusia bahwa hukuman mati sudah tidak zamannya lagi dan bahkan sangat melanggar peradaban. Akan tetapi, apakah korupsi di sana berhenti? Tidak.

Korupsi tetap subur, dan bersamaan dengan itu aparat hukum tetap dengan pekerjaannya, menjatuhkan hukuman mati terhadap siapa saja, termasuk pejabat teras, yang korupsi dalam jumlah besar. China selalu berpendapat bahwa sikap tegas tersebut pada saatnya akan menjerakan.

Akan tetapi, kalau korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di China masih berlangsung, mengapa perekonomian China dapat melesat demikian cepat? Ini menarik dikaji, tetapi yang jelas, dengan hukum yang belum sepenuhnya mulus saja ekonomi bisa melesat seperti itu, bagaimana kalau penegakan hukum di China sudah sama dengan di Amerika Serikat, misalnya. Ekonomi China bisa terbang.

China, seperti diketahui, bisa sukses di bidang ekonomi karena mempunyai fondasi yang amat kokoh. Kendati sempat hancur pada Revolusi Kebudayaan (1966-1976), China tetap mempunyai sumber daya manusia yang amat kuat. Rakyat China mempunyai kultur bisnis yang sangat mengakar sejak ribuan tahun lalu. Pemerintah China hanya butuh ”menyetel” tubuh rakyatnya, dan semua bakat rakyat langsung bangkit. Rakyat China pun mempunyai kultur dan etos kerja yang amat kuat.

Dunia kemudian tercengang-cengang menyaksikan kebangkitan ekonomi China dalam rentang waktu yang amat cepat. Karena bisa dikatakan mulai dari titik nol pada tahun 1978. Kurang dari sepuluh tahun negara ini sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, hanya di bawah Amerika Serikat. Jangan lupa, negara ini mampu memberi makan kepada 1,2 miliar penduduknya.

Soal etos sebagai faktor, diutarakan dengan jelas oleh seorang pembicara. Ia menyatakan, nilai-nilai budaya harus diterjemahkan menjadi etos supaya berfungsi. Diskusi mengenai etos masih tetap berjalan dalam kalangan ilmuwan sosial. Etos adalah perumusan tentang apa yang dianggap paling penting oleh sekelompok orang untuk pekerjaan yang dijalankannya, dan tingkah laku untuk mencapai kepentingan tersebut. Etos pun akan menetapkan segala sesuatu yang tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau profesi.

Etos tidak persis sama dengan etika yang merupakan teori tentang baik dan buruk. Etos lebih menekankan pada apa yang penting dan pantas dilakukan atau tidak pantas dilakukan. Etos yang dimaksud itulah agaknya yang menjadi kultur di China sehingga etos menjadi faktor sangat dominan dalam proses produksi di China.

Mulai dari diri sendiri

Dua contoh tentang besarnya peran hukum dalam bidang ekonomi tersebut, Finlandia dan China, bisa menjadi refleksi bagi bangsa Indonesia. Pelajaran berharga yang bisa dipetik adalah konsistensi sebuah sikap. Hukum bukan menjadi kumpulan pasal peraturan, tetapi dijalankan secara konsisten.

Hukum hanya mengenal warna hitam dan putih, benar dan salah. Tidak ada warna abu-abu dan tidak ada merah atau hijau. Tidak ada setengah benar dan setengah salah. Hukum di sini selalu memandang semua orang sama di depan hukum.

Prinsip ini dipegang teguh sejak dari proses penyelidikan, penyidikan, peradilan, dan penjatuhan hukuman. Para aparat hukum bekerja dengan etos kerja yang jelas. Hakim dalam menjatuhkan putusan dipandang ”mewakili” Tuhan menghukum orang-orang yang bersalah.

Dalam bayangan para penegak hukum dan para perancang undang-undang, Indonesia akan meraih sukses luar biasa kalau hukum ditegakkan. Tegaknya supremasi hukum, seperti dipaparkan pada bagian awal tulisan ini, bukan saja berpengaruh kuat pada ketertiban serta pemerintah yang berwibawa, tetapi juga terutama menjadi penopang kinerja perekonomian negara.

Artinya, kalau hukum tegak, tidak ada uang semir, tidak ada KKN, ekonomi akan berjalan dengan amat baik. Semua perselisihan bisnis, perselisihan kontrak, wanprestasi, serta percekcokan debitor dan kreditor akan selesai melalui koridor institusi hukum. Tidak ada ”ekonomi biaya tinggi” di badan peradilan. Para pihak yang berselisih tidak perlu menyediakan anggaran khusus untuk uang semir bagi jaksa, polisi, panitera, dan hakim.

Para penegak hukum ini pun bisa leluasa menjalankan tugasnya karena mereka tidak perlu silau oleh penyuapan, koncoisme, dan kolusi. Hakim enteng saja menjalankan putusan sesuai dengan hati nurani dan hukum yang berlaku. Polisi atau jaksa enteng menyidik para tersangka dan saksi suatu perkara.

Aspek-aspek ini kelihatan sangat sederhana, tetapi pelaksanaannya sangat sulit. Buktinya, sejak tahun 1945 Indonesia sudah mencanangkan ”dunia peradilan bersih dari uang sogokan”, tetapi ternyata tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya. Lihatlah, berapa banyak polisi, jaksa, dan hakim yang diadili. Yang diadili pun yang kebetulan ketahuan. Bagi yang tidak ketahuan, ia bisa melenggang dengan uang haramnya.

Dalam pemikiran kritis, persoalan ini hendaknya mulai dibenahi mulai hari ini agar ada target dan sasaran yang sangat jelas. Pada tahun 2010, misalnya, peradilan Indonesia sudah jauh lebih baik. Tahun 2015 bebas dari segala bentuk penyuapan dan ”biaya perkara”. Tahun 2030, supremasi hukum di Indonesia sudah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

Dari mana memulainya? Dari diri sendiri, termasuk dari para pemimpin bangsa. Pemimpin yang tidak korup akan diikuti oleh menterinya, gubernur, wali kota, bupati, camat, lurah, kepala desa, sampai seluruh perangkat negara. Pada saatnya semua orang malu untuk korupsi. Malu untuk merebut uang rakyat, uang yang bukan menjadi haknya.

Faktor pemimpin selalu menjadi aspek menentukan. Kalau pemimpinnya baik, ia selalu menjadi teladan yang hebat. Sebaliknya, kalau pemimpinnya lalim, sebutlah seperti Hitler dan Polpot, negara dan aparatnya akan sangat kejam. Jutaan orang mati percuma.

Kalau seorang pemimpin berani dan visioner, sebutlah seperti Deng Xiaoping, negara akan sangat berprestasi. Bayangkan, ia bisa menemukan sistem yang memadukan sistem komunis dan mekanisme pasar. Ia bisa membawa China yang hancur akibat revolusi kebudayaan menjadi negara pemegang supremasi ekonomi dunia.

Para pemimpin Indonesia pun bisa melakukannya. Kesempatan untuk memberi yang terbaik untuk rakyat masih terbuka lebar. Cobalah.

Sumber: Abun Sanda, Hukum Tegak, Perekonomian Lancar
www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2662916.htm - 52k -

Belajar dari Korea

Setiap kali berkunjung ke Korea (Selatan), saya selalu terpesona melihat negara yang kini menyebut diri sendiri sebagai 'dynamic Korea, the hub of Asia', Korea yang dinamis, pusat Asia. Setelah datang ke Seoul, ibu kota Korea pada Mei 2003 untuk menyajikan makalah dalam Konferensi Internasional Anti-Korupsi, pekan keempat November (22-27/11/2005), saya kembali ke Korea atas undangan Pemerintah Korea. Korea Foundation yang mengatur acara kunjungan tersebut menjadwalkan saya bertemu dengan rektor sejumlah perguruan tinggi top Korea, dan dengan pejabat-pejabat tinggi bidang kerja sama internasional Korea dan juga mengunjungi beberapa objek penting.

Sejauh menyangkut pembangunan ekonomi, Korea punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Secara tradisional, ekonomi Indonesia dan Korea sama-sama bertumpu pada pertanian; dan baru sejak akhir 1960-an dan 1970-an sama-sama berusaha melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri. Tetapi jelas, Korea Selatan sangat berhasil dalam pembangunan ekonomi dan industrinya, meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Berbagai produk Korea dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor semakin mengglobal. Keberhasilan ini membuat Korea mendapat julukan 'the miracle on the Hangang river', keajaiban di Hangang, sungai terbesar di 'Negeri Ginseng' ini.

Pada tahap awal pengembangan industri, sains, dan teknologi, Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang. Bahkan, Korea kini bertekad tidak hanya menjadi pusat industri dan teknologi terkemuka di dunia, tetapi juga tempat 'industri otak' untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Sampai akhir 2002 saja, Korea telah membelanjakan dana sekitar 15,1 miliar dolar AS untuk kepentingan litbang sains dan teknologi.

Korea dan Indonesia pernah sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi yang melanda banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak 1997. Tetapi, jika Indonesia sampai sekarang ini masih bergulat dengan krisis ekonomi dengan berbagai dampak sosialnya, Korea sudah sepenuhnya mengalami economic recovery. Ekonomi Korea kembali booming dengan mengembangkan struktur ekonomi yang sesuai dengan advanced economy.

Banyak faktor penting yang menyebabkan Korea bisa cepat pulih dari krisis ekonomi. Pertama adalah kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam berbagai level pemerintahan dan masyarakat. Banyak orang Korea menilai, salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun yang berkuasa sejak 25 Februari, 2003 adalah kesuksesannya dalam gerakan antikorupsi dan penguatan good governance.

Kedua adalah nasionalisme ekonomi yang bernyala-nyala dalam masyarakat Korea. Dominasi produk-produk Korea, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor, terlihat jelas di pasar. Di jalan raya, hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang adalah bikinan Korea sendiri; mobil impor hanya satu dua saja. Dalam pekan-pekan terakhir ini, bahkan demonstrasi marak di Korea memprotes pembukaan pasar Korea bagi beras impor, yang bisa dipastikan mengancam beras dalam negeri.

Ketiga adalah 'etos kerja' dan disiplin sosial kuat yang dimiliki masyarakat Korea. Orang-orang Korea terkenal sebagai pekerja keras dan tekun. Ini terlihat bukan hanya di Korea, tetapi juga di kalangan para perantau Korea, misalnya di Amerika Serikat, yang bergerak misalnya dalam penjualan greeneries, 'hijau-hijauan', yakni sayuran dan buah-buahan.

Kunci utama dari semua itu adalah pendidikan. Lagi-lagi, sama dengan Indonesia, Korea baru dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih universal setelah kemerdekaan pada 1948 usai Perang Dunia II. Tetapi, jelas Pemerintah Korea memberikan perhatian sangat besar pada pendidikan; sejak 1953, misalnya, pemerintah sudah memberlakukan program wajib pendidikan dasar enam tahun. Wajib belajar sembilan tahun --ditambah tiga tahun pendidikan menengah pertama-- baru diperkenalkan pada 2002.

Pendidikan tingkat universitas hanya mungkin jika siswa sekolah menengah atas lulus ujian akhir. Karena itu, masa di SMA merupakan masa yang sangat menentukan bagi masa depan remaja Korea. Gagal ujian akhir SMA berarti gagal masuk universitas; dan gagal masuk universitas berarti masa depan yang kurang cemerlang.

Universitas-universitas Korea umumnya memiliki berbagai fasilitas jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi (PT) Indonesia. Karena itu, tidak heran kalau mereka dapat menjadi PT berkualitas tinggi. Sekali lagi, kalau Indonesia mau belajar dari Korea, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada pendidikan.

Sumber: Azyumardi Azra (Rektor UIN Jakarta-Dewan Pers Nasional)

Etos Kerja Bangsa Jerman

Duabelas tahun periode Adolf Hitler merupakan aib bagi bangsa Jerman yang sebelumnya dikenal sebagai negara yang telah melahirkan filsuf-filsuf besar, penulis, komposer, dan ilmuwan setara Albert Einstein. Sisi gelap itu terus membayangi bangsa ini, hingga kini.

”Mungkin akan sulit bagi orang asing untuk mengerti betapa beban masa lalu itu telah memengaruhi bangsa Jerman di segala hal,” kata Klaus Liedtke, Pemimpin Redaksi National Geographic Jerman, yang dilahirkan pada tahun 1944. ”Selama 20 tahun pertama setelah perang berakhir, kami selalu dihadapkan dan diingatkan pada rasa bersalah itu dan kami tidak bisa hidup normal,” katanya. ”Tahun-tahun kehidupan awal saya sangat berat. Saya selalu merasa malu dengan negara saya. Dan di sekolah semua keburukan ini diajarkan dan ditanamkan. Sulit bagi kami untuk merasa bangga terhadap negara ini. Karena yang orang luar lihat tentang Jerman hanyalah 12 tahun masa kepemimpinan Hitler, bahwa Jerman adalah negara yang menyerang Eropa dua kali dan melakukan kejahatan perang,” ujarnya.

Berdasarkan survei yang dilakukan Eurobarometer, Jerman memiliki peringkat terendah di antara 25 anggota Uni Eropa dalam hal kebanggaan nasional (national pride). Sedangkan survei yang dilakukan majalah Spiegel terhadap 1.000 responden bulan Maret 2005 menunjukkan bahwa nilai ”kesadaran nasional” (national consciousness) merupakan nilai yang paling rendah (26-31 persen) di antara nilai-nilai lainnya yang dianggap penting dalam kehidupan rakyat Jerman. Nilai yang tertinggi peringkatnya adalah kejujuran dan integritas (81-83 persen).

Adakah ini semua berkaitan dengan beban sejarah itu? ”Ya. Setelah perang dunia berakhir, kami berhasil dengan baik di bidang ekonomi, tapi kami tak terlalu berhasil dalam cara kami memperlakukan masa lalu,” kata Marianne Zepp, Ketua Departemen Sejarah dan Demokrasi dari Heinrich Boll Foundation. Zepp menganggap sisi gelap sejarah Jerman sebagai ”bagian dari identitas” bangsanya. Sisi ini akan muncul ke permukaan setiap kali warga Jerman dihadapkan pada pertanyaan menyangkut perang dan perdamaian, isu Israel dan Yahudi, ataupun isu rasisme dan radikalisme.

Generasi pasca-Perang Dunia II adalah yang paling merasakan beban ini karena setidaknya ada anggota keluarga mereka yang ”tersangkut” dengan aib itu. Prof Dr Wolfgang Wippermann, ahli sejarah modern dari Friedrich-Meinecke Institut, Freie Universitat Berlin, mengenang betapa ia dan rekan segenerasinya sulit untuk terbebas dari ikatan ”keterlibatan” itu.

”Saat itu saya masih mahasiswa. Pada sebuah pertemuan anti-fasisme di tahun 1970-an, saya mengajukan usul agar kita berbicara tentang generasi orangtua kita. Saya katakan bahwa ayah saya adalah kapten di militer Jerman (SS, Schutz-Staffel), lalu orang di sebelah saya mengatakan, oh ayah saya kolonel di situ, lalu ada juga yang mengatakan bahwa ayahnya adalah pejabat penting dalam kepemimpinan Nazi, sampai akhirnya seorang politisi ternama dari Partai Hijau angkat bicara dan mengatakan, ayah saya adalah Albert Speer (arsitek yang dikagumi Hitler dan sejak 1933 membangun gedung-gedung representatif di Berlin, Munchen, dan Nuernberg—Red),” kata Wippermann.

”Kesimpulannya, seluruh generasi kami adalah anti-fasis, namun mereka memiliki fascist relation. Ini mungkin sebuah kesalahan yang menjadi penyebab mengapa kita tidak terlalu sukses di tahun 1960-an untuk mengajari masyarakat bagaimana berhadapan dengan masa lalu,” katanya.

Proses panjang

Penerimaan terhadap aib di masa lalu menjadi sebuah proses panjang dan bertahap. Usai PD II negeri ini hancur berkeping-keping dan ada sekitar 10 juta penduduk yang kehilangan tempat tinggal. Belum lagi para pengungsi yang terusir dari kediamannya setelah wilayah Jerman dipangkas berdasarkan kesepakatan Postdam. Rakyat Jerman memang tak memiliki pilihan. Untuk bisa bertahan hidup, mereka harus bangkit dan berkonsentrasi penuh pada gagasan ”pembangunan kembali”. Membangun kembali ekonomi, kota-kota yang hancur, dan tentunya membangun kembali kehidupan mereka.

”Rakyat Jerman harus bekerja untuk bertahan hidup. Selama 30 tahun mentalitas ini berkembang bahwa Anda harus bekerja keras setiap hari, bahwa Anda harus menciptakan keajaiban ekonomi, dan seandainya Anda berhasil mungkin tetangga-tetangga Anda akan melupakan kejahatan yang telah Anda lakukan di PD II. Dengan kata lain, rakyat Jerman saat itu telah membantu memunculkan etos negeri ini yang dikaitkan dengan kerja keras dan mengejar pertumbuhan ekonomi,” kata Klaus Liedtke.

Pihak Sekutu mengerahkan segala cara agar militerisme Jerman tidak bisa bangkit lagi, antara lain melalui ”De-Nazifikasi”. Di satu sisi, Sekutu ingin ”menghukum” Jerman, tapi di sisi lain mereka juga berhati-hati dalam langkahnya agar rakyat tidak berpaling pada komunisme jika perekonomian memburuk.

Perang Dingin pada akhirnya mengubah pendekatan Sekutu. Hal itu tercermin dalam kebijakan ekonomi yang diterapkan melalui Marshall Plan atau Europe Recovery Programme. Pada intinya, AS menganggap bahwa sebuah Eropa yang sejahtera membutuhkan kontribusi ekonomi dari sebuah ”Jerman yang stabil dan sejahtera”.

Marshall Plan telah ”berjasa” dalam hal mendepolitisasi industri, di mana industri lebih terfokus pada peningkatan produktivitas. Karyawan yang rela digaji rendah, tingkat aksi pemogokan yang rendah, dan menurunnya karakter militansi dalam tubuh asosiasi buruh, ikut mempercepat pergerakan ekonomi di Jerman. Inilah yang disebut psikologi ”rebuilding”. (Mary Fulbrook, hal 182).

”Jangan lupa, bangsa Jerman tidak bangkit dengan sendirinya. Selain ada Marshall Plan, Jerman juga memperoleh keuntungan dari Perang Korea tahun 1950 dan Perang Vietnam,” kata Sven Hansen, editor Asia-Pasifik surat kabar Die Tageszeitung.

Kesuksesan ekonomi menjadi faktor signifikan dalam mengarahkan rakyat Jerman untuk komit terhadap nilai-nilai demokrasi. ”Demokrasi bukan hanya soal parlemen atau pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Demokrasi juga sangat terkait dengan masa lalu sebuah bangsa dan ketika kita menyadarinya bahwa kesalahan itu tidak boleh terjadi lagi,” kata Wippermann yang bangga bahwa para mahasiswanya yang berusia 30 sampai 40 tahun lebih muda dari dirinya dan sama sekali tak memiliki kontak dengan periode Hitler, tetap kritis dalam menilai sejarah Jerman.

Tujuan kita bukanlah bagaimana menguasai masa lalu, tapi bagaimana kita belajar dari sejarah, dan kemudian menjadikannya sebagai bagian integral dari identitas nasional kita,” lanjutnya.

Inilah hasil demokrasi yang sesungguhnya. Sebuah proses yang patut ditiru bangsa kita yang sangat mudah melupakan masa lalu.

Sumber: Kompas, Bangsa yang Melawan Pelupaan - Myrna Ratna

Etos Kerja & Keunggulan Sebuah Bangsa

Majalah Asiaweek baru baru ini telah membuat ranking kota kota seluruh Asia, sekaligus juga statistik perekonomiannya berdasarkan "good governance" (pemerintahan yang baik).

Alangkah sedihnya kita melihat Jakarta termasuk keenam dari bawah di antara 40 kota yang diteliti secara ilmiah berdasarkan 8 tolok ukur: Rule of Law, Transparansi, Responsif, Konsensus, Kemerataan, Efektif dan Efisiensi, Visi strategis.

Jepang merebut nomor 1 sampai 3: Tokio, Fukuoka dan Osaka.

Nomor wahid di Asia adalah Tokio, Fukuoka (Jepang), Osaka (Jepang), Singapura, Taipeh, Georgetown (Penang), Hongkong, Bandar Seri Begawan (Brunei), Kualalumpur, Beijing, demikianlah the best ten.

Tragis sekali Jakarta jatuh di nomor 35 dibawah Bangalore, Kathmandu, Chongging, Yangon, Chittagong.................

Kota komunis Ho Chi Minh saja masih dapat nomor 23, Kuching no 11, Cebu City no14, Manila no 16, Davao City no 19.

Dalam perekonomian kita pun paling meyedihkan: pertumbuhan GDP minus17.4%, cadangan devisa kecuali emas, minus$3.8 milyar.

Dalam perbandingan GDP kita hampir sama dengan Filipina yang praktis tidak mempunyai sumber alamiah sekaya kita $3,520 dan GNP per kapitanya $1.203 sedangkan kita punya GDP $3750 tapi GNP per kapita hanya $981.

Myanmar saja masih punya GNP per kapita $753, Afghanistan yang tidak punya ekonomi masih $720, Srilangka $805, India dan RRC karena penduduknya masing masing hanya $387 dan $738.

GDP per kapita nomor wahid adalah AS $30.025 disusul Singapura $28.235, Swiss $26.170, Hongkong $24.550, Kanada $23.125, Jepang $23.105, Prancis $22.520, Italia $21.815, Inggeris $20.755.

Yang paling tinggi GNP per kapitanya adalah: Swiss $36,857, Jepang $33.800, Singapura $31.900, AS $29.950. Suatu hal yang patut dikagumi, Singapura dapat mengatasi AS dan menyusul Jepang.

Yang paling rendah GNP perkapitanya: Afghanistan yang memang tidak punya ekonomi samasekali, $150, Nepal $225, Kamboja $270, Vietnam $280, Bangladesh $283, Nigeria $340, India $387.

Dalam persentase, pertumbuhan paling tinggi secara ironis dicapai oleh Vietnam, 8.8%, RRC 7.6%, Laos 7.2%, Bhutan 6.6%, Srilangka 6.3%, Afghanistan 6%.

Yang paling parah adalah Indonesia minus17.4%, Malaysia -6.8%, PNG -6.5%, Thailand -6%.

Betapa buruknya nasib kita di tengah bangsa bangsa di Asia ini, namun masih saja kita cakar cakaran, bunuh bunuhan, saling mendongkel, saling nangkring, dan KKN tetap merajalela menurut laporan BPKP kepada DPR sudah mencapai Rp1.7 trilyun dalam masa 6 bulan rejim Habibie ini. Dengan demikian tetap kita menyia nyiakan pinjaman baru dari IMF sedangkan seluruh dunia berebut minta pinjaman IMF yang semakin sulit itu.

Bilakah kita akan mulai membangun kembali ekonomi yang sedah sekarat, 100 juta melarat, 20 juta kelaparan, situasi sosial semakin mendidih karena perekonomian semakin buruk terpuruk.

Pemilu yang merupakan satu satunya jalan untuk mengatasi krisis ekonosospol dewasa ini masih saja diundur undur, UU nya tetap mau digunakan untuk mempertahankan statuskuo melawan reformasi total.

Kita sudah mau masuk kedalam jurang yang tak ketahuan dalamnya (bottom-less pit) dan sejauh ini tidak ada pemimpin yang muncul untuk mengatasinya.

Sumber: H.S. Hidayat Supangkat
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/12/08/0012.html)