Friday, November 2, 2007

Belajar dari Korea

Setiap kali berkunjung ke Korea (Selatan), saya selalu terpesona melihat negara yang kini menyebut diri sendiri sebagai 'dynamic Korea, the hub of Asia', Korea yang dinamis, pusat Asia. Setelah datang ke Seoul, ibu kota Korea pada Mei 2003 untuk menyajikan makalah dalam Konferensi Internasional Anti-Korupsi, pekan keempat November (22-27/11/2005), saya kembali ke Korea atas undangan Pemerintah Korea. Korea Foundation yang mengatur acara kunjungan tersebut menjadwalkan saya bertemu dengan rektor sejumlah perguruan tinggi top Korea, dan dengan pejabat-pejabat tinggi bidang kerja sama internasional Korea dan juga mengunjungi beberapa objek penting.

Sejauh menyangkut pembangunan ekonomi, Korea punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Secara tradisional, ekonomi Indonesia dan Korea sama-sama bertumpu pada pertanian; dan baru sejak akhir 1960-an dan 1970-an sama-sama berusaha melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada industri. Tetapi jelas, Korea Selatan sangat berhasil dalam pembangunan ekonomi dan industrinya, meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Berbagai produk Korea dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor semakin mengglobal. Keberhasilan ini membuat Korea mendapat julukan 'the miracle on the Hangang river', keajaiban di Hangang, sungai terbesar di 'Negeri Ginseng' ini.

Pada tahap awal pengembangan industri, sains, dan teknologi, Korea memang lebih banyak mengambil alih dari negara-negara lebih maju; tapi sejak akhir dasawarsa 1980-an Korea juga terus bergerak menjadi 'inventors', penemu, bukan sekadar peniru dengan meningkatkan research and development (R&D) atau litbang. Bahkan, Korea kini bertekad tidak hanya menjadi pusat industri dan teknologi terkemuka di dunia, tetapi juga tempat 'industri otak' untuk menghasilkan temuan-temuan baru dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Sampai akhir 2002 saja, Korea telah membelanjakan dana sekitar 15,1 miliar dolar AS untuk kepentingan litbang sains dan teknologi.

Korea dan Indonesia pernah sama-sama mengalami krisis moneter dan ekonomi yang melanda banyak negara Asia dan Amerika Latin sejak 1997. Tetapi, jika Indonesia sampai sekarang ini masih bergulat dengan krisis ekonomi dengan berbagai dampak sosialnya, Korea sudah sepenuhnya mengalami economic recovery. Ekonomi Korea kembali booming dengan mengembangkan struktur ekonomi yang sesuai dengan advanced economy.

Banyak faktor penting yang menyebabkan Korea bisa cepat pulih dari krisis ekonomi. Pertama adalah kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk menghapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam berbagai level pemerintahan dan masyarakat. Banyak orang Korea menilai, salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden Roh Moo-hyun yang berkuasa sejak 25 Februari, 2003 adalah kesuksesannya dalam gerakan antikorupsi dan penguatan good governance.

Kedua adalah nasionalisme ekonomi yang bernyala-nyala dalam masyarakat Korea. Dominasi produk-produk Korea, khususnya elektronik dan kendaraan bermotor, terlihat jelas di pasar. Di jalan raya, hampir seluruh kendaraan yang lalu lalang adalah bikinan Korea sendiri; mobil impor hanya satu dua saja. Dalam pekan-pekan terakhir ini, bahkan demonstrasi marak di Korea memprotes pembukaan pasar Korea bagi beras impor, yang bisa dipastikan mengancam beras dalam negeri.

Ketiga adalah 'etos kerja' dan disiplin sosial kuat yang dimiliki masyarakat Korea. Orang-orang Korea terkenal sebagai pekerja keras dan tekun. Ini terlihat bukan hanya di Korea, tetapi juga di kalangan para perantau Korea, misalnya di Amerika Serikat, yang bergerak misalnya dalam penjualan greeneries, 'hijau-hijauan', yakni sayuran dan buah-buahan.

Kunci utama dari semua itu adalah pendidikan. Lagi-lagi, sama dengan Indonesia, Korea baru dapat menyelenggarakan pendidikan yang lebih universal setelah kemerdekaan pada 1948 usai Perang Dunia II. Tetapi, jelas Pemerintah Korea memberikan perhatian sangat besar pada pendidikan; sejak 1953, misalnya, pemerintah sudah memberlakukan program wajib pendidikan dasar enam tahun. Wajib belajar sembilan tahun --ditambah tiga tahun pendidikan menengah pertama-- baru diperkenalkan pada 2002.

Pendidikan tingkat universitas hanya mungkin jika siswa sekolah menengah atas lulus ujian akhir. Karena itu, masa di SMA merupakan masa yang sangat menentukan bagi masa depan remaja Korea. Gagal ujian akhir SMA berarti gagal masuk universitas; dan gagal masuk universitas berarti masa depan yang kurang cemerlang.

Universitas-universitas Korea umumnya memiliki berbagai fasilitas jauh lebih baik dibanding perguruan tinggi (PT) Indonesia. Karena itu, tidak heran kalau mereka dapat menjadi PT berkualitas tinggi. Sekali lagi, kalau Indonesia mau belajar dari Korea, sudah sepatutnya memberikan perhatian lebih serius pada pendidikan.

Sumber: Azyumardi Azra (Rektor UIN Jakarta-Dewan Pers Nasional)

1 comment:

Anonymous said...

Salut, dari semula salah satu negara pertanian tradisional paling miskin yang baru bangkit dari puing-puing Perang Korea dan penjajahan Jepang, menjadi negara industri modern paling dinamis dan diperhitungkan di dunia.