Wednesday, November 28, 2007

Rahmat : Unsur Yang Hilang Dari Dunia Kerja

Tersebutlah kisah seorang manajer yang gagal memimpin sebuah projek sehingga perusahaannya rugi lebih sejuta dolar. Tom Watson, pendiri IBM yang legendaris itu, kemudian memanggilnya. Merasa bahwa dirinya akan dipecat, si manajer mendahului vonis sang bos dengan berkata, "Tuan, silakan memecat saya, I deserve it, saya memang gagal." Tanpa diduga Tom Watson membentak, "Gila lu! Kamu satu-satunya karyawan yang telah disekolahkan dengan biaya sebesar itu, kamu pikir saya tolol mau memecatmu?"

Konon, manajer yang mendapat pengampunan ini, kelak menjadi salah satu manajer terbaik di IBM, antara lain dengan menyumbang jauh lebih besar daripada uang sekolahnya. Inilah kisah yang telah diulang-ulang orang dengan berbagai versi sampai kita tidak tahu lagi versi mana yang benar. Tentu dengan berbagai pesan pula. Tetapi kali ini saya mau pakai sebagai ilustrasi rahmat atau anugerah.

Rahmat, anugerah, pengampunan, pertobatan, kasih sayang, memang seolah-olah bukan bahasa orang kantor. Itu bahasa para begawan yang tiap hari menggumuli kitab suci. Di kantor orang diharapkan berbicara tentang reward and punishment, perampingan dan restrukturisasi, sukses atau mundur, hak dan tanggung jawab. Ya, semuanya bahasa macho, sangat maskulin, sangat patriarkhal. Dunia kerja yang didominasi laki-laki, memang terasa keras, tegas, dingin, disiplin dan menakutkan.

Akan tetapi, hidup termasuk kerja tidak mungkin berwatak maskulin saja. Maskulin memang baik, tetapi terlalu maskulin, alangkah gersangnya, dan ujung-ujungnya membawa kematian. Maka ketika dewasa ini bau sangit kematian ada di mana-mana, patutlah kita curiga, jangan-jangan dosis maskulinitas di republik ini sudah kelewatan. Dan saya memang meyakini hal itu. Dunia politik kita, dari Ken Arok sampai Panembahan Senopati, dari Prabu Kartanegara sampai Presiden Soeharto, memang selalu keras, bahkan terlalu keras. Dengan mudah kita lihat pula bahwa dominasi kejantanan yang keras itu amat nyata di dunia bisnis, hukum, pendidikan, bahkan dalam agama.

Akibat dosis kebapakan yang berkelebihan itu, terjadilah ketidakseimbangan. Jika Anda masih ingat film The Sound of Music, disiplin militer yang diterapkan sang bapak yang telah menduda itu, justru mematikan jiwa ketujuh anak-anaknya di tengah niat baiknya mencintai mereka. Tetapi life back to normal ketika si cantik hangat, suster Maria, representasi femininitas universal, memasuki kehidupan rumah sang kapten. Maka kembalilah tawa, ceria, canda, sukacita, kehangatan, musik, pengampunan, rahmat dan cinta ke dalam kehidupan. Indah dan mengharukan. Tidak herankan mendiang Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara sampai menonton film itu belasan kali.

Rumah tangga republik ini, saya kira, juga rusak berat justru karena dominasi jiwa kelaki-lakian telah terlalu kuat. Bahkan Fritjof Capra, sarjana fisika yang juga mistikus itu, dalam The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture, berpendapat bahwa krisis global dewasa ini, akar terdalamnya terletak pada ketidakseimbangan unsur kebapakan dan keibuan ini dalam tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, sains-teknologikal, dan bio-ekologikal kita. Semuanya terlalu macho, jantan, patriarkal, kelaki-lakian, kaku, keras dan mekanistik.

Atas dasar tesis inilah saya mempromosikan doktrin kerja yang berwatak feminin untuk mengimbangi watak maskulin yang sudah dominan selama ini. Etos pertama yang menjadi sajian saya kali ini berbunyi: Kerja itu Rahmat; Kerja adalah Terimakasihku; sehingga Aku Mampu Bekerja Tulus Penuh Ucapan Syukur. Mudah-mudahan Anda segera merasakan nuansa femininitasnya.

Menurut kamus Webster, rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa kita, tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterima kasih. Hal inilah yang dirasakan manajer IBM dalam kisah di atas. Rasa syukurnya menjadi motivasi superior untuk berprestasi karena hatinya tersentuh dan karena itu ia diubahkan secara fundamental. Hukuman pecat sebagai konsekuensi keadilan dalam dunia manajemen yang macho, berubah menjadi pengampunan dan rahmat yang membuka peluang baru untuk memperbarui diri. Inilah watak seorang ibu yang penuh kasih sayang. Dan elemen keibuan inilah yang hilang di Aceh, Ambon, Dili, dan kota-kota lain di negeri kita yang kini sedang gering.

Saya berkata, bahwa kerja pun adalah rahmat, jadi seyogianya disyukuri setidaknya karena tiga alasan. Pertama, dari segi spiritual, kerja itu secara hakiki adalah rahmat Tuhan. Artinya, lewat pekerjaan, Tuhan memelihara kita. Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan kita, misalnya fasilitas belajar, kesempatan mengunjungi negeri asing, dan wahana hubungan silaturahmi. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga. Ketiga, potensi kerja diri kita (skills, knowledge) adalah God's endowment kepada kita secara personal yang kemudian kita aktualisasikan dalam bekerja mengolah bumi dan segenap isinya menjadi produk jadi yang bernilai tambah positif. Yang terakhir ini pun rahmat juga adanya. Jadi dari mana pun Anda lihat, selalu dapat kita akui bahwa work is really a grace. Kerja adalah rahmat.

Karena itu sepantasnyalah kita bekerja dengan hati yang tulus dan bersih. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, mengeluh, atau setengah hati karena kita sadari sekarang bahwa bekerja adalah bentuk terima kasih kita kepada Tuhan, kepada negara, kepada rakyat, kepada pemilik modal, atau kepada manajemen.

Bayangkan seorang fakir mampir di rumah Anda. Karena Anda berbelas kasihan, fakir itu Anda undang masuk dan menghidanginya makanan dari meja keluarga Anda. Tetapi ketika ia mulai makan, ia mengeluh betapa gosongnya tempe goreng masakan nyonya rumah. Ia juga meradang betapa kurang pedasnya sambel ulekan dari dapur Anda.

Apakah reaksi Anda sebagai tuan rumah? Menurut saya, jika Anda menendang pantatnya dan mengusirnya keluar, hal itu sangat pantas. Itu adil baginya karena ia tidak tahu diri. Akan tetapi, saya berkata sesungguhnya saya dan Anda adalah juga fakir di bumi ini. Dalam hal inilah saya tidak sependapat dengan Pramudya Ananta Toer yang berkata bahwa planet ini adalah bumi manusia. Bagaimana hal itu mungkin? Mengerti bumi ini saja kita tidak mampu, mengaku diri pula pemiliknya. Atau jika benar manusia adalah pemilik bumi, mengapakah bumi kita kotori dan perkosa dengan amarah meradang.

Al Qur'an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi Allah. Artinya, manusia adalah pengelola yang harus ber-tanggung jawab. Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah steward (penatalayan) di bumi Tuhan. Bagaikan stewardess di pesawat, tugas kita adalah menata sumberdaya alam milik-Nya dan melayankannya untuk kesejahteraan semua penumpang kapal besar ruang angkasa bernama planet bumi. I Ching mengajarkan bahwa kita harus hidup harmonis dengan alam. Sedangkan Iliad mengajarkan bahwa bumi adalah Gaia, the living mother earth, yang harus disayangi sebagai balas cinta kasihnya.

Secara hakiki bekerja adalah mengolah sumberdaya bumi untuk kesejahteraan kita bersama. Apa pun yang kita kerjakan, yang high tech sekalipun, yang konseptual sekalipun, tetaplah tidak terlepas dari unsur-unsur bumi. Meskipun menurut Mahatma Gandhi bumi tidak mampu memuaskan keserakan satu orang saja, tetapi bumi dengan segenap kekayaannya, dengan segenap kasih sayangnya sebagai ibu pertiwi, pasti lebih dari cukup mensejahterakan semua anak-anak bumi melalui kerja.

Maka kita harus mengembangkan sebuah kesadaran baru, a new awareness, a deeper consciousness bahwa kita sesungguhnya sudah terlebih dahulu menerima dengan limpah, dari bumi, dari Tuhan, dari organisasi, dari negara dan rakyat, maka kita pun sepatutnya membalasnya dengan limpah pula. Abundantly.

Menyadari bahwa rahmat selalu melimpah, maka kita pun akan terimbas untuk bermental limpah terhadap sekeliling sehingga membentuk karakter limpah (abundance character) dalam diri kita. Penampakannya bermacam-macam, antara lain: senang menolong; tidak pelit; tidak takut kekurangan; selalu merasa ada alternatif di samping pilihan yang obvious; mampu memberi dulu, kemudian menerima; sanggup menabur dulu, kemudian menuai; selalu bersikap menawarkan; selalu berpikir kontributif.

Manusia berkarakter limpah memang berjiwa besar karena ia selalu sadar bahwa Sang Maha Pemberi selalu merahmati dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati penuh syukur, maka dia akan selalu diliputi sukacita sejati dan rasa bahagia. Sukacita kerja ini (the joy of working) akan membuatnya produktif dan mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang gembira dan menyenangkan. Di mana pun berada, ia selalu menjadi protagonist, bukan antagonist. Jadi jelaslah bekerja dengan modus ini akan mentransformasikan kita menjadi pribadi yang kaya, dewasa dan lembut. Maka Etos Kerja pertama ini memampukan kita menjadi pribadi sukses yang mampu menikmati keberhasilan kerja sampai ke hati yang dalam. Semogalah demikian!

Sumber: Jansen H. Sinamo, Guru Etos Indonesia


Praktik Kerja Industri di Jepang Yang Dicari Ternyata Etos Kerja

Anak-anak lulusan sekolah menengah dari Indonesia dengan sigap bekerja di sebuah Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang. Mereka bekerja dengan cekatan, layaknya seperti robot-robot industri dan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Meskipun ada mesin-mesin canggih, mesin itu tidak bisa bekerja sendiri. Mesin itu masih membutuhkan tenaga kerja manusia. Artinya, ada nilai "kemanusiaan" yang diambil dalam sebuah hasil produksi.

Keahlian untuk bekerja di industri pembuatan interior mobil ini pun sebenarnya bukan sesuatu yang sangat canggih dan rumit. Bahkan, keahlian itu sudah bisa dikuasai dengan baik hanya dalam waktu satu bulan. Selanjutnya, hanyalah pekerjaan pengulangan saja. Bagian tersulit ternyata pada disiplin waktu. Mesin dijalankan dalam waktu-waktu tertentu untuk mencapai hasil yang optimal. Karena itulah, tenaga kerja yang turut membantunya harus bekerja cepat dan tepat seiring berputarnya roda mesin.

Disiplin "mesin", inilah yang sering kali membuat anak-anak lulusan sekolah menengah itu keteteran. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup untuk sekadar berdiri selama tujuh jam sehari untuk melayani mesin industri menghasilkan suatu produk. Pasalnya, mereka memang tidak pernah dididik dalam disiplin mesin, atau sekadar berlatih berdiri dalam waktu lama di sekolah. Tidak heran jika anak-anak Indonesia yang melakukan magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini, pada awalnya merasa tersiksa untuk bisa berdiri lama.

Industri yang antara lain memproduksi panel interior pintu mobil dan dashboard ini sudah tiga belas tahun menerima lulusan sekolah menengah dari negara Asia lainnya untuk magang kerja. Setiap tahunnya, Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini biasanya menerima 15-20 orang peserta magang. Jumlah peserta magang tahun ini keseluruhannya ada 52 orang.

Sampai saat ini, sudah 212 peserta magang dari Indonesia. Semua dinyatakan berhasil mengikuti pelatihan dengan baik, tanpa gagal. Tidak heran kalau peserta magang dari Indonesia menjadi lebih disukai.

Agar bisa mengikuti magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota ini tidak banyak persyaratan yang harus diikuti. Mereka harus lulus seleksi di Indonesia yang diadakan oleh Yayasan Asian Youth Center. Persyaratan umumnya harus lulusan sekolah menengah.

Persyaratan lain yang harus dilewati adalah lulus tes IQ (intelligence quotient) dan wawancara. Tes wawancara ini untuk mengetahui sejauh mana minat dan ketertarikan seorang anak untuk magang di industri. Mereka yang dinyatakan lulus seleksi akan mengikuti pelatihan persiapan selama dua bulan di Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi (PPPGT) Malang. Pelatihan persiapan di PPPGT ini pun merupakan bagian dari rangkaian proses seleksi. Jika bisa melewati tahapan ini, barulah mereka akan diberangkatkan ke Jepang.

Selama 10 bulan pertama peserta magang akan mengikuti pelatihan kerja di Jepang. Selama mengikuti pelatihan itu, peserta magang diwajibkan mempelajari bahasa Jepang. Pelajaran bahasa ini diberikan selama tiga kali seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Jumat dilakukan seusai pelatihan, yaitu pada pukul 16.00- 18.00, dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00-16.00.

Bagi anak yang dinyatakan lulus pelatihan ini, maka mereka diizinkan untuk mengikuti magang kerja selama dua tahun lagi di industri pembuatan interior mobil tersebut. Penilaian keberhasilan sebagai trainee praktik kerja ini dilakukan oleh Japan International Training Cooperation. Selain itu, evaluasi sikap hidup para peserta magang selama di Jepang juga turut menentukan. Jadi, secara keseluruhan anak-anak ini akan mengikuti magang kerja selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu, siswa yang melakukan magang kerja di Jepang akan mengantongi uang sekitar tiga juta yen atau sekitar Rp 240 juta (kurs 1 yen = Rp 80).

Selama magang, mereka ditempatkan di sebuah asrama yang disediakan oleh perusahaan. Di asrama ini, setiap anak dididik untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatu kebutuhannya sendiri. Mereka diwajibkan merapikan tempat tidur serta menjaga kebersihan dan kerapian asrama. Tidak heran jika tempat tidur dan kamar mandi yang disediakan di asrama ini juga bersih dan rapi.

Ingin jadi petani

Meskipun praktik kerja industri di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang, ini memberikan pengalaman kerja industri, tidak bisa menutup keinginan mereka yang mengikuti praktik untuk menjadi petani. Paling tidak, itulah pengakuan Mustakin yang sudah dua setengah tahun di Jepang. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Nasional Malang ini mempunyai rencana untuk mendirikan pertanian yang dikelola seperti di Jepang.

"Setiap ada kesempatan libur, saya pergunakan untuk jalan-jalan ke daerah pertanian di sekitar asrama. Saya melihat sistem pertanian di Jepang dikelola secara efisien sekali meskipun peralatan pertaniannya tidak semuanya modern dan canggih," ujar Mustakin.

Menurut Mustakin, keinginan untuk mengembangkan pertanian di Malang itu justru muncul setelah berkenalan dengan petani di Jepang. Tidak seperti di Malang, petani di Jepang lebih makmur dibandingkan dengan pekerja di industri. Petani di Jepang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, didukung dengan pengetahuan pertanian dan penguasaan bisnis pertanian yang baik.

"Itu sebabnya, uang yang saya peroleh di sini nantinya akan saya belikan tanah di Malang agar saya dan orangtua bisa mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian yang maju," ujarnya.

Selain bisa mengembangkan pertanian, menurut Mustakin, siapa tahu justru bisa membuka kesempatan kerja bagi orang-orang yang menganggur di Malang. Sebenarnya, pekerjaan di bidang pertanian itu sangat beragam jumlah dan jenis pekerjannya. "Jika dilakukan dengan serius dan tekun, maka lahan pertanian yang miskin sekalipun pasti akan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit," ujarnya.

Berbeda dengan Mustakin, Lyona, lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Blitar, tetap berharap bisa bekerja di industri otomotif. Namun, Lyona ragu apakah ada industri otomotif yang memiliki prosedur kerja yang sama dengan di Jepang. Selain itu, proses dan jenis pekerjaannya tentu saja akan sangat berbeda.

"Itu sebabnya, saya sendiri berharap bisa memasuki dan bersaing di dunia kerja di Jepang. Saya yakin bisa, tinggal lagi mengikuti tes bahasa Jepang. Karena memang ada persyaratan khusus terkait dengan penguasaan bahasa Jepang," ujarnya.

Rekan magang Lyona, Yana, yang berasal dari SMU di Ciamis, juga sama-sama memiliki cita-cita ingin bekerja di Jepang. Menurut Yana, bekerja di Jepang bukan sekadar karena imbalan jasa yang lumayan besar, melainkan juga memberikan pengalaman kerja dan bersentuhan dengan industri yang memiliki disiplin tinggi. "Kalaupun nantinya saya kembali ke Indonesia, saya berharap bisa diterima bekerja di industri yang memiliki disiplin kerja yang sama," ujarnya.

Seperti halnya Mustakin, Lyona dan Yana juga memiliki cita-cita untuk mempunyai usaha sendiri. Baik Lyona maupun Yana menyadari tidak mudah untuk bisa bekerja di Jepang. Apalagi kemampuan yang mereka miliki masih terbatas seperti pekerjaan kuli.

Mereka juga menyadari bahwa dalam pekerjaan magangnya lebih banyak menggunakan kekuatan tenaga fisik saja. Meskipun terbuka kesempatan dan bebas mengemukakan ide-ide yang bermanfaat untuk kemajuan industri, proporsinya masih sangat sedikit sekali.

Tidak heran jika Lyona dan Yana serta rekan-rekan mereka yang magang di Jepang pun banyak yang berkeinginan untuk membuka usaha sendiri. Tidak mudah memang untuk memulai usaha sendiri, namun bekal ketekunan dan kedisiplinan, yang pernah dirasakan selama mengikuti magang di Jepang, mereka rasakan cukup.

Adakah pembinaan dari pemerintah terhadap mereka yang bercita-cita turut mengurangi angka pengangguran ini? Haruskah optimisme calon wiraswastawan muda ini pupus karena kondisi sistem perekonomian nasional tidak bisa mendukung rintisan usaha kecil? Padahal, usaha kecil banyak yang terbukti mampu bertahan selama krisis yang melanda di Indonesia. (MAM).

Sumber: www.kompas.com, Desember 2003

MANUSIA LEGOWO

Salah satu bentuk keikhlasan yang amat penting ialah legowo, yakni kerelaan yang tulus to let something go; membiarkan sesuatu pergi dan hilang, apakah jabatan, fasilitas, atau harta benda. Ketika orang lengser dari jabatannya— atau kehilangan apa pun for that matter — umumnya orang akan merasa sangat kehilangan. Tanpa konsep rahmat, rasa kehilangan itu terasa sangat pedih dan menyakitkan.

Namun, orang yang mengenal rahmat tahu bahwa semua yang pernah diterimanya — apakah nyawa, rupa, kegagahan, kecantikan, kepandaian, harta, jabatan, anak, istri atau suami — pada suatu saat, cepat atau lambat, pasti akan dilepaskannya.

Soeharto misalnya, salah satu presiden terkaya dan terkuat di bumi pada zamannya, akhirnya juga harus kehilangan hampir semuanya: istrinya, menantunya, sahabat-sahabatnya, kesehatannya, kemuliaannya, dan kekuasaannya. Dan hal ini tidak khas mantan presiden. Tidak pula khas orang jahat. Anda dan saya juga, pada suatu saat, harus kehilangan semuanya. Ketika kita memasuki liang lahat, maka secara mutlak kita meninggalkan semuanya. Inilah makna kefanaan dalam arti sesungguhnya. Tanpa rasa legowo orang akan sengsara dan patah hati saat kehilangan. Dan emosi ini sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa kita dan tubuh kita.

Kemampuan legowo inilah yang ditunjukkan William Soeryadjaja, mantan pemilik Grup Astra yang kehilangan kerajaan bisnisnya secara tragis. Namun karena keyakinannya pada rahmat Tuhan, ia masih tetap mampu tertawa terbahak-bahak sambil mengisap cerutu kesayangannya. Ketika usianya mulai berkepala tujuh, ia masih sanggup memulai bisnis baru. Saat itu dilaporkan ia pun masih sanggup makan sate 40 tusuk.

Kemampuan serupa juga ditunjukkan Kuntoro Mangkusubroto. Di puncak keberhasilannya, ia dipecat dari jabatan Dirjen Pertambangan Umum oleh atasannya Menteri Pertambangan dan Energi pada zaman Kabinet Pembangunan VI antara lain gara-gara kasus Busang. Tetapi dengan legowo, jiwa besar dan pikiran positif, ia tidak menjadi patah semangat. Mantan Dosen ITB ini setahun kemudian terpilih menjadi menteri menggantikan sang pemecatnya. Ikut lengser dari kedudukan menteri bersama usainya Kabinet Habibie yang pendek, ia kemudian sanggup legowo berbesar hati menerima jabatan “cuma” sebagai Dirut PLN di zaman Kabinet Gus Dur. Namun pada awal tahun 2001 ia juga harus turun jabatan sebagai Dirut PLN, dan kembali ke kampus almamaternya, Institut Teknologi Bandung.

Orang yang mengenal rahmat, orang yang sudah dilawat oleh rahmat, akan mampu bekerja dengan pengabdian yang tulus. Ini misalnya ditunjukkan oleh Romo Mangun [1920-2000], seorang pastur dari Yogyakarta. Secara kristal, hidupnya adalah pengabdian yang tulus, khususnya kepada orang miskin dan terpinggirkan oleh roda kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan. Pembelaannya yang paling terkenal ialah kepada penduduk pinggir Kali Code di Yogyakarta. Ia mengancam mogok makan apabila pemerintah berkeras menggusur mereka. Ini sebuah keberanian yang taruhannya nyawa saat rezim Orde Baru yang militeristik sedang jaya-jayanya. Ia juga nekat membela masyarakat gusuran waduk Kedung Ombo di daerah Boyolali. Ia pernah diinterogasi aparat keamanan tetapi kemudian bertaruh nyawa sembunyi dalam bagasi mobil agar bisa masuk ke daerah terlarang itu. Ini pun sebuah taruhan leher pada saat tak kurang dari Presiden Soeharto saat itu mencap warga Kedung Ombo sebagai orang-orang mbalelo.

Di tempat kerja, orang yang percaya pada rahmat akan mengenal rahmat itu dan mengalaminya secara riil. Dia akan berubah karena lawatan rahmat itu dan menjadi distributor rahmat. Dia akan menjadi tokoh protagonis dalam menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Dia menjadi pribadi yang selalu bersukacita bagaikan air mancur yang bersumber dari dalam hatinya. Tidak heran semua menyukainya, vertikal maupun horizontal. Dan menurut pendapat saya inilah tujuan rahmat terpenting: yaitu agar oleh jamahan rahmat kita semua menjadi manusia yang rahmatan, menjadi manusia yang sungguh-sungguh baik. Jelas, bahwa tanpa rahmat, Anda dan saya tidak mungkin menjadi manusia, apalagi menjadi manusia yang baik.


Sumber: Jansen H. Sinamo dalam bukunya "8 Etos Kerja Profesional - Navigator Anda Menuju Sukses"