Anak-anak lulusan sekolah menengah dari Indonesia dengan sigap bekerja di sebuah Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang. Mereka bekerja dengan cekatan, layaknya seperti robot-robot industri dan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Meskipun ada mesin-mesin canggih, mesin itu tidak bisa bekerja sendiri. Mesin itu masih membutuhkan tenaga kerja manusia. Artinya, ada nilai "kemanusiaan" yang diambil dalam sebuah hasil produksi.
Keahlian untuk bekerja di industri pembuatan interior mobil ini pun sebenarnya bukan sesuatu yang sangat canggih dan rumit. Bahkan, keahlian itu sudah bisa dikuasai dengan baik hanya dalam waktu satu bulan. Selanjutnya, hanyalah pekerjaan pengulangan saja. Bagian tersulit ternyata pada disiplin waktu. Mesin dijalankan dalam waktu-waktu tertentu untuk mencapai hasil yang optimal. Karena itulah, tenaga kerja yang turut membantunya harus bekerja cepat dan tepat seiring berputarnya roda mesin.
Disiplin "mesin", inilah yang sering kali membuat anak-anak lulusan sekolah menengah itu keteteran. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup untuk sekadar berdiri selama tujuh jam sehari untuk melayani mesin industri menghasilkan suatu produk. Pasalnya, mereka memang tidak pernah dididik dalam disiplin mesin, atau sekadar berlatih berdiri dalam waktu lama di sekolah. Tidak heran jika anak-anak Indonesia yang melakukan magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini, pada awalnya merasa tersiksa untuk bisa berdiri lama.
Industri yang antara lain memproduksi panel interior pintu mobil dan dashboard ini sudah tiga belas tahun menerima lulusan sekolah menengah dari negara Asia lainnya untuk magang kerja. Setiap tahunnya, Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini biasanya menerima 15-20 orang peserta magang. Jumlah peserta magang tahun ini keseluruhannya ada 52 orang.
Sampai saat ini, sudah 212 peserta magang dari Indonesia. Semua dinyatakan berhasil mengikuti pelatihan dengan baik, tanpa gagal. Tidak heran kalau peserta magang dari Indonesia menjadi lebih disukai.
Agar bisa mengikuti magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota ini tidak banyak persyaratan yang harus diikuti. Mereka harus lulus seleksi di Indonesia yang diadakan oleh Yayasan Asian Youth Center. Persyaratan umumnya harus lulusan sekolah menengah.
Persyaratan lain yang harus dilewati adalah lulus tes IQ (intelligence quotient) dan wawancara. Tes wawancara ini untuk mengetahui sejauh mana minat dan ketertarikan seorang anak untuk magang di industri. Mereka yang dinyatakan lulus seleksi akan mengikuti pelatihan persiapan selama dua bulan di Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi (PPPGT) Malang. Pelatihan persiapan di PPPGT ini pun merupakan bagian dari rangkaian proses seleksi. Jika bisa melewati tahapan ini, barulah mereka akan diberangkatkan ke Jepang.
Selama 10 bulan pertama peserta magang akan mengikuti pelatihan kerja di Jepang. Selama mengikuti pelatihan itu, peserta magang diwajibkan mempelajari bahasa Jepang. Pelajaran bahasa ini diberikan selama tiga kali seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Jumat dilakukan seusai pelatihan, yaitu pada pukul 16.00- 18.00, dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00-16.00.
Bagi anak yang dinyatakan lulus pelatihan ini, maka mereka diizinkan untuk mengikuti magang kerja selama dua tahun lagi di industri pembuatan interior mobil tersebut. Penilaian keberhasilan sebagai trainee praktik kerja ini dilakukan oleh Japan International Training Cooperation. Selain itu, evaluasi sikap hidup para peserta magang selama di Jepang juga turut menentukan. Jadi, secara keseluruhan anak-anak ini akan mengikuti magang kerja selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu, siswa yang melakukan magang kerja di Jepang akan mengantongi uang sekitar tiga juta yen atau sekitar Rp 240 juta (kurs 1 yen = Rp 80).
Selama magang, mereka ditempatkan di sebuah asrama yang disediakan oleh perusahaan. Di asrama ini, setiap anak dididik untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatu kebutuhannya sendiri. Mereka diwajibkan merapikan tempat tidur serta menjaga kebersihan dan kerapian asrama. Tidak heran jika tempat tidur dan kamar mandi yang disediakan di asrama ini juga bersih dan rapi.
Ingin jadi petani
Meskipun praktik kerja industri di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang, ini memberikan pengalaman kerja industri, tidak bisa menutup keinginan mereka yang mengikuti praktik untuk menjadi petani. Paling tidak, itulah pengakuan Mustakin yang sudah dua setengah tahun di Jepang. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Nasional Malang ini mempunyai rencana untuk mendirikan pertanian yang dikelola seperti di Jepang.
"Setiap ada kesempatan libur, saya pergunakan untuk jalan-jalan ke daerah pertanian di sekitar asrama. Saya melihat sistem pertanian di Jepang dikelola secara efisien sekali meskipun peralatan pertaniannya tidak semuanya modern dan canggih," ujar Mustakin.
Menurut Mustakin, keinginan untuk mengembangkan pertanian di Malang itu justru muncul setelah berkenalan dengan petani di Jepang. Tidak seperti di Malang, petani di Jepang lebih makmur dibandingkan dengan pekerja di industri. Petani di Jepang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, didukung dengan pengetahuan pertanian dan penguasaan bisnis pertanian yang baik.
"Itu sebabnya, uang yang saya peroleh di sini nantinya akan saya belikan tanah di Malang agar saya dan orangtua bisa mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian yang maju," ujarnya.
Selain bisa mengembangkan pertanian, menurut Mustakin, siapa tahu justru bisa membuka kesempatan kerja bagi orang-orang yang menganggur di Malang. Sebenarnya, pekerjaan di bidang pertanian itu sangat beragam jumlah dan jenis pekerjannya. "Jika dilakukan dengan serius dan tekun, maka lahan pertanian yang miskin sekalipun pasti akan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit," ujarnya.
Berbeda dengan Mustakin, Lyona, lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Blitar, tetap berharap bisa bekerja di industri otomotif. Namun, Lyona ragu apakah ada industri otomotif yang memiliki prosedur kerja yang sama dengan di Jepang. Selain itu, proses dan jenis pekerjaannya tentu saja akan sangat berbeda.
"Itu sebabnya, saya sendiri berharap bisa memasuki dan bersaing di dunia kerja di Jepang. Saya yakin bisa, tinggal lagi mengikuti tes bahasa Jepang. Karena memang ada persyaratan khusus terkait dengan penguasaan bahasa Jepang," ujarnya.
Rekan magang Lyona, Yana, yang berasal dari SMU di Ciamis, juga sama-sama memiliki cita-cita ingin bekerja di Jepang. Menurut Yana, bekerja di Jepang bukan sekadar karena imbalan jasa yang lumayan besar, melainkan juga memberikan pengalaman kerja dan bersentuhan dengan industri yang memiliki disiplin tinggi. "Kalaupun nantinya saya kembali ke Indonesia, saya berharap bisa diterima bekerja di industri yang memiliki disiplin kerja yang sama," ujarnya.
Seperti halnya Mustakin, Lyona dan Yana juga memiliki cita-cita untuk mempunyai usaha sendiri. Baik Lyona maupun Yana menyadari tidak mudah untuk bisa bekerja di Jepang. Apalagi kemampuan yang mereka miliki masih terbatas seperti pekerjaan kuli.
Mereka juga menyadari bahwa dalam pekerjaan magangnya lebih banyak menggunakan kekuatan tenaga fisik saja. Meskipun terbuka kesempatan dan bebas mengemukakan ide-ide yang bermanfaat untuk kemajuan industri, proporsinya masih sangat sedikit sekali.
Tidak heran jika Lyona dan Yana serta rekan-rekan mereka yang magang di Jepang pun banyak yang berkeinginan untuk membuka usaha sendiri. Tidak mudah memang untuk memulai usaha sendiri, namun bekal ketekunan dan kedisiplinan, yang pernah dirasakan selama mengikuti magang di Jepang, mereka rasakan cukup.
Adakah pembinaan dari pemerintah terhadap mereka yang bercita-cita turut mengurangi angka pengangguran ini? Haruskah optimisme calon wiraswastawan muda ini pupus karena kondisi sistem perekonomian nasional tidak bisa mendukung rintisan usaha kecil? Padahal, usaha kecil banyak yang terbukti mampu bertahan selama krisis yang melanda di Indonesia. (MAM).
No comments:
Post a Comment