Wednesday, November 28, 2007

MANUSIA LEGOWO

Salah satu bentuk keikhlasan yang amat penting ialah legowo, yakni kerelaan yang tulus to let something go; membiarkan sesuatu pergi dan hilang, apakah jabatan, fasilitas, atau harta benda. Ketika orang lengser dari jabatannya— atau kehilangan apa pun for that matter — umumnya orang akan merasa sangat kehilangan. Tanpa konsep rahmat, rasa kehilangan itu terasa sangat pedih dan menyakitkan.

Namun, orang yang mengenal rahmat tahu bahwa semua yang pernah diterimanya — apakah nyawa, rupa, kegagahan, kecantikan, kepandaian, harta, jabatan, anak, istri atau suami — pada suatu saat, cepat atau lambat, pasti akan dilepaskannya.

Soeharto misalnya, salah satu presiden terkaya dan terkuat di bumi pada zamannya, akhirnya juga harus kehilangan hampir semuanya: istrinya, menantunya, sahabat-sahabatnya, kesehatannya, kemuliaannya, dan kekuasaannya. Dan hal ini tidak khas mantan presiden. Tidak pula khas orang jahat. Anda dan saya juga, pada suatu saat, harus kehilangan semuanya. Ketika kita memasuki liang lahat, maka secara mutlak kita meninggalkan semuanya. Inilah makna kefanaan dalam arti sesungguhnya. Tanpa rasa legowo orang akan sengsara dan patah hati saat kehilangan. Dan emosi ini sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa kita dan tubuh kita.

Kemampuan legowo inilah yang ditunjukkan William Soeryadjaja, mantan pemilik Grup Astra yang kehilangan kerajaan bisnisnya secara tragis. Namun karena keyakinannya pada rahmat Tuhan, ia masih tetap mampu tertawa terbahak-bahak sambil mengisap cerutu kesayangannya. Ketika usianya mulai berkepala tujuh, ia masih sanggup memulai bisnis baru. Saat itu dilaporkan ia pun masih sanggup makan sate 40 tusuk.

Kemampuan serupa juga ditunjukkan Kuntoro Mangkusubroto. Di puncak keberhasilannya, ia dipecat dari jabatan Dirjen Pertambangan Umum oleh atasannya Menteri Pertambangan dan Energi pada zaman Kabinet Pembangunan VI antara lain gara-gara kasus Busang. Tetapi dengan legowo, jiwa besar dan pikiran positif, ia tidak menjadi patah semangat. Mantan Dosen ITB ini setahun kemudian terpilih menjadi menteri menggantikan sang pemecatnya. Ikut lengser dari kedudukan menteri bersama usainya Kabinet Habibie yang pendek, ia kemudian sanggup legowo berbesar hati menerima jabatan “cuma” sebagai Dirut PLN di zaman Kabinet Gus Dur. Namun pada awal tahun 2001 ia juga harus turun jabatan sebagai Dirut PLN, dan kembali ke kampus almamaternya, Institut Teknologi Bandung.

Orang yang mengenal rahmat, orang yang sudah dilawat oleh rahmat, akan mampu bekerja dengan pengabdian yang tulus. Ini misalnya ditunjukkan oleh Romo Mangun [1920-2000], seorang pastur dari Yogyakarta. Secara kristal, hidupnya adalah pengabdian yang tulus, khususnya kepada orang miskin dan terpinggirkan oleh roda kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan. Pembelaannya yang paling terkenal ialah kepada penduduk pinggir Kali Code di Yogyakarta. Ia mengancam mogok makan apabila pemerintah berkeras menggusur mereka. Ini sebuah keberanian yang taruhannya nyawa saat rezim Orde Baru yang militeristik sedang jaya-jayanya. Ia juga nekat membela masyarakat gusuran waduk Kedung Ombo di daerah Boyolali. Ia pernah diinterogasi aparat keamanan tetapi kemudian bertaruh nyawa sembunyi dalam bagasi mobil agar bisa masuk ke daerah terlarang itu. Ini pun sebuah taruhan leher pada saat tak kurang dari Presiden Soeharto saat itu mencap warga Kedung Ombo sebagai orang-orang mbalelo.

Di tempat kerja, orang yang percaya pada rahmat akan mengenal rahmat itu dan mengalaminya secara riil. Dia akan berubah karena lawatan rahmat itu dan menjadi distributor rahmat. Dia akan menjadi tokoh protagonis dalam menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Dia menjadi pribadi yang selalu bersukacita bagaikan air mancur yang bersumber dari dalam hatinya. Tidak heran semua menyukainya, vertikal maupun horizontal. Dan menurut pendapat saya inilah tujuan rahmat terpenting: yaitu agar oleh jamahan rahmat kita semua menjadi manusia yang rahmatan, menjadi manusia yang sungguh-sungguh baik. Jelas, bahwa tanpa rahmat, Anda dan saya tidak mungkin menjadi manusia, apalagi menjadi manusia yang baik.


Sumber: Jansen H. Sinamo dalam bukunya "8 Etos Kerja Profesional - Navigator Anda Menuju Sukses"

No comments: