Wednesday, November 28, 2007

Rahmat : Unsur Yang Hilang Dari Dunia Kerja

Tersebutlah kisah seorang manajer yang gagal memimpin sebuah projek sehingga perusahaannya rugi lebih sejuta dolar. Tom Watson, pendiri IBM yang legendaris itu, kemudian memanggilnya. Merasa bahwa dirinya akan dipecat, si manajer mendahului vonis sang bos dengan berkata, "Tuan, silakan memecat saya, I deserve it, saya memang gagal." Tanpa diduga Tom Watson membentak, "Gila lu! Kamu satu-satunya karyawan yang telah disekolahkan dengan biaya sebesar itu, kamu pikir saya tolol mau memecatmu?"

Konon, manajer yang mendapat pengampunan ini, kelak menjadi salah satu manajer terbaik di IBM, antara lain dengan menyumbang jauh lebih besar daripada uang sekolahnya. Inilah kisah yang telah diulang-ulang orang dengan berbagai versi sampai kita tidak tahu lagi versi mana yang benar. Tentu dengan berbagai pesan pula. Tetapi kali ini saya mau pakai sebagai ilustrasi rahmat atau anugerah.

Rahmat, anugerah, pengampunan, pertobatan, kasih sayang, memang seolah-olah bukan bahasa orang kantor. Itu bahasa para begawan yang tiap hari menggumuli kitab suci. Di kantor orang diharapkan berbicara tentang reward and punishment, perampingan dan restrukturisasi, sukses atau mundur, hak dan tanggung jawab. Ya, semuanya bahasa macho, sangat maskulin, sangat patriarkhal. Dunia kerja yang didominasi laki-laki, memang terasa keras, tegas, dingin, disiplin dan menakutkan.

Akan tetapi, hidup termasuk kerja tidak mungkin berwatak maskulin saja. Maskulin memang baik, tetapi terlalu maskulin, alangkah gersangnya, dan ujung-ujungnya membawa kematian. Maka ketika dewasa ini bau sangit kematian ada di mana-mana, patutlah kita curiga, jangan-jangan dosis maskulinitas di republik ini sudah kelewatan. Dan saya memang meyakini hal itu. Dunia politik kita, dari Ken Arok sampai Panembahan Senopati, dari Prabu Kartanegara sampai Presiden Soeharto, memang selalu keras, bahkan terlalu keras. Dengan mudah kita lihat pula bahwa dominasi kejantanan yang keras itu amat nyata di dunia bisnis, hukum, pendidikan, bahkan dalam agama.

Akibat dosis kebapakan yang berkelebihan itu, terjadilah ketidakseimbangan. Jika Anda masih ingat film The Sound of Music, disiplin militer yang diterapkan sang bapak yang telah menduda itu, justru mematikan jiwa ketujuh anak-anaknya di tengah niat baiknya mencintai mereka. Tetapi life back to normal ketika si cantik hangat, suster Maria, representasi femininitas universal, memasuki kehidupan rumah sang kapten. Maka kembalilah tawa, ceria, canda, sukacita, kehangatan, musik, pengampunan, rahmat dan cinta ke dalam kehidupan. Indah dan mengharukan. Tidak herankan mendiang Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara sampai menonton film itu belasan kali.

Rumah tangga republik ini, saya kira, juga rusak berat justru karena dominasi jiwa kelaki-lakian telah terlalu kuat. Bahkan Fritjof Capra, sarjana fisika yang juga mistikus itu, dalam The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture, berpendapat bahwa krisis global dewasa ini, akar terdalamnya terletak pada ketidakseimbangan unsur kebapakan dan keibuan ini dalam tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, sains-teknologikal, dan bio-ekologikal kita. Semuanya terlalu macho, jantan, patriarkal, kelaki-lakian, kaku, keras dan mekanistik.

Atas dasar tesis inilah saya mempromosikan doktrin kerja yang berwatak feminin untuk mengimbangi watak maskulin yang sudah dominan selama ini. Etos pertama yang menjadi sajian saya kali ini berbunyi: Kerja itu Rahmat; Kerja adalah Terimakasihku; sehingga Aku Mampu Bekerja Tulus Penuh Ucapan Syukur. Mudah-mudahan Anda segera merasakan nuansa femininitasnya.

Menurut kamus Webster, rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa kita, tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterima kasih. Hal inilah yang dirasakan manajer IBM dalam kisah di atas. Rasa syukurnya menjadi motivasi superior untuk berprestasi karena hatinya tersentuh dan karena itu ia diubahkan secara fundamental. Hukuman pecat sebagai konsekuensi keadilan dalam dunia manajemen yang macho, berubah menjadi pengampunan dan rahmat yang membuka peluang baru untuk memperbarui diri. Inilah watak seorang ibu yang penuh kasih sayang. Dan elemen keibuan inilah yang hilang di Aceh, Ambon, Dili, dan kota-kota lain di negeri kita yang kini sedang gering.

Saya berkata, bahwa kerja pun adalah rahmat, jadi seyogianya disyukuri setidaknya karena tiga alasan. Pertama, dari segi spiritual, kerja itu secara hakiki adalah rahmat Tuhan. Artinya, lewat pekerjaan, Tuhan memelihara kita. Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan kita, misalnya fasilitas belajar, kesempatan mengunjungi negeri asing, dan wahana hubungan silaturahmi. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga. Ketiga, potensi kerja diri kita (skills, knowledge) adalah God's endowment kepada kita secara personal yang kemudian kita aktualisasikan dalam bekerja mengolah bumi dan segenap isinya menjadi produk jadi yang bernilai tambah positif. Yang terakhir ini pun rahmat juga adanya. Jadi dari mana pun Anda lihat, selalu dapat kita akui bahwa work is really a grace. Kerja adalah rahmat.

Karena itu sepantasnyalah kita bekerja dengan hati yang tulus dan bersih. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, mengeluh, atau setengah hati karena kita sadari sekarang bahwa bekerja adalah bentuk terima kasih kita kepada Tuhan, kepada negara, kepada rakyat, kepada pemilik modal, atau kepada manajemen.

Bayangkan seorang fakir mampir di rumah Anda. Karena Anda berbelas kasihan, fakir itu Anda undang masuk dan menghidanginya makanan dari meja keluarga Anda. Tetapi ketika ia mulai makan, ia mengeluh betapa gosongnya tempe goreng masakan nyonya rumah. Ia juga meradang betapa kurang pedasnya sambel ulekan dari dapur Anda.

Apakah reaksi Anda sebagai tuan rumah? Menurut saya, jika Anda menendang pantatnya dan mengusirnya keluar, hal itu sangat pantas. Itu adil baginya karena ia tidak tahu diri. Akan tetapi, saya berkata sesungguhnya saya dan Anda adalah juga fakir di bumi ini. Dalam hal inilah saya tidak sependapat dengan Pramudya Ananta Toer yang berkata bahwa planet ini adalah bumi manusia. Bagaimana hal itu mungkin? Mengerti bumi ini saja kita tidak mampu, mengaku diri pula pemiliknya. Atau jika benar manusia adalah pemilik bumi, mengapakah bumi kita kotori dan perkosa dengan amarah meradang.

Al Qur'an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi Allah. Artinya, manusia adalah pengelola yang harus ber-tanggung jawab. Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah steward (penatalayan) di bumi Tuhan. Bagaikan stewardess di pesawat, tugas kita adalah menata sumberdaya alam milik-Nya dan melayankannya untuk kesejahteraan semua penumpang kapal besar ruang angkasa bernama planet bumi. I Ching mengajarkan bahwa kita harus hidup harmonis dengan alam. Sedangkan Iliad mengajarkan bahwa bumi adalah Gaia, the living mother earth, yang harus disayangi sebagai balas cinta kasihnya.

Secara hakiki bekerja adalah mengolah sumberdaya bumi untuk kesejahteraan kita bersama. Apa pun yang kita kerjakan, yang high tech sekalipun, yang konseptual sekalipun, tetaplah tidak terlepas dari unsur-unsur bumi. Meskipun menurut Mahatma Gandhi bumi tidak mampu memuaskan keserakan satu orang saja, tetapi bumi dengan segenap kekayaannya, dengan segenap kasih sayangnya sebagai ibu pertiwi, pasti lebih dari cukup mensejahterakan semua anak-anak bumi melalui kerja.

Maka kita harus mengembangkan sebuah kesadaran baru, a new awareness, a deeper consciousness bahwa kita sesungguhnya sudah terlebih dahulu menerima dengan limpah, dari bumi, dari Tuhan, dari organisasi, dari negara dan rakyat, maka kita pun sepatutnya membalasnya dengan limpah pula. Abundantly.

Menyadari bahwa rahmat selalu melimpah, maka kita pun akan terimbas untuk bermental limpah terhadap sekeliling sehingga membentuk karakter limpah (abundance character) dalam diri kita. Penampakannya bermacam-macam, antara lain: senang menolong; tidak pelit; tidak takut kekurangan; selalu merasa ada alternatif di samping pilihan yang obvious; mampu memberi dulu, kemudian menerima; sanggup menabur dulu, kemudian menuai; selalu bersikap menawarkan; selalu berpikir kontributif.

Manusia berkarakter limpah memang berjiwa besar karena ia selalu sadar bahwa Sang Maha Pemberi selalu merahmati dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati penuh syukur, maka dia akan selalu diliputi sukacita sejati dan rasa bahagia. Sukacita kerja ini (the joy of working) akan membuatnya produktif dan mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang gembira dan menyenangkan. Di mana pun berada, ia selalu menjadi protagonist, bukan antagonist. Jadi jelaslah bekerja dengan modus ini akan mentransformasikan kita menjadi pribadi yang kaya, dewasa dan lembut. Maka Etos Kerja pertama ini memampukan kita menjadi pribadi sukses yang mampu menikmati keberhasilan kerja sampai ke hati yang dalam. Semogalah demikian!

Sumber: Jansen H. Sinamo, Guru Etos Indonesia


No comments: