KETIKA pertama kali tinggal di Jepang saya terheran-heran mengetahui bahwa listrik di Jepang tekanannya 110 volt. Saya terheran-heran karena belum lama sebelumnya di Jakarta rumah saya listriknya diubah dari 110 volt menjadi 220 volt dan perubahan itu bukan pula tanggungan PLN yang memaksakan perubahan, melainkan menjadi tanggungan pengguna listrik. Dengan berat hati saya membayar biaya perubahan itu dengan perkiraan bahwa untuk menjadi negara industri listrik haruslah 220 volt. Pada waktu itu pemerintah Orde Baru memang sedang bersemangat membangun negara dari negara pertanian menjadi negara industri.
Tetapi, mengapa Jepang yang sudah menjadi negara industri yang maju dan dikagumi dunia masih tetap memakai listrik dengan 110 volt? Suudon saya timbul, listrik di Indonesia oleh PLN dipaksa berubah menjadi 220 volt bukanlah karena tekanan 220 volt memang menjadi prasarat agar kita menjadi negara industri, melainkan karena para pejabat PLN termakan komisi dari perusahaan yang menjadi pemborong perubahan voltasi itu. Sangkaan saya dibuktikan juga oleh sejarah, meskipun sudah bervoltasi 220 volt, Indonesia belum juga menjadi negara industri, malah ambruk menjadi negara pengutang ratusan miliar dolar Amerika yang kerja pemerintahnya berkeliling meminta-minta kepada negara-negara maju, kalau perlu dengan melakukan apa pun juga yang mereka maui.
Dengan listrik 110 volt, Jepang mencukupi kebutuhan seluruh rumah tangga di seluruh Jepang, dari Okinawa sampai Sapporo, termasuk di daerah-daerah terpencil, baik untuk keperluan penerangan maupun untuk keperluan sehari-hari lainnya seperti mesincuci, kulkas, pemanas udara dan pemanas air dan sebangsanya. Dan tekanan 110 volt itu konstan sepanjang hari, tidak seperti di Jakarta yang biasanya turun jauh pada waktu malam karena banyak pemakaian dan pencurian listrik. (Sekarang pun setelah 220 volt keadaannya masih tetap saja).
Selama tinggal di Jepang 22 tahun hanya sekali saya mengalami listrik mati. Itu pun diberitahukan sebulan sebelumnya. Dengan listrik 110 volt Jepang memenuhi kebutuhan listrik untuk menggerakkan keretaapi baik yang di atas maupun yang di bawah tanah. Dengan listrik 110 volt Jepang menggerakkan mesin industrinya sehingga dikagumi bahkan juga oleh negara-negara maju: industri otomotif, industri perkapalan, industri elektronik dll.
Sesuatu negara menjadi negara industri bukan karena listriknya dirubah dari 110 volt menjadi 220 volt, melainkan karena kerja keras para penduduknya. Modal memang penting juga, tetapi bukan segala-galanya. Jepang sehabis perang adalah negara miskin yang gambarannya sekarang masih tampak misalnya dalam film-film yang dibuat pada tahun-tahun pertama sehabis perang antaranya oleh Kurosawa Akira. Jepang menggeliat menjadi negara industri karena kesempatan yang timbul oleh adanya Perang Korea. Modal Amerika melimpah ruah ke sana. Tetapi, modal itu menjadi berkembang mendorong industri nasional Jepang disebabkan oleh karena orang Jepang sendiri mempunyai etos kerja yang luar biasa.
Begitu hebatnya semangat kerja orang Jepang sehingga disebut sebagai workholic (turunan dari alcoholic) oleh bangsa-bangsa lain seperti Amerika dan Eropa. Pada waktu perkembangan ekonomi Jepang luar biasa, sehingga seorang sarjana Amerika menulis buku Japan as Number One. Berbagai studi dan buku tentang manajemen Jepang, semangat kerja orang Jepang dll diadakan dan diterbitkan. Perbandingan antara manajemen Jepang dan Barat dilaksanakan, dicari keistimewaannya sehingga bisa 'mengalahkan' kemajuan Barat. Orang Amerika dan orang-orang Eropa merasa kuatir dominasi ekonominya terkalahkan. Mereka mendesak orang Jepang agar mengurangi semangat kerjanya. Mereka mendesak agar Jepang mengikuti jejak mereka tidak bekerja pada hari Sabtu. Lima hari dalam seminggu bekerja sudah cukup, kata mereka. Dengan berat hati Jepang mengikuti desakan itu sehingga akhirnya mereka pun secara resmi hari Sabtu diliburkan.
Tetapi, di kalangan orang Jepang sendiri terdengar kecemasan karena melihat generasi muda yang lebih santai dan egoistis dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka cemas akan hari depan bangsa Jepang kalau generasi mudanya tidak lagi memiliki semangat dan etos kerja seperti mereka. Sementara itu, biaya hidup di Jepang kian meningkat. Tenaga kerja kian mahal sehingga industri Jepang tak bisa bersaing dengan negara-negara baru berkembang seperti Korea, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Para pemodal Jepang memindahkan pabriknya ke negara-negara berkembang yang tenaga buruhnya lebih murah. Indonesia mula-mula menjadi salah satu negara pilihan untuk menanam modalnya, namun kemudian karena Indonesia kian korup dan tidak ada jaminan hukum, sedikit demi sedikit ditinggalkan. Cina, Thailand, Vietnam, dll. menjadi pilihan yang lebih menarik. Krisis perbankan dan korupsi yang terjadi di Jepang sendiri, melemahkan industri Jepang dan menimbulkan krisis perekonomian yang berkepanjangan.
Oleh karena itu, kalau kita hendak menjadikan Jepang sebagai cermin, akan kelihatan bahwa Jepang berkembang menjadi negara industri pada masa sesudah Perang Dunia II (ketika dia dikalahkan oleh Amerika dan sekutunya), adalah berkat kerja keras mereka sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja yang tinggi. Mereka ingin membangun bangsa dan negaranya dari reruntuhan Perang Dunia, maka mereka bekerja dengan penuh kesungguhan sambil benar-benar mengencangkan ikat pinggang. Setelah mereka mencapai kemajuan yang membuat bangsa-bangsa maju lainnya irihati, mulailah bermunculan penyakit korupsi, egoisme, nepotisme dan berbagai penyakit sosial lainnya yang pada akhirnya menyeret bangsa Jepang ke lembah resesi ekonomi sehingga mereka tak bisa mencapai atau mempertahankan gelar as number one.
Apakah mereka akan keluar dari krisis berkepanjangan yang sekarang mereka alami? Tentu hal itu tergantung kepada usaha dan kerja keras mereka sendiri. Tetapi, konon usaha perbaikan sering menghadapi hambatan karena adanya mentalitas busuk peninggalan masa sedang jaya karena banyak orang yang merasa keenakan dengan kehidupan demikian sehingga enggan untuk mengubahnya-- meskipun demi kemajuan bangsa.
Kalau cermin Jepang kita terapkan pada diri kita sendiri: Kapankah dalam sejarah kita setelah merdeka pada tahun 1945 kita pernah bersungguh-sunguh hendak membangun (ekonomi) bangsa sehingga berkembang menjadi negara industri? Memang rencana dan slogan pernah disusun berkali-kali. Tetapi, apakah dalam pelaksanaannya kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh? Lima tahun pertama setelah proklamasi kemerdekaan kita sibuk dengan perang kemerdekaan mengusir Belanda. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan beberapa negara lain, kita mempunyai dua konsep tentang pembangunan ekonomi bangsa.
Konsep pertama dari Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, yang menjadi Menteri Kemakmuran dan kemudian Menteri Keuangan, yang menghendaki Indonesia menjadi negara industri, dengan mendirikan pabrik-pabrik bahan yang kita perlukan untuk membangun. Yang pertama mendirikan pabrik semen Gresik, untuk itu kita meminjam uang beberapa ratus juta dolar dari luar negeri. Dengan adanya pabrik semen dan pabrik-pabrik lain diharapkan industri kita akan berkembang pesat. Untuk itu pemerintah menyediakan kredit kepada para pengusaha nasional. Ternyata dalam praktik harapan itu tidak tercapai karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan 'pengusaha aktentas' yang mendapat rekomendasi dari partai-partainya.
Konsep yang kedua berasal dari Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang ketika itu menjadi Gubernur Bank
Karena Prof. Dr. Soemitro ketika itu menduduki jabatan eksekutif, konsep beliaulah yang dilaksanakan. Ternyata dalam praktik harapan agar industri kita berkembang pesat tidak tercapai, karena kredit yang diberikan sebagian besar jatuh ke tangan para pengusaha lisensi, yaitu mereka yang karena mendapat rekomendasi dari partainya mendapat berbagai kemudahan kredit yang digunakan tidak sesuai dengan peruntukan memajukan perindustrian. Oleh karena itu, bukan industri yang berkembang, melainkan korupsi. Apalagi setelah Sukarno merebut kekuasaan dengan dukungan Angkatan Darat (Jenderal Nasution) melalui Dekrit Presiden tahun 1959 yang memberlakukan lagi Undang-undang Dasar 1945 dan membubarkan Konstituante yang hampir rampung menyelesaikan pekerjaannya dan kedua konseptor pembangunan ekonomi itu lari dari Jakarta. Dr. Soemitro kabur ke luar negeri karena konon menggabungkan diri dengan kaum pemberontak. Mr. Sjafruddin sendiri setelah habis cutinya di
Pada masa Demokrasi Terpimpin, walaupun Soekarno mengumumkan konsep Ekonomi Terpimpin, ekonomi Indonesia kian hancur karena Soekarno sendiri tidak mengerti ekonomi dan para pembantunya hanya melayani apa yang dimaui oleh Pemimpin Besar Revolusi saja --yaitu keinginan Soekarno sendiri. Soekarno berlaku seperti raja yang mementingkan ambisi-ambisinya dijalankan dengan patuh dan agar para pembantunya dapat menyediakan uang yang dia perlukan setiap waktu dia perlukan untuk memuaskan ambisinya, maka ia memberi keleluasaan kepada orang-orang itu untuk mempergunakan fasilitas menggunakan uang negara. Pada masa Orde Baru, konsep ekonominya seperti mau menggabungkan konsep Sjafruddin dan Soemitro, namun ilmu korupsi para pejabat kian lihai karena pemerintah Orde Baru menguras habis-habisan minyak bumi, hutan dan kekayaan laut untuk memperkaya diri sehingga berakhir dengan ambruknya Indonesia sebagai bangsa dan negara.***
Sumber: Ajip Rosidi www.pikiran-rakyat.com/cetak/0203/18/0804.htm - 24k
1 comment:
knapa listrik indonesia 200 v ? anak elektro bisa menjawabnya.. dan menurut mrk alasannya bukan karena korupsi tp krn ada perhitungan laennya.. silahkan di cek..
Post a Comment