Wednesday, December 5, 2007

Character Building Bangsa Jepang

Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh mencolok adalah ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya pendidikan ditanggung peserta didik. Bahkan, fakta lapangan memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bpk Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003).

Konsekuensi dari program Wajar adalah bebas biaya. Bila tidak, Wajar menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila sekadar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.

Pendidikan ala pasar

Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah, maka make-up wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung periasnya yakni Mendiknas. Periode sekarang merek make-up tersebut adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana make-up yang sebenarnya, make-up pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik. Wajah pendidikan kita adalah pasar.

Di antara sekian praktik yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi pegangan tahun itu dan seyogianya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus membeli buku pegangan baru.

Praktik yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.

Kesenjangan dini

Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma Barat dari pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal (Intelligence Quotient, IQ). Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari Jepang dan China dalam keterpaduan aspek IQ dan EQ (Emotional Quotient). Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan, untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.

Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal menarik tentang pendidikan di sana, yakni muatan character building pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU (kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.

Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orangtua tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orangtua termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia sekolah.

Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang, kebersamaan, dan tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung.
Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.

Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus menerus ditempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan temannya yang anak orang kaya.
Negara diam-diam mendukung perbedaan kelas.

Keuletan

Pendidikan sikap dan karakter ini dijalankan di sekolah Jepang dalam berbagai bentuk. Dalam olahraga, setahun sekali yakni di musim panas siswa kelas satu sampai dengan kelas enam dibagi dalam dua kelompok besar yakni merah dan putih. Mereka berkompetisi dan semua jenis olahraga yang dipertandingkan adalah olah raga tim. Lagi-lagi kebersamaan dan teamwork mereka tekankan.

Setahun sekali pula diadakan pentas seni yang melibatkan seluruh siswa. Setiap siswa mendapat, berlatih dan memainkan satu atau dua peran. Uniknya pentas seni maupun lomba olah raga ini disaksikan oleh para undangan yang terdiri dari orangtua siswa, tokoh masyarakat, kepala sekolah TK, dan SLTP serta pemerintah lokal setempat.

Pendidikan seperti mencuci piring juga diajarkan di sekolah. Di Jepang tidak dikenal yang namanya pembantu rumah tangga. Ketika libur sekolah anak-anak SD meliburkan ibu mereka dari kegiatan mencuci piring di dapur dan pekerjaan itu mereka gantikan.

Fenomena unik lainnya dapat dilihat pada siswa SLTP dan SMU di sana. Mereka dibolehkan bersepeda ke sekolah, tetapi tidak diizinkan mengendarai sepeda motor apalagi mobil pribadi. Kalaupun terlalu jauh siswa boleh pergi dengan bus kota atau kereta api. Padahal kita semua mafhum bahwa Jepang adalah produsen utama kendaraan bermotor.

Perhatikan perilaku siswa-siswi SLTP dan SMU kita, tidak sedikit yang ke sekolah dengan mobil bahkan mengemudinya sendiri. Kita pun sering mendengar keluhan para orangtua yang anak-anaknya mogok sekolah lantaran tidak dibelikan sepeda motor. Betapa manjanya anak-anak kita. Fenomena ini juga mengisyaratkan betapa kacaunya lalu lintas dan sistem untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM). Anak seusia SLTP yang belum genap 17 tahun sudah punya SIM, atau belum memiliki SIM tetapi sudah dapat leluasa mengemudi di jalan umum.

Fenomena sosial dalam lingkup lebih luas dapat dipahami dari fenomena lembaga pendidikannya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat workaholic, gila kerja. Mereka sangat menghargai waktu dan pekerjaan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban spontan anak-anak bila ditanya cita-cita mereka. Menjadi juru masak, penjual bunga, penjual buku dan sejenisnya yang sederhana adalah cita-cita mereka. Cita-cita seperti ini merupakan refleksi dan hanya dapat terjadi di masyarakat yang tidak memandang mulia satu jenis pekerjaan dan hina pekerjaan lainnya. Negeri yang sempat porak poranda oleh bom atom ini pun berhasil mewujudkan impian kolektif mereka, mengalahkan dan melampaui Amerika, setidaknya dalam ekonomi.

Berbeda dari bocah Jepang yang umumnya bercita-cita sederhana, bocah Indonesia umumnya bercita-cita tinggi seperti menjadi insinyur dan dokter. Tetapi tidak adanya character building dalam pendidikan menyebabkan rendahnya kemauan serta semangat juang masyarakat maupun para petinggi kita. Daya tahan lemah dan gampang menyerah. Akibatnya, cita-cita tinggi para bocah muncul tanpa ruh dan di masa berikutnya menjadi keinginan sekadar bisa hidup. Celakanya, sekadar hidup itupun seringkali juga ditempuh via jalan pintas.

Kerapuhan mental ditambah dengan ketiadaan impian kolektif bangsa, menyebabkan masyarakat tidak mempunyai energi dan semangat hidup yang besar. Kini, rendahnya semangat hidup ini telah sampai pada kondisi yang menyedihkan. Perhatikan saja fenomena persimpangan jalan, perkantoran dan para petinggi yang keluar negeri mencari pinjaman; fenomena mentalitas pengemis.

Keruwetan sistem pendidikan dan kondisi sosial negeri ini sudah seperti benang kusut. Pembenahan harus dibenahi di semua lini. Untuk lini pendidikan perlu dilakukan bedah plastik wajah pendidikan, dan pola character building pendidikan Jepang layak untukdipertimbangkan. Semangat dan etos kerja, kebersamaan, tanggung jawab dan menghargai pekerjaan diajarkan secara konkret dan keteladanan bukan dengan kata-kata.

Sistem rayon (tingkat SD dan SLTP) sebagai kebijakan terkait akan membantu pemerataan kualitas sekolah. Sistem ini juga memungkinkan keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam pendidikan. Pada gilirannya tidak relevan membicarakan sekolah unggulan, sekolah plus atau pun sekolah borjuis yang diskriminatif.

Untuk mengadopsi sistem asing manapun tidaklah bisa serta merta dan seketika, sebab pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Namun meniru pola Jepang relatif tidak memerlukan dana sehingga kemiskinan bangsa ini bukanlah kendala utama. Penulis sengaja tidak menampilkan aspek-aspek intelektualnya sebab dari sisi ini kita tidak kalah dari negeri lain manapun. Tetapi kemampuan itu tidaklah terlalu berarti tanpa dibarengi pendidikan karakter yang membangun sikap dan komitmen.

Character building yang pernah menjadi wacana di awal berdirinya republik ini mendesak diangkat kembali. Bahkan lebih dari itu, mendesak dijadikan kandungan utama pendidikan kita. Semua itu diperlukan agar bangsa ini kembali mampu berjalan tegak dengan harga diri. Selain itu, negara harus menanggung biaya Wajar. Tuntutan ini pun bukan mustahil dipenuhi oleh negara pascaamandemen UUD yang menetapkan 20 persen APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Kita tidak ingin Wajar sekadar jadi bentuk cuci tangan pemerintah atas kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negaranya.


Sumber: Agus Purwanto, Pekerja pendidikan di LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam) ITS yang juga alumnus Universitas Hiroshima Jepang.
http://www.surya.co.id/18062003/12a.phtml -www.its.ac.id/berita.php?nomer=838 - 20k


Wednesday, November 28, 2007

Rahmat : Unsur Yang Hilang Dari Dunia Kerja

Tersebutlah kisah seorang manajer yang gagal memimpin sebuah projek sehingga perusahaannya rugi lebih sejuta dolar. Tom Watson, pendiri IBM yang legendaris itu, kemudian memanggilnya. Merasa bahwa dirinya akan dipecat, si manajer mendahului vonis sang bos dengan berkata, "Tuan, silakan memecat saya, I deserve it, saya memang gagal." Tanpa diduga Tom Watson membentak, "Gila lu! Kamu satu-satunya karyawan yang telah disekolahkan dengan biaya sebesar itu, kamu pikir saya tolol mau memecatmu?"

Konon, manajer yang mendapat pengampunan ini, kelak menjadi salah satu manajer terbaik di IBM, antara lain dengan menyumbang jauh lebih besar daripada uang sekolahnya. Inilah kisah yang telah diulang-ulang orang dengan berbagai versi sampai kita tidak tahu lagi versi mana yang benar. Tentu dengan berbagai pesan pula. Tetapi kali ini saya mau pakai sebagai ilustrasi rahmat atau anugerah.

Rahmat, anugerah, pengampunan, pertobatan, kasih sayang, memang seolah-olah bukan bahasa orang kantor. Itu bahasa para begawan yang tiap hari menggumuli kitab suci. Di kantor orang diharapkan berbicara tentang reward and punishment, perampingan dan restrukturisasi, sukses atau mundur, hak dan tanggung jawab. Ya, semuanya bahasa macho, sangat maskulin, sangat patriarkhal. Dunia kerja yang didominasi laki-laki, memang terasa keras, tegas, dingin, disiplin dan menakutkan.

Akan tetapi, hidup termasuk kerja tidak mungkin berwatak maskulin saja. Maskulin memang baik, tetapi terlalu maskulin, alangkah gersangnya, dan ujung-ujungnya membawa kematian. Maka ketika dewasa ini bau sangit kematian ada di mana-mana, patutlah kita curiga, jangan-jangan dosis maskulinitas di republik ini sudah kelewatan. Dan saya memang meyakini hal itu. Dunia politik kita, dari Ken Arok sampai Panembahan Senopati, dari Prabu Kartanegara sampai Presiden Soeharto, memang selalu keras, bahkan terlalu keras. Dengan mudah kita lihat pula bahwa dominasi kejantanan yang keras itu amat nyata di dunia bisnis, hukum, pendidikan, bahkan dalam agama.

Akibat dosis kebapakan yang berkelebihan itu, terjadilah ketidakseimbangan. Jika Anda masih ingat film The Sound of Music, disiplin militer yang diterapkan sang bapak yang telah menduda itu, justru mematikan jiwa ketujuh anak-anaknya di tengah niat baiknya mencintai mereka. Tetapi life back to normal ketika si cantik hangat, suster Maria, representasi femininitas universal, memasuki kehidupan rumah sang kapten. Maka kembalilah tawa, ceria, canda, sukacita, kehangatan, musik, pengampunan, rahmat dan cinta ke dalam kehidupan. Indah dan mengharukan. Tidak herankan mendiang Jenderal Alamsyah Ratuperwiranegara sampai menonton film itu belasan kali.

Rumah tangga republik ini, saya kira, juga rusak berat justru karena dominasi jiwa kelaki-lakian telah terlalu kuat. Bahkan Fritjof Capra, sarjana fisika yang juga mistikus itu, dalam The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture, berpendapat bahwa krisis global dewasa ini, akar terdalamnya terletak pada ketidakseimbangan unsur kebapakan dan keibuan ini dalam tatanan ideo-politikal, sosio-kultural, bisnis-ekonomikal, sains-teknologikal, dan bio-ekologikal kita. Semuanya terlalu macho, jantan, patriarkal, kelaki-lakian, kaku, keras dan mekanistik.

Atas dasar tesis inilah saya mempromosikan doktrin kerja yang berwatak feminin untuk mengimbangi watak maskulin yang sudah dominan selama ini. Etos pertama yang menjadi sajian saya kali ini berbunyi: Kerja itu Rahmat; Kerja adalah Terimakasihku; sehingga Aku Mampu Bekerja Tulus Penuh Ucapan Syukur. Mudah-mudahan Anda segera merasakan nuansa femininitasnya.

Menurut kamus Webster, rahmat adalah pemberian baik yang kita terima bukan karena jasa kita, tetapi karena kebaikan sang pemberi. Jadi, respons yang tepat hanyalah bersyukur dan berterima kasih. Hal inilah yang dirasakan manajer IBM dalam kisah di atas. Rasa syukurnya menjadi motivasi superior untuk berprestasi karena hatinya tersentuh dan karena itu ia diubahkan secara fundamental. Hukuman pecat sebagai konsekuensi keadilan dalam dunia manajemen yang macho, berubah menjadi pengampunan dan rahmat yang membuka peluang baru untuk memperbarui diri. Inilah watak seorang ibu yang penuh kasih sayang. Dan elemen keibuan inilah yang hilang di Aceh, Ambon, Dili, dan kota-kota lain di negeri kita yang kini sedang gering.

Saya berkata, bahwa kerja pun adalah rahmat, jadi seyogianya disyukuri setidaknya karena tiga alasan. Pertama, dari segi spiritual, kerja itu secara hakiki adalah rahmat Tuhan. Artinya, lewat pekerjaan, Tuhan memelihara kita. Kedua, di samping upah finansial kita juga menerima banyak sekali faktor plus dari pekerjaan kita, misalnya fasilitas belajar, kesempatan mengunjungi negeri asing, dan wahana hubungan silaturahmi. Faktor-faktor plus ini pun adalah rahmat juga. Ketiga, potensi kerja diri kita (skills, knowledge) adalah God's endowment kepada kita secara personal yang kemudian kita aktualisasikan dalam bekerja mengolah bumi dan segenap isinya menjadi produk jadi yang bernilai tambah positif. Yang terakhir ini pun rahmat juga adanya. Jadi dari mana pun Anda lihat, selalu dapat kita akui bahwa work is really a grace. Kerja adalah rahmat.

Karena itu sepantasnyalah kita bekerja dengan hati yang tulus dan bersih. Bekerja tidak boleh bersungut-sungut, mengeluh, atau setengah hati karena kita sadari sekarang bahwa bekerja adalah bentuk terima kasih kita kepada Tuhan, kepada negara, kepada rakyat, kepada pemilik modal, atau kepada manajemen.

Bayangkan seorang fakir mampir di rumah Anda. Karena Anda berbelas kasihan, fakir itu Anda undang masuk dan menghidanginya makanan dari meja keluarga Anda. Tetapi ketika ia mulai makan, ia mengeluh betapa gosongnya tempe goreng masakan nyonya rumah. Ia juga meradang betapa kurang pedasnya sambel ulekan dari dapur Anda.

Apakah reaksi Anda sebagai tuan rumah? Menurut saya, jika Anda menendang pantatnya dan mengusirnya keluar, hal itu sangat pantas. Itu adil baginya karena ia tidak tahu diri. Akan tetapi, saya berkata sesungguhnya saya dan Anda adalah juga fakir di bumi ini. Dalam hal inilah saya tidak sependapat dengan Pramudya Ananta Toer yang berkata bahwa planet ini adalah bumi manusia. Bagaimana hal itu mungkin? Mengerti bumi ini saja kita tidak mampu, mengaku diri pula pemiliknya. Atau jika benar manusia adalah pemilik bumi, mengapakah bumi kita kotori dan perkosa dengan amarah meradang.

Al Qur'an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi Allah. Artinya, manusia adalah pengelola yang harus ber-tanggung jawab. Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah steward (penatalayan) di bumi Tuhan. Bagaikan stewardess di pesawat, tugas kita adalah menata sumberdaya alam milik-Nya dan melayankannya untuk kesejahteraan semua penumpang kapal besar ruang angkasa bernama planet bumi. I Ching mengajarkan bahwa kita harus hidup harmonis dengan alam. Sedangkan Iliad mengajarkan bahwa bumi adalah Gaia, the living mother earth, yang harus disayangi sebagai balas cinta kasihnya.

Secara hakiki bekerja adalah mengolah sumberdaya bumi untuk kesejahteraan kita bersama. Apa pun yang kita kerjakan, yang high tech sekalipun, yang konseptual sekalipun, tetaplah tidak terlepas dari unsur-unsur bumi. Meskipun menurut Mahatma Gandhi bumi tidak mampu memuaskan keserakan satu orang saja, tetapi bumi dengan segenap kekayaannya, dengan segenap kasih sayangnya sebagai ibu pertiwi, pasti lebih dari cukup mensejahterakan semua anak-anak bumi melalui kerja.

Maka kita harus mengembangkan sebuah kesadaran baru, a new awareness, a deeper consciousness bahwa kita sesungguhnya sudah terlebih dahulu menerima dengan limpah, dari bumi, dari Tuhan, dari organisasi, dari negara dan rakyat, maka kita pun sepatutnya membalasnya dengan limpah pula. Abundantly.

Menyadari bahwa rahmat selalu melimpah, maka kita pun akan terimbas untuk bermental limpah terhadap sekeliling sehingga membentuk karakter limpah (abundance character) dalam diri kita. Penampakannya bermacam-macam, antara lain: senang menolong; tidak pelit; tidak takut kekurangan; selalu merasa ada alternatif di samping pilihan yang obvious; mampu memberi dulu, kemudian menerima; sanggup menabur dulu, kemudian menuai; selalu bersikap menawarkan; selalu berpikir kontributif.

Manusia berkarakter limpah memang berjiwa besar karena ia selalu sadar bahwa Sang Maha Pemberi selalu merahmati dengan limpah. Dengan jiwa besar, hati penuh syukur, maka dia akan selalu diliputi sukacita sejati dan rasa bahagia. Sukacita kerja ini (the joy of working) akan membuatnya produktif dan mampu menjadi aktor positif dalam menciptakan suasana kerja yang gembira dan menyenangkan. Di mana pun berada, ia selalu menjadi protagonist, bukan antagonist. Jadi jelaslah bekerja dengan modus ini akan mentransformasikan kita menjadi pribadi yang kaya, dewasa dan lembut. Maka Etos Kerja pertama ini memampukan kita menjadi pribadi sukses yang mampu menikmati keberhasilan kerja sampai ke hati yang dalam. Semogalah demikian!

Sumber: Jansen H. Sinamo, Guru Etos Indonesia


Praktik Kerja Industri di Jepang Yang Dicari Ternyata Etos Kerja

Anak-anak lulusan sekolah menengah dari Indonesia dengan sigap bekerja di sebuah Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang. Mereka bekerja dengan cekatan, layaknya seperti robot-robot industri dan hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Meskipun ada mesin-mesin canggih, mesin itu tidak bisa bekerja sendiri. Mesin itu masih membutuhkan tenaga kerja manusia. Artinya, ada nilai "kemanusiaan" yang diambil dalam sebuah hasil produksi.

Keahlian untuk bekerja di industri pembuatan interior mobil ini pun sebenarnya bukan sesuatu yang sangat canggih dan rumit. Bahkan, keahlian itu sudah bisa dikuasai dengan baik hanya dalam waktu satu bulan. Selanjutnya, hanyalah pekerjaan pengulangan saja. Bagian tersulit ternyata pada disiplin waktu. Mesin dijalankan dalam waktu-waktu tertentu untuk mencapai hasil yang optimal. Karena itulah, tenaga kerja yang turut membantunya harus bekerja cepat dan tepat seiring berputarnya roda mesin.

Disiplin "mesin", inilah yang sering kali membuat anak-anak lulusan sekolah menengah itu keteteran. Banyak di antara mereka yang tidak sanggup untuk sekadar berdiri selama tujuh jam sehari untuk melayani mesin industri menghasilkan suatu produk. Pasalnya, mereka memang tidak pernah dididik dalam disiplin mesin, atau sekadar berlatih berdiri dalam waktu lama di sekolah. Tidak heran jika anak-anak Indonesia yang melakukan magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini, pada awalnya merasa tersiksa untuk bisa berdiri lama.

Industri yang antara lain memproduksi panel interior pintu mobil dan dashboard ini sudah tiga belas tahun menerima lulusan sekolah menengah dari negara Asia lainnya untuk magang kerja. Setiap tahunnya, Koperasi Pemasangan Interior Mobil ini biasanya menerima 15-20 orang peserta magang. Jumlah peserta magang tahun ini keseluruhannya ada 52 orang.

Sampai saat ini, sudah 212 peserta magang dari Indonesia. Semua dinyatakan berhasil mengikuti pelatihan dengan baik, tanpa gagal. Tidak heran kalau peserta magang dari Indonesia menjadi lebih disukai.

Agar bisa mengikuti magang kerja di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota ini tidak banyak persyaratan yang harus diikuti. Mereka harus lulus seleksi di Indonesia yang diadakan oleh Yayasan Asian Youth Center. Persyaratan umumnya harus lulusan sekolah menengah.

Persyaratan lain yang harus dilewati adalah lulus tes IQ (intelligence quotient) dan wawancara. Tes wawancara ini untuk mengetahui sejauh mana minat dan ketertarikan seorang anak untuk magang di industri. Mereka yang dinyatakan lulus seleksi akan mengikuti pelatihan persiapan selama dua bulan di Pusat Pengembangan Penataran Guru Teknologi (PPPGT) Malang. Pelatihan persiapan di PPPGT ini pun merupakan bagian dari rangkaian proses seleksi. Jika bisa melewati tahapan ini, barulah mereka akan diberangkatkan ke Jepang.

Selama 10 bulan pertama peserta magang akan mengikuti pelatihan kerja di Jepang. Selama mengikuti pelatihan itu, peserta magang diwajibkan mempelajari bahasa Jepang. Pelajaran bahasa ini diberikan selama tiga kali seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Jumat dilakukan seusai pelatihan, yaitu pada pukul 16.00- 18.00, dan pada hari Sabtu dari pukul 09.00-16.00.

Bagi anak yang dinyatakan lulus pelatihan ini, maka mereka diizinkan untuk mengikuti magang kerja selama dua tahun lagi di industri pembuatan interior mobil tersebut. Penilaian keberhasilan sebagai trainee praktik kerja ini dilakukan oleh Japan International Training Cooperation. Selain itu, evaluasi sikap hidup para peserta magang selama di Jepang juga turut menentukan. Jadi, secara keseluruhan anak-anak ini akan mengikuti magang kerja selama tiga tahun. Selama tiga tahun itu, siswa yang melakukan magang kerja di Jepang akan mengantongi uang sekitar tiga juta yen atau sekitar Rp 240 juta (kurs 1 yen = Rp 80).

Selama magang, mereka ditempatkan di sebuah asrama yang disediakan oleh perusahaan. Di asrama ini, setiap anak dididik untuk mandiri dan mengerjakan segala sesuatu kebutuhannya sendiri. Mereka diwajibkan merapikan tempat tidur serta menjaga kebersihan dan kerapian asrama. Tidak heran jika tempat tidur dan kamar mandi yang disediakan di asrama ini juga bersih dan rapi.

Ingin jadi petani

Meskipun praktik kerja industri di Koperasi Pemasangan Interior Mobil di Ota, Provinsi Gunma, Jepang, ini memberikan pengalaman kerja industri, tidak bisa menutup keinginan mereka yang mengikuti praktik untuk menjadi petani. Paling tidak, itulah pengakuan Mustakin yang sudah dua setengah tahun di Jepang. Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Nasional Malang ini mempunyai rencana untuk mendirikan pertanian yang dikelola seperti di Jepang.

"Setiap ada kesempatan libur, saya pergunakan untuk jalan-jalan ke daerah pertanian di sekitar asrama. Saya melihat sistem pertanian di Jepang dikelola secara efisien sekali meskipun peralatan pertaniannya tidak semuanya modern dan canggih," ujar Mustakin.

Menurut Mustakin, keinginan untuk mengembangkan pertanian di Malang itu justru muncul setelah berkenalan dengan petani di Jepang. Tidak seperti di Malang, petani di Jepang lebih makmur dibandingkan dengan pekerja di industri. Petani di Jepang memiliki lahan pertanian yang cukup luas, didukung dengan pengetahuan pertanian dan penguasaan bisnis pertanian yang baik.

"Itu sebabnya, uang yang saya peroleh di sini nantinya akan saya belikan tanah di Malang agar saya dan orangtua bisa mengolah tanah tersebut menjadi lahan pertanian yang maju," ujarnya.

Selain bisa mengembangkan pertanian, menurut Mustakin, siapa tahu justru bisa membuka kesempatan kerja bagi orang-orang yang menganggur di Malang. Sebenarnya, pekerjaan di bidang pertanian itu sangat beragam jumlah dan jenis pekerjannya. "Jika dilakukan dengan serius dan tekun, maka lahan pertanian yang miskin sekalipun pasti akan menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit," ujarnya.

Berbeda dengan Mustakin, Lyona, lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU) di Blitar, tetap berharap bisa bekerja di industri otomotif. Namun, Lyona ragu apakah ada industri otomotif yang memiliki prosedur kerja yang sama dengan di Jepang. Selain itu, proses dan jenis pekerjaannya tentu saja akan sangat berbeda.

"Itu sebabnya, saya sendiri berharap bisa memasuki dan bersaing di dunia kerja di Jepang. Saya yakin bisa, tinggal lagi mengikuti tes bahasa Jepang. Karena memang ada persyaratan khusus terkait dengan penguasaan bahasa Jepang," ujarnya.

Rekan magang Lyona, Yana, yang berasal dari SMU di Ciamis, juga sama-sama memiliki cita-cita ingin bekerja di Jepang. Menurut Yana, bekerja di Jepang bukan sekadar karena imbalan jasa yang lumayan besar, melainkan juga memberikan pengalaman kerja dan bersentuhan dengan industri yang memiliki disiplin tinggi. "Kalaupun nantinya saya kembali ke Indonesia, saya berharap bisa diterima bekerja di industri yang memiliki disiplin kerja yang sama," ujarnya.

Seperti halnya Mustakin, Lyona dan Yana juga memiliki cita-cita untuk mempunyai usaha sendiri. Baik Lyona maupun Yana menyadari tidak mudah untuk bisa bekerja di Jepang. Apalagi kemampuan yang mereka miliki masih terbatas seperti pekerjaan kuli.

Mereka juga menyadari bahwa dalam pekerjaan magangnya lebih banyak menggunakan kekuatan tenaga fisik saja. Meskipun terbuka kesempatan dan bebas mengemukakan ide-ide yang bermanfaat untuk kemajuan industri, proporsinya masih sangat sedikit sekali.

Tidak heran jika Lyona dan Yana serta rekan-rekan mereka yang magang di Jepang pun banyak yang berkeinginan untuk membuka usaha sendiri. Tidak mudah memang untuk memulai usaha sendiri, namun bekal ketekunan dan kedisiplinan, yang pernah dirasakan selama mengikuti magang di Jepang, mereka rasakan cukup.

Adakah pembinaan dari pemerintah terhadap mereka yang bercita-cita turut mengurangi angka pengangguran ini? Haruskah optimisme calon wiraswastawan muda ini pupus karena kondisi sistem perekonomian nasional tidak bisa mendukung rintisan usaha kecil? Padahal, usaha kecil banyak yang terbukti mampu bertahan selama krisis yang melanda di Indonesia. (MAM).

Sumber: www.kompas.com, Desember 2003

MANUSIA LEGOWO

Salah satu bentuk keikhlasan yang amat penting ialah legowo, yakni kerelaan yang tulus to let something go; membiarkan sesuatu pergi dan hilang, apakah jabatan, fasilitas, atau harta benda. Ketika orang lengser dari jabatannya— atau kehilangan apa pun for that matter — umumnya orang akan merasa sangat kehilangan. Tanpa konsep rahmat, rasa kehilangan itu terasa sangat pedih dan menyakitkan.

Namun, orang yang mengenal rahmat tahu bahwa semua yang pernah diterimanya — apakah nyawa, rupa, kegagahan, kecantikan, kepandaian, harta, jabatan, anak, istri atau suami — pada suatu saat, cepat atau lambat, pasti akan dilepaskannya.

Soeharto misalnya, salah satu presiden terkaya dan terkuat di bumi pada zamannya, akhirnya juga harus kehilangan hampir semuanya: istrinya, menantunya, sahabat-sahabatnya, kesehatannya, kemuliaannya, dan kekuasaannya. Dan hal ini tidak khas mantan presiden. Tidak pula khas orang jahat. Anda dan saya juga, pada suatu saat, harus kehilangan semuanya. Ketika kita memasuki liang lahat, maka secara mutlak kita meninggalkan semuanya. Inilah makna kefanaan dalam arti sesungguhnya. Tanpa rasa legowo orang akan sengsara dan patah hati saat kehilangan. Dan emosi ini sangat berbahaya bagi kesehatan jiwa kita dan tubuh kita.

Kemampuan legowo inilah yang ditunjukkan William Soeryadjaja, mantan pemilik Grup Astra yang kehilangan kerajaan bisnisnya secara tragis. Namun karena keyakinannya pada rahmat Tuhan, ia masih tetap mampu tertawa terbahak-bahak sambil mengisap cerutu kesayangannya. Ketika usianya mulai berkepala tujuh, ia masih sanggup memulai bisnis baru. Saat itu dilaporkan ia pun masih sanggup makan sate 40 tusuk.

Kemampuan serupa juga ditunjukkan Kuntoro Mangkusubroto. Di puncak keberhasilannya, ia dipecat dari jabatan Dirjen Pertambangan Umum oleh atasannya Menteri Pertambangan dan Energi pada zaman Kabinet Pembangunan VI antara lain gara-gara kasus Busang. Tetapi dengan legowo, jiwa besar dan pikiran positif, ia tidak menjadi patah semangat. Mantan Dosen ITB ini setahun kemudian terpilih menjadi menteri menggantikan sang pemecatnya. Ikut lengser dari kedudukan menteri bersama usainya Kabinet Habibie yang pendek, ia kemudian sanggup legowo berbesar hati menerima jabatan “cuma” sebagai Dirut PLN di zaman Kabinet Gus Dur. Namun pada awal tahun 2001 ia juga harus turun jabatan sebagai Dirut PLN, dan kembali ke kampus almamaternya, Institut Teknologi Bandung.

Orang yang mengenal rahmat, orang yang sudah dilawat oleh rahmat, akan mampu bekerja dengan pengabdian yang tulus. Ini misalnya ditunjukkan oleh Romo Mangun [1920-2000], seorang pastur dari Yogyakarta. Secara kristal, hidupnya adalah pengabdian yang tulus, khususnya kepada orang miskin dan terpinggirkan oleh roda kekuasaan yang tidak mengenal belas kasihan. Pembelaannya yang paling terkenal ialah kepada penduduk pinggir Kali Code di Yogyakarta. Ia mengancam mogok makan apabila pemerintah berkeras menggusur mereka. Ini sebuah keberanian yang taruhannya nyawa saat rezim Orde Baru yang militeristik sedang jaya-jayanya. Ia juga nekat membela masyarakat gusuran waduk Kedung Ombo di daerah Boyolali. Ia pernah diinterogasi aparat keamanan tetapi kemudian bertaruh nyawa sembunyi dalam bagasi mobil agar bisa masuk ke daerah terlarang itu. Ini pun sebuah taruhan leher pada saat tak kurang dari Presiden Soeharto saat itu mencap warga Kedung Ombo sebagai orang-orang mbalelo.

Di tempat kerja, orang yang percaya pada rahmat akan mengenal rahmat itu dan mengalaminya secara riil. Dia akan berubah karena lawatan rahmat itu dan menjadi distributor rahmat. Dia akan menjadi tokoh protagonis dalam menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Dia menjadi pribadi yang selalu bersukacita bagaikan air mancur yang bersumber dari dalam hatinya. Tidak heran semua menyukainya, vertikal maupun horizontal. Dan menurut pendapat saya inilah tujuan rahmat terpenting: yaitu agar oleh jamahan rahmat kita semua menjadi manusia yang rahmatan, menjadi manusia yang sungguh-sungguh baik. Jelas, bahwa tanpa rahmat, Anda dan saya tidak mungkin menjadi manusia, apalagi menjadi manusia yang baik.


Sumber: Jansen H. Sinamo dalam bukunya "8 Etos Kerja Profesional - Navigator Anda Menuju Sukses"

Tuesday, November 6, 2007

Info Training "8 ETHOS", November 2007

Mengapa Tenaga Kerja Indonesia dihargai sangat rendah di dunia? Mengapa Indonesia banyak tertinggal dibanding bangsa-bangsa Asia lainnya? Mengapa bangsa kita seolah tak berdaya di bawah tekanan bangsa lain? Bukan hanya di tingkat bangsa dan negara, di tingkat organisasional dan manajerial pun banyak keluhan dan kritikan ditujukan kepada SDM Indonesia yang secara nyata belum mampu menunjukkan keunggulan kualitasnya di era digital global ini. Apa yang harus dibenahi? Bentuk semangat (spirit) macam apa yang perlu segera dibangun dan dihayati oleh semua insan negeri ini?

Berbagai studi sosiologi dan manajemen menunjukkan bahwa keberhasilan suatu bangsa terletak pada etos kerja warganya. Sumber Daya Manusia memegang peranan kunci bagi kemajuan dan keunggulan suatu bangsa.

Bagaimana SDM Indonesia mampu melepaskan diri dari stigma negatif tersebut dan berjuang merebut keunggulan dan kejayaan kita sebagai bangsa?

Setiap perubahan tak lepas dari cara berpikir (paradigma), apa yang diyakini (keyakinan) dan semangat untuk berubah dari manusianya.

Pelatihan "8 ETHOS" yang dirancang dan dikemas khusus oleh Jansen H. Sinamo mencoba memberikan navigasi berupa cara pandang (paradigma) dan nilai-nilai keyakinan yang baru untuk membangun etos kerja bangsa Indonesia yang unggul dan terpercaya untuk menjawab tantangan global di atas tadi.

Disajikan dalam durasi 2 hari, Materi Pelatihan meliputi:
1. Apakah 8 Etos Kerja Profesional itu?
2. 8 Paradigma Kerja Profesional :
  • Etos 1: Kerja adalah Rahmat; Aku Bekerja Tulus Penuh Rasa Syukur
  • Etos 2: Kerja adalah Amanah; Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab
  • Etos 3: Kerja adalah Panggilan; Aku Tuntas Penuh Integritas
  • Etos 4: Kerja adalah Aktualisasi; Aku Keras Penuh Semangat
  • Etos 5: Kerja adalah Ibadah; Aku Bekerja Serius Penuh Kecintaan
  • Etos 6: Kerja adalah Seni; Aku Bekerja Cerdas Penuh Kreativitas
  • Etos 7: Kerja adalah Kehormatan; Aku Bekerja Tekun Penuh Keunggulan
  • Etos 8: Kerja adalah Pelayanan; Aku Bekerja Paripurna Penuh Kerendahanhati
3. Bagaimana menciptakan Budaya Kerja Unggul dengan 8 Ethos?

Pelaksanaan:

Pelatihan 8 Ethos angkatan terakhir di tahun 2007 ini akan diselenggarakan pada:

Hari/tgl : Rabu-Kamis, 28-29 November 2007,
Jam : 07.00-
16.00 WIB
Tempat :
Hotel Menara Peninsula,
Jl. S.Parman, Slipi - J
akarta Barat

Investasi: Rp 2.500.000,-/peserta
(termasuk modul, buku teks, sertifikat, coffee break & lunch).

Early bird sebelum tanggal 21 November 2007 cukup membayar Rp 2.250.000,-/peserta.

GRATIS hadiah langsung 4 buku & 1 CD Audio dari Jansen H. Sinamo untuk setiap peserta.

Bagi pendaftar 3 orang/lebih akan mendapatkan diskon langsung sebesar 20%.


F
asilitator:

Seorang maestro pelatihan. Pengalamannya sangat luas dalam membawakan seminar dan training di berbagai lembaga dan korporasi milik negara seperti Bank Indonesia, BPPT, ITB, DPRD, Aneka Tambang, Telkom, Indosat, Jiwasraya, Bank Mandiri, BNI, BRI, Jasa Marga, dan sejumlah PTPN; perusahaan swasta nasional seperti Astra Group, Kompas-Gramedia Group, Indomobil, Bank NISP, Bentoel, Bumiputra, BCA, Konimex Group, United Tractors; termasuk korporasi multinasional seperti SOGO, Caltex, Charoen Pokphand, Mandom, VICO, Bank Amro, TNT, dan American Express; termasuk berbagai LSM seperti World Vision, Bina Swadaya, dll.

Jansen H. Sinamo telah menulis 6 buah buku dan audiobook yang lahir dari pengalaman, renungan, perbandingan, dan bacaannya atas ribuan buku dan literatur lain. Dalam sekitar 20 tahun karirnya sebagai public speaker, fasilitator, dan instruktur, dia telah melatih ratusan ribu orang mulai dari tingkat pelaksana, clerk, wiraniaga, teller bank, tingkat manajer, direktur, CEO, bupati, direktur jenderal, hingga level menteri.


Pendaftaran:

Hubungi Ester S.Devi di 0816-547-3500 atau e-mail: estershd@gmail.com

Ethos Kerja Orang Indonesia, Untuk Siapa?

Ketertinggalan Indonesia saat ini membuat kita bertanya, apakah orang Indonesia tidak punya semangat kerja seperti bangsa lain? Jika punya, mengapa negara kita "bernasib" seperti sekarang ini? Studi-studi sosiologi dan manajemen dalam beberapa dekade belakangan bermuara pada satu kesimpulan yang mengaitkan antara etos kerja manusia dengan keberhasilannya.

Dikatakan bahwa keberhasilan di berbagai wilayah kehidupan ditentukan oleh sikap, perilaku dan nilai-nilai yang diadopsi individu-individu manusia di dalam komunitas atau konteks sosialnya.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik masyarakat di bangsa-bangsa yang mereka pandang unggul, para peneliti menyusun daftar tentang ciri-ciri etos kerja yang penting. Misalnya etos kerja Bushido dinilai sebagai faktor penting dibalik kesuksesan ekonomi Jepang di kancah dunia. Etos kerja Bushido ini mencuatkan tujuh prinsip, yakni:

Gi - keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian yang demikian adalah kematian yang terhormat.

Yu
- berani dan bersikap kesatria

Jin - murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama

Re - bersikap santun, bertindak benar

Makoto
- bersikap tulus yang setulus-tulusnya, bersikap sungguh dengan sesungguh-sungguhnya dan tanpa pamrih

Melyo - menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan, serta

Chugo - mengabdi dan loyal.


Begitu pula keunggulan bangsa Jerman, menurut para sosiolog, terkait erat dengan etos kerja Protestan, yang mengedepankan enam prinsip :
  1. bertindak rasional,
  2. berdisiplin tinggi,
  3. bekerja keras,
  4. berorientasi pada kekayaan material,
  5. menabung dan berinvestasi, serta
  6. hemat, bersahaja dan tidak mengumbar kesenangan.

Pertanyaannya kemudian adalah seperti apa etos kerja bangsa Indonesia ini. Apakah etos kerja kita menjadi penyebab dari rapuh dan rendahnya kinerja sistem sosial, ekonomik dan kultural, yang lantas berimplikasi pada kualitas kehidupan?

Ethos Kerja Indonesia

Ataukah etos kerja yang kita miliki sekarang ini merupakan bagian dari politik republik tercinta? Dalam buku "Manusia Indonesia" karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah: munafik; tidak bertanggung jawab; feodal; percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki ‘budaya loyo,’ ‘budaya instan,’ dan banyak lagi.

Hasil pengamatan para cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita. Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam “Manusia Indonesia” kita sosialisasikan, tumbuh kembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa abad ke belakang.

Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur dan puluhan yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan lain-lain.

Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang, memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa Belanda mengunjungi kita.

Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake.

Ini mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air.Sejarah bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali, memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi ‘pelarian’ dari tantangan-tantangan yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Nalar

Sebagaimana disimpulkan oleh para peneliti sosiologi dan manajemen, etos kerja merupakan bagian penting dari keberhasilan manusia, baik dalam komunitas kerja yang terbatas, maupun dalam lingkungan sosial yang lebih luas. Keberhasilan ini bukan hanya dikarenakan adanya pengetahuan dan kemampuan menggunakan nalar, tetapi juga kemampuan mengarahkan pengetahuan dan aktivitas penalaran menuju pada kebaikan, baik kebaikan individu maupun kelompok. Ini yang menjadi ciri penting dalam etos Bushido.

Tetapi, kutipan berikut ini mengingatkan kita tentang aspek penting lain dari etos kerja.

“. . . [A] human being regarded as a person, that is, as the subject of a morally practical reason, is exalted above any price; for as a person (homo noumenon) he is not to be valued merely as a means to the ends of others or even to his own ends, but as as an end in himself; that is, he possesses a dignity (an absolute inner worth) by which he exacts respect for himself from all other rational beings in the world."

Immanuel Kant. The Metaphysics of Morals.

Ketika kita membicarakan etos kerja, atau prinsip-prinsip etika ataupun norma, perlu kita sadari sasaran mendasar yang menjadi tujuan pengembangan etos tersebut.

Dalam kutipan di atas, Kant, seorang Bapak filosofi modern, menekankan pentingnya menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai sebuah sasaran pengembangan etos kerja. Artinya, pembicaraan etos kerja dan manajemen perubahan haruslah memberi penekanan pada arti penting dari manusia itu sendiri sebagai tujuan perubahan, bukan manusia sebatas sebagai SDM atau sebagai sarana produksi.

Kedua, meskipun nalar memiliki keterbatasan, uraian Calne dalam bukunya Within Reason sama sekali tidak menyarankan bahwa kita tidak perlu menggunakan nalar untuk bisa bekerja lebih baik ataupun hidup lebih baik.

Yang penting adalah kita menyadari kembali sebuah fungsi penting dari nalar, yaitu mengarahkan dan menghasilkan kehendak yang betul-betul baik. Kehendak baik ini bukan menjadi tujuan perantara, tetapi menjadi tujuan akhir itu sendiri dari penggunaan nalar, sebagaimana dinyatakan dalam pernyataan Kant Berikut ini:

“. . . [Reason's] true function must be to produce a will which is good, not as a means to some further end, but in itself . . . "

Immanuel Kant (1724-1804). Groundwork of the Metaphysic of Morals.

Sebagai penutup, mari kita akhiri pembahasan tentang pengembangan etos kerja dalam artikel ini dengan merenungkan pesan yang terkandung dalam sebuah kutipan dari sosiolog humanis Eric Fromm berikut ini:

Immature love says: ''I love you because I need you'',
Mature love says:"I need you because I love you".

Sumber: Kusmayanto Kadiman, Menristek RI
http://www.netsains.com/index.php/page_info/pid_173

Monday, November 5, 2007

Rahasia Bisnis Orang Jepang

Apa kunci sukses bangsa Jepang, Cina dan Korea?

Ann Wang Seng, PhD seorang antropolog dan sosiolog asal Malaysia dan penulis buku seri bisnis Asia: Rahasia Bisnis Orang Jepang, Formula Bisnis Negara Cina, dan Rahasia Bisnis Orang Korea, menuturkan bahwa ketiga bangsa tersebut memiliki persamaan dalam hal etos kerja-nya. Bedanya, ”... orang Cina lebih mementingkan kekeluargaan, orang Jepang pada organisasi, orang Korea pada komunitas,'' ucapnya saat berada di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Namun mengapa bangsa Jepang lebih berhasil dan maju dibandingkan dengan 2 bangsa lainnya meskipun ketiganya sama-sama pekerja keras? Diketahui dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang mampu bangkit dari keterpurukannya akibat serangan bom atom Amerika tahun 1945, dan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya tersebut. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat Jepang pada pertengahan era 1990-an, yang diwakili oleh Produk Nasional Bruto (PNB)-nya telah mencapai US$ 37,5 miliar. Ini berarti menempati posisi kedua dari puncak yang diduduki oleh Swiss dengan PNB-nya yang tertinggi di dunia (US$ 113,7 miliar). Selain itu Jepang juga tidak memiliki utang luar negeri.

Padahal jika dilihat pada kondisi yang ada, Jepang tidak memiliki sumber alam yang memadai. Alamnya sangat sulit untuk dikembangkan dan sering ditimpa bencana seperti gempa, letusan gunung berapi dan badai topan. Bahkan 85% kebutuhan energi Jepang juga masih diimpor dari negara lain seperti Indonesia. Belum lagi kekalahan Jepang dalam perang dunia kedua, yang menyebabkan kerusakan fisik dan kehancuran perekonomian yang dahsyat yang semestinya membuat mereka lebih tertinggal dibanding bangsa-bangsa lainnya.

Menurut Ann Wang Seng dalam bukunya Rahasia Bisnis Orang Jepang : Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai Dunia, kunci kebangkitan Jepang terletak pada spirit Bushido atau Samurai yang telah dibudayakan secara turun temurun dalam masyarakat Jepang dan diwujudkan dalam sikap:

Tepat Waktu/Disiplin tinggi

Untuk melancarkan urusan pekerjaannya, orang Jepang memegang teguh prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor perindustrian dan perdagangan. Kedua elemen itu menjadi dasar kemakmuran ekonomi yang dicapai Jepang sampai saat ini. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja.

Orang Jepang akan menghabiskan seluruh jam kerjanya untuk fokus bekerja dan bukan untuk mengobrol dengan rekan kerja atau bersantai-santai. Mereka menghabiskan banyak waktu di tempat kerja. Pada tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun. Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun).. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang biasanya selalu ingin pulang lebih cepat.

Di Jepang, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif. Bahkan istri-istri orang Jepang lebih bangga bila suami mereka ”gila kerja” bukan ”kerja gila”. Sebab hal itu juga menjadi pertanda suatu status sosial yang tinggi.

Semangat Mengabdi

Hal unik lainnya dari sistem kerja masyarakat Jepang adalah totalitas pengabdian mereka pada organisasi/perusahaan tempat mereka bekerja. Bagi mereka kerja yang dilaksanakan secara efektif dan efisien hingga cepat diselesaikan adalah lebih penting daripada menuntut tambahan uang lelah. Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.Mereka bahkan rela bekerja tanpa digaji karena menganggap bahwa pekerjaan adalah sebuah kewajiban. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan.

Semangat Kebersamaan

Bangsa Jepang sangat mementingkan semangat kebersamaan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Itu sebabnya mereka lebih senang bekerja sebagai sebuah tim. Dalam tim kerja, tidak ada atasan dan bawahan. Kedudukan atasan dan bawahan adalah sama dan sama-sama berhak mengajukan pendapatnya masing-masing. Setiap organisasi/ perusahaan di Jepang menempatkan para pengelola dan pekerja dalam tingkatan yang sama dalam pengambilan keputusan. Meski masing-masing bukan seorang yang pandai mempertahankan pendapat pribadi, namun mereka sangat menjunjung harga diri dan tidak suka diremehkan. Perusahaan Jepang atau perusahaan yang manajemennya dikelola oleh orang Jepang, biasanya mempunyai ciri-ciri: Semua karyawannya mendapat penghasilan diatas rata-rata; Direktur maju, karyawan juga maju; respek terhadap nasib karyawannya. Sehingga sangat wajar jika disana hampir tidak pernah terjadi demonstrasi dan aksi mogok para pekerja karena setiap aspirasi mereka selalu ditampung serta dihargai oleh pihak pengelola maupun pemilik perusahaan.

Kecepatan dan fleksibilitas

Seperti pahlawan dalam cerita rakyat Jepang, si samurai buta Zatoichi, Jepang harus memastikan segala-galanya, termasuk rakyatnya, agar senantiasa bergerak cepat menghadapi perubahan disekelilingnya. Jika semuanya berhenti bergerak, maka ekonomi Jepang akan runtuh seperti Zatoichi yang luka dan mati karena gagal mempertahankan diri dari serangan musuh, karena ia tidak bergerak dan hanya dalam keadaan statis. Itu sebabnya masyarakat Jepang dikenal suka berjalan cepat, lekas tanggap dalam bertindak, serta tidak menunggu peluang datang, melainkan mencari dan menciptakan sendiri peluang tersebut.

Inovatif

Perkembangan teknologi di Jepang terjadi sangat cepat. Ini didasari oleh kehausan masyarakatnya akan akan Ilmu Pengetahuan.Minat dan kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari. Di Jepang, buku-buku terbitan luar negeri akan segera ada terjemahannya dalam waktu 1-2 hari. Kebiasaan membaca dilakukan di mana-mana bahkan saat dalam kendaraan. Kegemaran bangsa Jepang akan ilmu pengetahuan juga menyebabkan mereka menghabiskan banyak waktu dan uang untuk penelitian. Perusahaan-perusahaan di Jepang rela menghabiskan sekitar 45% dari anggaran belanjanya untuk membiayai penelitian dan pengembangan dalam rangka meningkatkan inovasi dan mutu produk. Mereka sadar bahwa mereka harus inovatif agar produk mereka mampu bersaing di dunia Internasional. Pekerja Jepang dibayar dari hasil prestasi dan inovasi mereka saat bekerja dan bukan dari kedudukan.

Jepang dikenal suka meniru produk buatan bangsa Barat. Namun, meskipun pintar meniru, mereka memiliki daya inovasi yang tinggi. Jika pihak Barat memakai proses logika, rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi, maka bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan inovasi yang sesuai dengan selera pasar.

Bangsa Jepang menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan produk Barat, membuat produk dengan dasar sama tetapi dengan penyesuaian pada segi kegunaan dan budaya sendiri demi memenuhi kepentingan pasar dan konsumen. Produk Jepang terkenal lebih ringan, mudah digunakan, hemat, dan lebih murah dibandingkan produk bangsa Barat yang ditirunya. Tak heran beberapa produknya menduduki posisi pertama dan menjadi pilihan konsumen karena lebih ekonomis, bermutu, mudah digunakan dan memiliki berbagai fungsi, contohnya produk dari Matsushita yang merupakan contoh terbaik perusahaan yang berhasil memecahkan dominasi dan monopoli perusahaan Barat. Begitu juga walkman produk Sony yang menimbulkan fenomena luar biasa dikalangan remaja pada era 1980-an. Produk itu juga mencetuskan revolusi baru dalam perkembangan elektronik dan audio visual.

Menghargai Budaya dan Tradisi Bangsa Sendiri.

Meski sudah menjadi negara industri dan mempunyai teknologi tinggi, bangsa Jepang tetap mempertahankan budaya tradisionalnya. Semua ini dilandaskan pada sikap patriotik masyarakat Jepang yang adalah salah satu faktor yang membantu keberhasilan perekonomian negaranya. Bangsa Jepang bangga dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan, teknologi sampai tradisi dan budaya. Di mana saja mereka berada bangsa Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka, termasuk keengganan mereka dalam menggunakan bahasa Inggris.

Suka berhemat dan menabung

Meskipun Pendapatan perkapita Jepang lebih tinggi dari rata-rata pendapatan perkapita bangsa Barat, tetapi gaji pokok mereka adalah yang paling minimum dibandingkan gaji pokok bangsa Barat. Dalam hidup keseharian, mereka lebih suka memakai kendaraan angkutan umum daripada kendaraan pribadi. Mereka memiliki kebiasaan memanfaatkan dan mengolah kembali barang-barang bekas yang sudah tak terpakai menjadi barang yang berguna dan memiliki nilai seni yang tinggi. Sebagaimana mereka mengimpor bahan mentah dari negara lain kemudian mengolahnya untuk kebutuhan mereka sendiri dan untuk di ekspor kembali.

Sumber: Dari Berbagai Sumber